(*Diilhami oleh komentarnya Daeng Ruslee di postingan terdahulu dan tangisan Mamanya Nina beberapa tahun lalu. Ia, orang tua siswi saya. Meminta saya melakukan injeksi SQL di sebuah forum nasional ternama lalu mencopot sebuah thread yang memajang file 3GP porno anaknya. Permintaan melakukan kejahatan itu saya turuti. Sebab walaupun belum punya anak, ada 60 lebih anak jalanan yang saya urus sedang belajar melek internet dan intip-intip situs porno. Membuat hati saya ketar-ketir juga*).

Dalam sebuah pidatonya, sastrawan terkenal, Taufik Ismail menyinggung mengenai kebablasannya dunia media menyikapi dunia seks di Indonesia. Pidato itu begitu menghebohkan. Hingga dikupas oleh blogger seterkenal Herman Saksono hingga dimuat kutipan pembantahannya oleh jurnalis PANTAU Andreas Harsono. Pokoknya, heboh.

Lepas dari pro kontra mengenai pidato Opa Taufik. Ada hal yang patut dicermati, yaitu topik pidato itu sendiri, Seks.

Mengapa seks menjadi sebegitu terkenalnya? Hingga harus jadi buku best seller di tangan seorang Moamar Emka? Atau dibicarakan secara berapi-api oleh para sastrawan muda dan tua Indonesia? Atau malah menghasilkan US$ 2 miliar transaksi online di dunia internet hanya pada tahun 2006?

Jawabannya bisa anda temukan di buku The Zahir karya Paulo Coelho. Katanya, gara-gara makanan. Aneh? Kalau penasaran, bisa anda baca sendiri di halaman 200 hingga seterusnya.

Tapi sayang sekali, saya tidak akan mengupas pidato Taufik Ismail, pro kontra eksploitasi seks di media Indonesia, bisnis seks di internet atau buku Paulo Coelho.

Saya akan membicarakan budaya seks di Nusantara. Hehehe.

(*Ketika yang lain bicara Hari Kemerdekaan RI, lagu kebangsaan yang kontroversi, lambang negara yang bias gender hingga bendera nasional yang katanya hanya modal ngerobek kaen biru bendera Belanda. Saya malah bicara topik abu-abu begini. Saya sudah pasrah. Apabila dituduh bandar seks setelah posting ini. Hehe*)

Budaya Seks Nusantara

Seks selalu tabu di Indonesia dan akan tetap selalu tabu. Setiap anak di Indonesia dilarang bicara seks… apalagi melakukan tindakan seks (sebelum menikah). Norma agama, budaya, hukum rajam, hingga neraka adalah padanan kata setiap pembicaraan mengenai seks, terutama seks bebas.

Hasil pelarangan bicara itu banyak. Ada positif ada negatif. Setahu saya, lebih banyak negatifnya (*subjektif sekali, kacamata pribadi*). Sebab anak-anak itu, terdorong oleh lingkungan dan insting alamiahnya, mencari jawaban. Buruknya, jawaban itu tidak meluncur dari mulut orangtua yang bijak (karena si orangtua sendiri minim pendidikan seksnya). Jawaban itu, muncul dari coretan-coretan dinding di WC sekolah, di cerita-cerita erotis cabul, diantara gambar-gamba perangsang syahwat hingga di bagian utama film biru.

Anak-anak distimulasi… Agar seliar imaji yang mereka tangkap.

Salah siapa?

Percuma, kalau mencari kesalahan. Generasi berganti, mulai dari abdi Wangsa Sanjaya hingga hamba Miyabi. Tidak akan ada solusi.

Coba kita runut akarnya.

Indonesia, sebelum bernama Indonesia, masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara, sudah mengenal budaya seks. Sebuah budaya yang melibatkan seks didalamnya.

Abad 8, Relief Karmawibangga bagian bawah di Borobudur dengan terang-terangan dipahat para pandita agung menggambarkan posisi ideal bercinta ala Kamasutra. Hingga akhirnya ditutup oleh pemerintah kolonialis Belanda. Alasannya, tidak sesuai norma agama Belanda.

Pada abad 11, muncul sekte varian Buddha di Sumatera, Jawa dan Bali. Namanya Tantra. Salah satu ajarannya, untuk berhubungan dengan tuhan dan mencapai surga harus makan ikan, menari dan bersenggama, antar pemeluknya.

Tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi, didirikan Candi Sukuh. Kontroversi. Sebab banyak memuat perwujudan genital pria wanita. Perwujudan ini sebenarnya lebih cenderung ke arah paganisme, pemujaan wanita dan reproduksi sebagai pelambang kesuburan.

Sekitar 1620-21 (*masih diperdebatkan kejelasan tahunnya*), Inggris mengirimkan dua wanita berkulit putih ke Aceh untuk dijadikan selir Sultan Iskandar Muda. Pengiriman ini untuk membujuk sang Sultan membantu Inggris mengenyahkan musuh bersama mereka dari Nusantara, yaitu Portugis. Sejarah tidak pernah mencatat, bahwa sang Sultan nan agung dan tampan itu menolak hadiah luar biasa Inggris ini.

1814, Serat Centhini, mengupas beberapa bagian hubungan suami istri di kalangan bangsawan-bangsawan Jawa, dilepas oleh Pakubuwana VII ke khalayak publik yang diwakili pemerintah kolonial Belanda.

