(beberapa hari ini, sangat sibuk. Karena migrasi OS dan mengurus rencana liburan. Saya bongkar-bongkar harddisk. Eh, ketemu tulisan jadul. Ini tulisan saya beberapa tahun yang lalu. Masih mengenai human trafficking. Maaf, gaya bahasanya culun. Hehee. Walaupun saat ini gaya bahasa saya masih tetap culun. Tapi saya pasrah saja untuk tetap d0-blog. hehe. Selamat menikmati)

 

Kami tidak mengarungi awan melintasi matahari

Untuk melewati hari-hari pedih dan sunyi

Namun angin tetap membawa kami

Dari tanah tempat para lelulur berkebumi

Dengan tangan terkepal dan darah mengental

Melangkahlah kaki ini

….

Dan bumi pun ditetesi keringat dan airmata

 

Beberapa tahun lalu, saya tinggal di Den Haag. Salah satu kota terbesar di Belanda. Kota yang terkenal sebagai pusat pemerintahan Belanda. Salah satu kota dengan ciri multi kultur, selain Amsterdam dan Rotterdam. Sebuah kota yang dipenuhi oleh buitenlander, alias orang asing. Mayoritas dari mereka adalah masyarakat Turki, Maroko, Suriname, Eropa Timur dan Asia.

 

Sebagai salah satu kota multi kultur, maka Den Haag dipenuhi pula oleh orang-orang dari Indonesia. Dan saya mengenal beberapa dari mereka.

Ini cerita mengenai mereka.

 

 

KETUT

Seorang pemuda Bali berusia 30 tahun. Bekerja sebagai karyawan Pemerintah Daerah Denpasar, Bali. Punyai banyak teman yang bekerja di kapal pesiar luar negeri, yang ketika pulang kampung, ke Denpasar, memperlihatkan kocek mereka yang berisi pundi-pundi dollar US.

 

Dan seperti halnya manusia normal lainnya… Ketut pun iri.

 

Dengan modal menjual rumah warisan neneknya seharga 75 juta rupiah. Ketut mempercayakan seluruh uang itu kepada orang yang ia kenal, yang akan membawanya ke Belanda. Dengan perasaan bangga tak terkira, Ketut pun pergi ke Belanda. Membayangkan bahwa bukan hanya teman-temannya saja yang akan pulang kampung dengan pundi-pundi dollar, ia pun bisa seperti itu, pulang kampung dengan membawa pundi-pundi Euro.

 

Sampai di Belanda… Ketut menyadari, bahwa ternyata ia ditipu. Uang yang ia percayakan kepada orang yang dikenalnya di Bali, ludes dibawa lari ke meja judi.

 

Ketut terlunta-lunta di Den Haag.

Satu tahun sudah menjadi pengangguran. Rambutnya memutih kebanyakan pikiran.

 

Ketut terkena Insomnia.

 

 

ASEP

 

Lahir di Bandung 29 tahun yang lalu. Bercita-cita ingin menjadi programer komputer. Sebuah profesi yang akan menjaminnya hidup sejahtera di masa tua. Dengan cita-cita itulah, akhirnya Asep memberanikan diri memasuki perguruan tinggi Gunadarma di Depok.

 

Enam tahun pas, Asep pun lulus sudah. Namun setelah lulus. Asep menyadari bahwa Jakarta terlampau ganas untuknya. Ibukota negara yang sedang terombang-ambing krisis ekonomi itu tidak menawarkan kesempatan apapun baginya.

 

Asep menyadari betapa susahnya mencari pekerjaan di Jakarta bagi seorang programmer muda lulusan swasta dengan nilai biasa. Lalu Asep pulang ke Bandung dengan niat di dada, akan meminjam uang sebanyak 100 juta dari tetangga, sebagai syarat salah satu iklan mini di harian ibukota POSKOTA yang akan membawanya ke Belanda.

 

Asep akhirnya pergi ke Belanda, dengan iming-2 bahwa ia akan bekerja di PHILIPS, sebuah raksasa pabrik teknik di Belanda. Namun Asep akhirnya sadar, bahwa ia ternyata adalah salah satu bagian korban penipuan. Tak ada kerja di PHILIPS. Tak ada gaji 30 Euro per jam. Tak ada pekerjaan.

 

Asep ditipu.

 

 

EKO

 

Setelah 22 tahun lahir ke dunia ini. Eko menyadari bahwa ia harus mencari hidup baru, lepas dari sempitnya ekonomi Gresik, kota kelahirannya. Kota yang panas dan penuh debu semen itu tidak menawarkan masa depan baginya.

 

Dengan sebuah penawaran dari misi agama, Eko pun memantapkan niatnya ke Belanda. Eko lalu pindah agama, sebagai syarat mengikuti para pengkhotbah itu untuk pergi ke Belanda.

 

Sebab apa lagi yang harus ia berikan? Uang berjuta-juta ia tidak punya. Tidak ada tetangga atau sodara yang ia punya sebagai penjamin di Belanda. Tapi ia masih punya agama, yang dengan rela ia tukarkan dengan iming-iming pergi dan kerja di Belanda.

 

Eko lalu pergi…, dengan tatapan haru menyesakkan dada keluarganya.

 

Sampai di Belanda, Eko sadar, ia tidak punya keahlian apa-apa, kecuali modal nekat dan niat cepat kaya. Eko pun terlunta-lunta. Namun ambisinya akan materi mengantarkannya ke pelukan seorang pengacara homo di Den Haag.

 

Kini, Eko menikmati hari-harinya di sebuah apartment mewah. Melalui malam dengan hati dan pantat yang sakit menahan nyeri.

 

 

 

 

Begitu banyak cerita pedih. Begitu banyak cerita duka. Begitu banyak kisah tentang harapan yang hancur sia-sia begitu saja.

 

Para pemuda, meninggalkan negeri yang morat-marit ekonomi. Menuju tempat yang tidak pernah mereka sangka dan bayangkan sebelumnya. Menuju surga dalam bayangan mimpi-mimpi mereka. Namun… apa yang terjadi, kenyataan bicara dalam wujud kelam.

 

Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali memberi sekedar tumpangan dan teh manis. Seraya mendengarkan kisah mereka dengan bulu merinding. Membayangkan, betapa beruntungnya hidup saat ini apabila dibandingkan dengan liku dan kerasnya hidup mereka.

 

Pekerjaan yang berat, iklim yang keras dan tatapan mata yang tidak bersahabat adalah bukan apa-apa dibandingkan cerita mereka.

 

Saya hanyalah saksi, yang hanya bisa menuliskan cerita ini dan mungkin akan membebani pikiran yang membaca. Tapi toh ini sebuah pengalaman, yang lebih baik dibagi daripada ditelan sendiri.

 

Arif, pada sebuah titik di The Hague,
Netherland, 22 September 2003