Saya sebagai manusia, punya banyak sifat buruk. Salah satu sifat buruk yang saya miliki dan susah direduksi yaitu ‘asal njeplak‘. Asal njeplak itu istilah orang Cilincing untuk menggambarkan manusia yang bicara tanpa lihat-lihat situasi serta kondisi.

Asal njeplak itu kalau dalam bahasa Indonesia mungkin sinonim dengan bicara tanpa berfikir.

Nah, asal njeplak saya ini kadang merugikan diri saya sendiri. Lebih buruk lagi, kadang merugikan bagi orang lain. (*walaupun yang lebih buruk lagi, seharusnya saya menulis hal yang lebih berguna, misalnya, mengenai perubahan semiotika ActionScript3.0 atau perpaduan aplikasi engine gamedev dengan webdev ketimbang menulis pengalaman saya dengan Asal Njeplak, hehe*)

Tapi biarlah, saya tetap akan menulis. Dan ini adalah salah satu cerita mengenai Asal Njeplak.

Ketika tinggal di Bali, dulu… Duluuu (*OK saya mengaku, ini cerita jadul, hehe*), saya dianugrahi kesempatan untuk berkenalan dengan para pemuda Indonesia yang luar biasa.

Mengapa luar biasa?

1. Karena mereka masih muda, mengerti teknologi dan mempunyai motto militan yaitu ‘Belajar untuk kebaikan adalah jihad’
2. Mampu mengorganisir diri sendiri serta lingkungan untuk berkumpul dan berserikat untuk kemajuan warga sekitar
3. Dalam usia yang muda, mampu untuk bergaya hidup disiplin dan sederhana

Salah satu faktor yang membuat saya terperangah adalah mereka bukan berasal dari kaum ningrat, tapi amat memperhatikan orang-orang yang kurang seberuntung mereka. Mereka bukan dari keluarga kaya, tapi tidak segan-segan membantu pelajar rantau kesulitan hidup yang jauh dari orang tua hingga warga sekitar yang membutuhkan bantuan.

Mereka, para pemuda Indonesia yang luar biasa.

Saya bersyukur, bisa berkenalan dengan mereka. Salah seorang dari mereka, sebut saja Doni. Saya selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Bli Doni‘.

Ini cerita mengenai Bli Doni (dan Asal Njeplak, hehe)

Suatu hari, beberapa teman surfer dan saya berkumpul untuk membicarakan kecelakaan yang sering menimpa para surfer dan wisatawan di sebuah surf spot, pantai di Bali bagian barat. Kami punya ide untuk membangun sistem elektronis yang menghubungkan antara penjaga pantai dengan Puskesmas dan Pemda setempat. Sehingga kalau terjadi kecelakaan, dapat mudah ditangani atau diantisipasi.

Karena hampir semuanya teman-teman surfer saya tidak paham mengenai cara berhubungan dengan Pemda lokal, maka saya kebagian jatah untuk mengontak Pemda. Bukan karena saya paham birokrasi, lho. Tapi karena, saya satu-satunya orang Indonesia diantara mereka. Dasar nasiib.

Begitu dapat tugas ini, saya langsung mengontak Bli Doni. Sama-sama, kami membuat skema kerja. Diantaranya adalah membangun perangkat keras telekomunikasi berbasis tenaga matahari dan wifi, karena antara pantai dan puskesmas itu jauh dan tidak ada listrik serta line telpon.

Selain itu, kami juga berencana untuk mengadakan pelatihan penggunaan perangkat keras dan perangkat lunak, bagi penjaga pantai, ahli kesehatan Puskesmas serta pegawai Pemda sebagai sentral komando apabila ada kecelakaan/bencana.

Bli Doni dan teman-temannya antusias sekali mendukung program ini. Bahkan kalau perlu, jiwa dan raga dikorbankan untuk mengurus program ini (*halah, bahasanya.., ampun deh!*).

Hingga, tidak lama kemudian ketika skema kerja selesai, saya dan Bli Doni berangkat ke sebuah kabupaten di Bali Barat. Kami naik motor, goncengan berdua. Bli Doni yang bawa motor. Saya yang digonceng (*Bukan karena saya males, tapi saya belum punya SIM RI pada saat itu, hehe*).

Dari Denpasar, kami ke Legian. Lalu setelah itu dari Tanah Lot menuju Lalang Linggah dan Pulukan. Dari Pulukan, kami terus berkendara.

