(Perlu digaris bawahi, semua nama dan tempat bukanlah sebenarnya. Ini salah satu cerita jadul yang terjadi di tengah-tengah nuansa sore ibukota Jakarta.)

Jam tiga sore, dari kuningan, saya memacu motor ke arah rawamangun. Hendak bertemu teman-teman di SERRUM. Ketika hendak melewati stasiun kereta Tebet, lapar sekali. Rencananya mau ke Warmo, alias warung mojok. Namun karena sudah sungguh lapar, saya terpaksa singgah di restoran fast food yang ada di daerah itu.

Di dalam restoran fast food, (sekali lagi) barulah saya menyadari, mengapa saya tidak suka fast food. Aduh, makanannya itu loh. Ampuun deh, sukar dilukiskan dengan kata-kata. Apalagi dengan lidah dan perut melayu saya. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar. Baru saja membalikkan badan, tiba-tiba bahu saya dicowel-cowel. Wah, kaget juga. Saya kira fans (*halah!*). Nggak tahunya, Frans, teman sekolah dulu, waktu masih nongkrong di Depok.

Setelah salam-salaman dan peluk-pelukan ala lebaran. Saya (terpaksa) duduk di restoran ini. Melepas rindu dengan sahabat lama.

Saya lihat Frans dari ujung kaki ke ujung rambut. Wah, gaya euy. Keren banget. Pake dasi. Jasnya Armani. Sepatunya, sepatu kulit, warna hitam. Ujungnya lancip, mirip sepatu ali baba. Pokoknya keren pisan dah. Sungguh berbeda, dengan Frans yang berpisah dengan saya di sebuah balairung di Depok beberapa tahun yang lalu.

Akhirnya mirip kisah-kisah klise reuni. Setengah jam pertama, dihabiskan dengan bicara nostalgia. Setengah jam berikutnya, adalah neraka, karena harus mendengarkan kisah-kisah bombastis masa kini yang dibumbui intrik dan kejayaan material belaka.

+ “Rip, gue sebenernya males kerja nih, men. Pengen go out for a while. Lo tau ga tongkrongan asik di amrik. Gue pengen ke amrik nih men. Approximately seminggu, dua minggu. Ke las pegas, asik kali yee?”
– “Wah, pran. Gue mah kagak tau amrik, men. liburan aje ke Cilincing”.
+ “Eh, emang Cilincing belom tenggelem? Mon ami, lo ke rawamangun naek apaan? Numpang aja ama gue aje. Gue baru ngeganti biem gue yang seri 5 ama jaguar yang seri XK”.
– “Makasih men, gue naek motor kok. Dan Cilincing belom tenggelem, tau!”.

Setengah jam berikutnya, saya dipaksa mendengarkan kisah cintanya. Lalu, cerita tentang anak keduanya yang lahir di sebuah rumah sakit terkenal (dan mahal) di JKT. Lalu, kisah lepasnya ia dari sebuah perusahaan multinasional sebagai pengacara. Lalu, bagaimana ia menjadi seorang pengacara rekanan di sebuah firma hukum besar dan mendapatkan klien anak mantan presiden yang bermasalah perkawinan. Lalu, kisah selingkuhnya dengan seorang presenter berita tipi swasta.
Lalu… Lalu… Lalu…

Ahh…

Pelan-pelan, tatapan saya mulai memudar.

Tiba-tiba, ia nampak berubah menjadi dukun di mata saya. Karena langit-langit restauran dipenuhi bahasa mantra. Frans, bicara dalam bahasa mantra. Bahasa indonesia, ditambah bahasa gaul a’la anak Jakarta, ditambah bahasa hukum, ditambah bahasa prancis, belanda dan inggris. Semuanya dicampur menjadi satu. Frans mungkin berfikir, apabila bicara dalam bahasa mantra, saya dan orang-orang disekeliling kami, akan menganggapnya jauh lebih hebat dan intelek.

Sungguh saya bertanya-tanya. Apakah Frans sudah sedemikian membosankannya, atau saya iri dengan semua isi dan kulit pembicaraannya? Namun, yang pasti, perut saya lapar.

Kelaparan, mengingatkan saya kepada sosok Frans beberapa tahun yang lalu. Waktu kami masih sama-sama lapar. Baik lapar ilmu…, maupun lapar harfiah, jadi anak kost dengan segala kekurangannya.

Frans dulu, kurus, seorang calon ahli hukum yang militan. Kalo ada anak jalanan yang ditangkep, pasti Frans yang duluan ada di kantor polisi. Rambutnya gondrong, bacaannya, John Grisham. Kemana-mana pakai kaus yang ada muka che guevara, sambil tidak lupa mengidolakan Yap Thiam Hien. Setiap diskusi gaya bicaranya meledak-ledak, selalu mengkritisi ketidak-independensinya lembaga hukum RI.