1900
Rumah candu, yaitu rumah-rumah yang menjual candu dan dipakai untuk menghisap candu, atas ijin pemerintah kolonial Belanda, mempunyai fungsi ganda, tempat mabuk dan tempat bercinta. Rumah ini ditandai dengan cat mencolok berwarna merah. Lokalisasi pelacuran yang terkenal hingga saat ini di Belanda, The Red Light District, katanya diilhami dari rumah candu dan lokalisasi wanita penghibur nusantara berwarna cat merah itu.

1904
Seorang wedana yang baru saja terpilih menjadi pemimpin sebuah daerah, mengadakan pesta rakyat tayub dan ronggeng (diskotik jadul). Pada pesta itu, sang wedana, dilaporkan memeluk pinggang sang penari ronggeng setelah memberi tip f5 (lima gulden). Lalu setelah memberi tip f20 (dua puluh gulden), sang wedana memuntir puting payudara terbuka si penari ronggeng. Semua itu dilakukan di depan istri raja dan putri-putri bangsawan.
(*Jangan bayangkan gubernur yang baru terpilih, Fauzi Bowo melakukan tindakan yang sama di depan ibu Ani Yudhoyono, ndak sopan*)

1906
Seorang Mas Ngabehi, anggota dewan penasihat Raja Pakubuwana X, dipermalukan di harian Darmo Konda, harian rakyat setempat. Sebab sang dewan ketahuan berbuat mesum dengan seorang penari ronggeng. Perbuatan itu diketahui setelah rumah tempat mesum mereka, jatuh berantakan terkena angin puyuh. Harian itu menggambarkan aksi mereka dalam pantun melayu sebagai berikut “Botjah Klentang toemboeh diatas, ikan blenak di rawa-rawa, Masbehi di bawah prampoean di atas, ampir mati bersama-sama” (Koentowijoyo, 1993).

1911
Chiang Kai Sek menumbangkan The Last Emperor China, Pu Yi. Banyak pendukung kaisar lari ke luar negeri. Diantaranya ke Nusantara. Mereka mendarat di Singkawang Kalimantan Barat hingga pesisir Riau Sumatera. Diantaranya adalah perempuan-perempuan Cina yang dijual paksa oleh orangtuanya kepada bajak laut. Perempuan-perempuan ini banyak yang ‘dikaryakan’ di rumah bordil. Sejak saat itu, dominasi pelacur asal tiongkok tidak lagi dikuasai Kapitan Cina di Batavia.

1913
Haji Ahmad Benyamins dari Semarang menulis dalam bukunya Bab Alaki Rabi: Wayuh Kalian Boten (Mengenai Perkawinan Poligami dan Monogami) yang menyerang mentalitas lelaki priyayi, bangsawan, pedagang, hingga kelas pekerja. Ia menyebut bahwa mentalitas lelaki pada masa itu tidak terkendali, menjadi budak nafsu, sementara libido mereka menyerupai orang Arab, melebihi orang Cina, tapi dalam bekerja dan menabung mereka tidak bisa meniru kedua bangsa tadi. (H.A. Benyamins, 1913)

Tahun 1933, Serat Centhini diterbitkan dan diteliti ulang oleh Pigeaud, ahli literatur Jawa, berkebangsaan Belanda. Budaya seks bangsawan jawa, dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Perancis hingga Inggris. Seks Jawa, mulai melanglang dunia.

1942 – 1945
Sado masochist, budaya seks kekerasan muncul. Budaya ini muncul akibat serdadu jepang yang tak kuasa menahan libido mereka lalu menggenjot paksa sekitar 7000 wanita Indonesia dalam perilaku seks yang buas. Perempuan-perempuan itu, entah di bawah umur, entah istri orang, entah tengah mengandung, apabila cantik, digotong paksa untuk mengangkang di kamp-kamp Jepang. Lalu diperkosa beramai-ramai.
Setelah diperkosa, mereka dipasung dalam kerangkeng. Dikeluarkan sesekali, hanya untuk menerima sperma sang serdadu. Lagi-lagi, secara paksa.

Ok sampai sini dulu. Sebab bahasan saya, memang hanya hingga tahun 1945. Sebab setelah 1945, namanya sudah bukan Nusantara, melainkan Indonesia. Sebab katanya sudah merdeka.

Paparan kronologi diatas, hanyalah sedikit dari fakta dan data yang terumbar rapi di perpustakaan hingga aksara-aksara kuna prasasti Nusantara. Sebenarnya, jauh lebih banyak lagi. Semuanya gelap, rahasia, misterius dan ditutup-tutupi.

Yang pasti, budaya seks memang sudah ada sejak dulu kala. Makin ditutup-tutupi, makin merebak bagaikan cendawan di musim hujan. Memuaskan gairah liar para pria maupun wanita. Menembus jauh batas norma budaya dan agama. Menafikkan hukum rajam atau dosa neraka.

Budaya seks, ditutup-tutupi. Rapat. Bagaikan darah menstruasi. Sebab, timbul setitik saja pada baju luar, hilang sudah kecantikan disaputi rasa malu.

Budaya seks tertutup rapat. Hingga akhirnya, menyebar secara rahasia melalui telepon genggam dan monitor kita. Mengabarkan persetubuhan artis dangdut dengan wakil rakyat terpilih, ningrat baru bermuka baja.

Indonesia semakin tua.
Budaya seks ditutup-tutupi.
Buku sejarah dibakar.
Dan, anak-anak muda semakin liar mencari jawaban atas mimpi-mimpi basahnya.

Dirgahayu Negeriku Tercinta.