Motor melaju di sebuah jalan yang indah sekali. Di kanan jalan menghampar deretan sawah hijau berkelok melengkung beririgasi subak. Di kiri jalan, dedaunan kelapa bagaikan menari di tiup angin laut selat Bali. Dibelakangnya, buih-buih ombak putih pecah di pantai. Langit biru. Benar-benar biru.

Astaga, Indonesia indah sekali!

Dua jam lebih saya terkagum-kagum di goncengan belakang motor sambil makan permen karet. Hingga akhirnya Bli Doni berkata bahwa kami sudah sampai ke tujuan.

Oh ya penonton, saya lupa memberitahu lokasi tujuan kami. Padahal ini penting. Ya sudah, begini, lokasi tujuan kami seperti yang disebutkan diatas, yaitu Pemda. PEMDA adalah singkatan dari pemerintah daerah. Kerajaan lokal yang memerintah masyarakat di tingkat bawah. Di atas Pemda ini ada lagi kekuasaan kerajaan yang lebih besar, namanya Pemerintah Pusat. Lebih dikenal sebagai Republik Indonesia.

Pemda tujuan kami adalah sebuah kabupaten. Rajanya jelas, yaitu Bupati.

Nah, mengapa kami memilih Kabupaten dan Bupati ini sebagai lokasi target bantuan? Salah satu alasan utamanya yaitu di kabupaten ini sering terjadi kecelakaan laut pada wisatawan. Selain itu, sang Bupati ini terkenal jujur dan cerdas. Konon kabarnya, beliau lama tinggal di negeri sakura. Piawai dalam teknologi serta punya etos kerja yang tinggi.

Bupati ini, kabarnya juga mampu membuat jaring pengaman sosial swadaya untuk warganya. Ini jelas hebat. Di sebuah negara tanpa sistem kontrol sosial kesehatan, ada sebuah daerah kecil dan tidak kaya, dimana seluruh warganya punya asuransi kesehatan.

Semuanya Swadaya, lho. Ingat, SWADAYA! Artinya benar-benar modal desa. Tanpa ada campur tangan Pemerintah Pusat hingga Bank Dunia.

Mengapa hebat? Sebab petani miskin, mayoritas warga lokal, apabila sakit dan tidak mampu kerja, akan mendapat 25 ribu rupiah perhari sebagai tunjangan sosial kesehatan. Ini hebat, sebab pada masa itu, 25 ribu rupiah perhari, cukup untuk memberi makan sekeluarga perhari.

Kelihatannya kabupaten ini jauh lebih hebat daripada ibukota Indonesia, tempat perputaran dua pertiga uang di Indonesia.

Dan hari ini, saya akan bertemu sang Bupati hebat.

Begitu sampai di kantor kabupaten, saya dan Bli Doni diterima oleh sekretaris Pak Bupati. Sekretarisnya cantik, euy. Sayang sekali, Pak Bupati tidak di tempat. Tapi tidak apa-apa, toh. Kan ada sekretarisnya, hehe.

Sial sekali, ternyata saya bukan tipe cowok idola bagi sang sekretaris manis cantik dan kelihatan cerdas itu. Rupanya beliau lebih banyak bercakap-cakap dengan Bli Doni. Dalam hati saya menggerundel, “Iyee.., Iyee.., gue tau diri“.

Karena dicuekin sekretaris cantik itu pula, saya ingat bahwa kami sedang dalam misi penting. Buset dah, saya sampai menepuk jidat, malu. Lalu saya menuju lantai satu, untuk riset dan sosialisasi program dengan para pegawai yang sedianya akan dilatih dalam program ini.

Celingak-celinguk mirip orang bloon. Akhirnya mengantarkan saya pada sebuah ruangan. Isinya bapak-bapak tiga orang, trus ibu-ibu empat orang. Semuanya belum begitu tua. Anehnya, kok bapak-bapak itu pada ngerokok yaa?

Tatapan mata mereka curiga. Sial, emangnya tampang saya mirip psikopat?

Untuk mengantisipasi tatapan mata yang semakin lama semakin tajam menusuk itu, saya langsung berdiri di tengah ruangan. Memperkenalkan diri. Menjelaskan mengapa saya ada di tengah mereka. Dan memberitahu bahwa mereka mendapat beasiswa untuk ikut pendidikan sistem penanggulangan bencana secara terpadu.

Duh, senyum saya umbar terus. Gigi rasanya sudah mau copot kebanyakan senyum.