Frans, kini… agak botak, di lengan kanannya melingkar jam seharga 40 juta. Kulitnya halus terawat, ciri-ciri pria kosmopolitan yang tidak rela keluar rumah tanpa lotion anti penuaan dini. Jas Armani tidak sanggup menutupi lemak-lemak yang menggumpal penuh di perutnya. Bicaranya halus dan penuh senyum.

Ahh, Frans telah dewasa rupanya? (*Benarkah? Apa artinya dewasa?*)

Namun saya tidak kuat menahan lapar (dan ngantuk). Saya pamit, meninggalkan Frans sendiri di bangku beranda restoran. Ia masih sabar menunggu kekasih gelapnya. Wanita cantik, cerdas dan seksi seperti baru saja turun dari kahyangan, yang sadar bahwa lelaki selingkuhannya beranak dua.

Perut sudah lapar luar biasa. Tidak jauh dari restoran fast food, ada warung ayam bakar. Motor saya belokkan dengan segera. Celingak-celinguk mencari pintu masuk (*pintu masuknya ada tiga, bo!*). Akhirnya saya memilih pintu masuk sebelah kanan. Dengan asumsi, katanya yang kanan lebih afdol. Hehehe.

Loh, kok ada tangganya? Jangan-jangan warung makannya di lantai dua. Eh…, kok ada lampu bulet-bulet di sekitar anak tangga? Loh, makin lama kaki melangkah ke atas, kok makin gelap? Loh, kok makin dingin pula? Kok warungnya horor begini? Atau ini restoran mahal?

Setelah sekian lama mendaki anak tangga yang aneh itu. Sampailah saya di sebuah ruangan. Gelap. Nampaknya ruang resepsionis. Ada seorang mbak-mbak di belakang meja. Si mbak yang manis, tersenyum manis, memperlihatkan deretan gigi yang rapi. Bajunya, t-shirt yukensi, alias you can see my ketiak. Bagian depan, agak rendah, memperlihatkan setengah dari dua tonjolan serius di dada.

+ “Selamat sore, Mas. Baru pertama kali kesini?”
– …. (*nggak konsen, masih serius melihat t-shirt mbaknya yang bagus*)
+ “Mas… Mas… Baru pertama kali yaa? (*sambil menarik napas*)
– (*makin nggak konsen*) “eeengh.. eeengh.. iya mbak”
+ “Mau layanan apa, Mas?”
– “Ada kartu menunya, mbak?”
+ (*si mbak manis menatap bingung*)”Menu?..ooh ini? Silahkan dipilih?”

Yang pertama saya lihat, bukan nama menunya. Tapi sisi kanan, tempat deretan harga bertahta. Astaga! menu paling murah, harganya 175 ribu. Buset dah! Ayam bakar apaan nih?

Tidak percaya, ada ayam bakar semahal itu. Saya bukan Frans, yang berpenghasilan 400 dolar amerika perjamnya. Nggak mungkin makan malem semewah ini

Mata saya melirik ke bagian kiri. Tapi aneh. Kok nama menunya ajaib sekali. Ada PELIR AMBON, PIKTOR, PILKADA, GALER… Belum sempat saya meneruskan bacaan. Si Mbak yang dadanya lebih benjol daripada dada kebanyakan itu nampaknya mengetahui rona wajah saya yang penuh pertanyaan.

Ia menerangkan, “Kalo PELIR AMBON itu singkatan dari Pijat anti pegal linu rematik ampuh obatnya. Kira-kira 45 menit mas. Kalau PIKTOR itu Pijat Kejantanan Organ tunggal pria, sekitar 1 jam. PILKADA sendiri artinya Pijat dengan desakan lembut di dada, 1,5 jam… sementara kalau GALER adalah Gabungan perawatan lemah syahwat dengan metode refleksi, kira-kira dua jam. Semua harganya sudah termasuk PPN 20%, tapi tidak termasuk tips untuk pemijat… Pilih mana mas?”.

Astaga! Saya kesasar di panti pijat rupanya!

– “Waduh, mbak. Maap. Saya kira ini warung ayam bakar”.
+ “Restoran di sebelah, Mas. Tapi ini juga enak loh. Tenaga kami trampil, manis dan menggemaskan”.
– “Eehh.. Eengghh.. Maap mbak. Saya mau ke sebelah”
+ “Silahkan, Mas. Saya hanya mau memberi informasi, kalau plus, ditempat lain, minimal 100 ribu, disini 75 ribu”
– “…”
+ “Kalau plus pake tangan saja, tenaga kami berani kalau situ punya 75 ribu. Kalau plus pakai mulut, terus bawah depan belakang, sekitar 300 ribu. Harga promosi loh, Mas. Hanya bulan ini saja”

Walaupun mbak itu tidak memakai bahasa mantra. Saya terbengong-bengong mendengar penjelasan si Mbak. Tidak tahu harus berkata apa.

Belum lepas kekagetan saya, tiba-tiba pintu terbuka. Frans muncul dari balik serambi. Mulutnya monyong, terbelalak kaget, bertanya “Loh rip, lo ngapain disini?!!”

Saya semakin terbengong-bengong. Tidak tahu harus berkata apa.