Saya sebagai manusia, punya banyak sifat buruk. Salah satu sifat buruk yang saya miliki dan susah direduksi yaitu ‘asal njeplak‘. Asal njeplak itu istilah orang Cilincing untuk menggambarkan manusia yang bicara tanpa lihat-lihat situasi serta kondisi.
Asal njeplak itu kalau dalam bahasa Indonesia mungkin sinonim dengan bicara tanpa berfikir.
Nah, asal njeplak saya ini kadang merugikan diri saya sendiri. Lebih buruk lagi, kadang merugikan bagi orang lain. (*walaupun yang lebih buruk lagi, seharusnya saya menulis hal yang lebih berguna, misalnya, mengenai perubahan semiotika ActionScript3.0 atau perpaduan aplikasi engine gamedev dengan webdev ketimbang menulis pengalaman saya dengan Asal Njeplak, hehe*)
Tapi biarlah, saya tetap akan menulis. Dan ini adalah salah satu cerita mengenai Asal Njeplak.
Ketika tinggal di Bali, dulu… Duluuu (*OK saya mengaku, ini cerita jadul, hehe*), saya dianugrahi kesempatan untuk berkenalan dengan para pemuda Indonesia yang luar biasa.
Mengapa luar biasa?
1. Karena mereka masih muda, mengerti teknologi dan mempunyai motto militan yaitu ‘Belajar untuk kebaikan adalah jihad’
2. Mampu mengorganisir diri sendiri serta lingkungan untuk berkumpul dan berserikat untuk kemajuan warga sekitar
3. Dalam usia yang muda, mampu untuk bergaya hidup disiplin dan sederhana
Salah satu faktor yang membuat saya terperangah adalah mereka bukan berasal dari kaum ningrat, tapi amat memperhatikan orang-orang yang kurang seberuntung mereka. Mereka bukan dari keluarga kaya, tapi tidak segan-segan membantu pelajar rantau kesulitan hidup yang jauh dari orang tua hingga warga sekitar yang membutuhkan bantuan.
Mereka, para pemuda Indonesia yang luar biasa.
Saya bersyukur, bisa berkenalan dengan mereka. Salah seorang dari mereka, sebut saja Doni. Saya selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Bli Doni‘.
Ini cerita mengenai Bli Doni (dan Asal Njeplak, hehe)
Suatu hari, beberapa teman surfer dan saya berkumpul untuk membicarakan kecelakaan yang sering menimpa para surfer dan wisatawan di sebuah surf spot, pantai di Bali bagian barat. Kami punya ide untuk membangun sistem elektronis yang menghubungkan antara penjaga pantai dengan Puskesmas dan Pemda setempat. Sehingga kalau terjadi kecelakaan, dapat mudah ditangani atau diantisipasi.
Karena hampir semuanya teman-teman surfer saya tidak paham mengenai cara berhubungan dengan Pemda lokal, maka saya kebagian jatah untuk mengontak Pemda. Bukan karena saya paham birokrasi, lho. Tapi karena, saya satu-satunya orang Indonesia diantara mereka. Dasar nasiib.
Begitu dapat tugas ini, saya langsung mengontak Bli Doni. Sama-sama, kami membuat skema kerja. Diantaranya adalah membangun perangkat keras telekomunikasi berbasis tenaga matahari dan wifi, karena antara pantai dan puskesmas itu jauh dan tidak ada listrik serta line telpon.
Selain itu, kami juga berencana untuk mengadakan pelatihan penggunaan perangkat keras dan perangkat lunak, bagi penjaga pantai, ahli kesehatan Puskesmas serta pegawai Pemda sebagai sentral komando apabila ada kecelakaan/bencana.
Bli Doni dan teman-temannya antusias sekali mendukung program ini. Bahkan kalau perlu, jiwa dan raga dikorbankan untuk mengurus program ini (*halah, bahasanya.., ampun deh!*).
Hingga, tidak lama kemudian ketika skema kerja selesai, saya dan Bli Doni berangkat ke sebuah kabupaten di Bali Barat. Kami naik motor, goncengan berdua. Bli Doni yang bawa motor. Saya yang digonceng (*Bukan karena saya males, tapi saya belum punya SIM RI pada saat itu, hehe*).