Tapi tatapan mata mereka masih tetap saja tajam menatap senyum saya. (*Ahh, padahal senyum saya manis loh. Jijay, narsis, hehe*)

Sambil tetap senyum (walaupun kelihatan lebih mirip monyet meringis bimbang), saya menjelaskan bahwa program ini lumayan penting dan didukung oleh komunitas surfer internasional.

Begitu mendengar komunitas internasional, bapak-bapak berambut jambul tintin matanya berubah. Ibu-ibu konde yang sedang memegang rol mesin ketik juga. Wah, kali ini, senyum saya berubah. Tidak lagi meringis. Melainkan mulai pede. Tampaknya presentasi saya memiliki secercah harapan.

Tanpa terduga-duga, si bapak jambul bertanya “Jatah kami berapé?

Hah! Saya kebingungan, “Maksudnya apa, Pak?
– “Sing pura-pura. Jangan begitu na’e, jangan pura-pura. Kami dapat berapé?” (*sing=tidak, na’e=dong*)
+ “Bapak dan ibu yang ada di ruangan ini dapat pendidikan gratis selama tiga bulan, Pak. Dalam masa…”
– “Jangan pura-pura bego na’e. Uang untuk kami berapé?”
+ “Wah, kalau uang transport sama makan aja sih ada, Pak”

Saya didesak terus untuk menjawab berapa jumlah uang transport dan makan mereka. Saya jawab terus-terang, yaitu sejumlah uang makan dan transport seperti biasanya warga kebanyakan.

Mereka marah.

– “Kamu ini sing tahu na’e. Sejak ini bupati naik, proyek-proyek sepi”
+ “Tapi proyek kan masih banyak, Pak”
– “Apa yang banyak! Semua persen keuntungan diambil bupati. Dipakai untuk bayar asuransi. Taik kucing!”
+ “Tapi kan asuransinya buat warga, Pak”
– “Kamu ini tahu apa na’e. Orang luar, sok tahu!”

Saya makin kebingungan.

+ “Pak, ini ada program bagus. Dan bapak ini akan dipromosikan jadi penanggung jawab program ini”
– “Kamu tahu, sejak bupati sial ini naik, saya masuk kerja dari jam delapan pagi sampai jam empat sore! Ini bupati ndak bener ini. Siing beneer. Dulu, bupati enak. Masuk jam sepuluh, pulang jam dua belas. Sing ade yang pusing. Sing ade yang tanya-tanya. Dulu, uang bagus. Dulu, banyak proyek. Program kamu ini tambah bikin pekerjaan saya tumpuk-tumpuk. Sing adé uangnyé”
+ “Pak, begini saja deh, kalau…”
– “Siing… ndak mau saya dengar lagi ke kamu. Sudah saya pusing!”
+ “Saya tidak bermaks…”
– “Pusiiing!”

Diperlakukan begitu, saya jelas kesal. Tapi kata orang-orang baik, walaupun hati panas, kepala tetap harus dingin. Sialnya, mulut saya langsung keluar kata-kata asal njeplak, “Eh kecoa. Kalo semua pegawai pemda kaya kamu kapan mao majunya negri ini? Emang ini tanah bapak moyang lo, maen ambil keputusan seenak jidatnya?”.

Begitu mendengar kalimat itu, wah, si Jambul darah tingginya kumat. Dia naik ke arah meja hendak menerjang saya. Harga dirinya sebagai seorang kepala bagian terluka. bagaikan banteng dalam pertandingan matador, ia menyeruduk saya.

Saya mabur dengan secepat kilat ke lantai tiga, tempat Bli Doni dan sekretaris Bupati sedang diskusi. Lalu pamit buru-buru. Ambil motor di parkiran. Pulang ke Denpasar.

Saya diam terus di sepanjang perjalanan. Bli Doni curiga. Saya diem aja.

Di jalan, kami berhenti di sebuah warung pinggir pantai yang menjual es kelapa muda. Bli Doni bercerita bahwa sekretaris Pak Bupati curhat, mengenai pegawai-pegawai yang sudah puluhan tahun bekerja di instansi tersebut.

Kemudian, Bli Doni bertanya, “Gimana presentasi kamu dengan para calon project officer, Rif”

Saya menyeruput es kelapa, memandang ombak laut, berfikir keras agar tidak asal njeplak menjawab pertanyaan Bli Doni dengan kalimat Astaga! Indonesia indah sekali!“.