Dari Denpasar, kami ke Legian. Lalu setelah itu dari Tanah Lot menuju Lalang Linggah dan Pulukan. Dari Pulukan, kami terus berkendara.
Motor melaju di sebuah jalan yang indah sekali. Di kanan jalan menghampar deretan sawah hijau berkelok melengkung beririgasi subak. Di kiri jalan, dedaunan kelapa bagaikan menari di tiup angin laut selat Bali. Dibelakangnya, buih-buih ombak putih pecah di pantai. Langit biru. Benar-benar biru.
Astaga, Indonesia indah sekali!
Dua jam lebih saya terkagum-kagum di goncengan belakang motor sambil makan permen karet. Hingga akhirnya Bli Doni berkata bahwa kami sudah sampai ke tujuan.
Oh ya penonton, saya lupa memberitahu lokasi tujuan kami. Padahal ini penting. Ya sudah, begini, lokasi tujuan kami seperti yang disebutkan diatas, yaitu Pemda. PEMDA adalah singkatan dari pemerintah daerah. Kerajaan lokal yang memerintah masyarakat di tingkat bawah. Di atas Pemda ini ada lagi kekuasaan kerajaan yang lebih besar, namanya Pemerintah Pusat. Lebih dikenal sebagai Republik Indonesia.
Pemda tujuan kami adalah sebuah kabupaten. Rajanya jelas, yaitu Bupati.
Nah, mengapa kami memilih Kabupaten dan Bupati ini sebagai lokasi target bantuan? Salah satu alasan utamanya yaitu di kabupaten ini sering terjadi kecelakaan laut pada wisatawan. Selain itu, sang Bupati ini terkenal jujur dan cerdas. Konon kabarnya, beliau lama tinggal di negeri sakura. Piawai dalam teknologi serta punya etos kerja yang tinggi.
Bupati ini, kabarnya juga mampu membuat jaring pengaman sosial swadaya untuk warganya. Ini jelas hebat. Di sebuah negara tanpa sistem kontrol sosial kesehatan, ada sebuah daerah kecil dan tidak kaya, dimana seluruh warganya punya asuransi kesehatan.
Semuanya Swadaya, lho. Ingat, SWADAYA! Artinya benar-benar modal desa. Tanpa ada campur tangan Pemerintah Pusat hingga Bank Dunia.
Mengapa hebat? Sebab petani miskin, mayoritas warga lokal, apabila sakit dan tidak mampu kerja, akan mendapat 25 ribu rupiah perhari sebagai tunjangan sosial kesehatan. Ini hebat, sebab pada masa itu, 25 ribu rupiah perhari, cukup untuk memberi makan sekeluarga perhari.
Kelihatannya kabupaten ini jauh lebih hebat daripada ibukota Indonesia, tempat perputaran dua pertiga uang di Indonesia.
Dan hari ini, saya akan bertemu sang Bupati hebat.
Begitu sampai di kantor kabupaten, saya dan Bli Doni diterima oleh sekretaris Pak Bupati. Sekretarisnya cantik, euy. Sayang sekali, Pak Bupati tidak di tempat. Tapi tidak apa-apa, toh. Kan ada sekretarisnya, hehe.
Sial sekali, ternyata saya bukan tipe cowok idola bagi sang sekretaris manis cantik dan kelihatan cerdas itu. Rupanya beliau lebih banyak bercakap-cakap dengan Bli Doni. Dalam hati saya menggerundel, “Iyee.., Iyee.., gue tau diri“.
Karena dicuekin sekretaris cantik itu pula, saya ingat bahwa kami sedang dalam misi penting. Buset dah, saya sampai menepuk jidat, malu. Lalu saya menuju lantai satu, untuk riset dan sosialisasi program dengan para pegawai yang sedianya akan dilatih dalam program ini.
Celingak-celinguk mirip orang bloon. Akhirnya mengantarkan saya pada sebuah ruangan. Isinya bapak-bapak tiga orang, trus ibu-ibu empat orang. Semuanya belum begitu tua. Anehnya, kok bapak-bapak itu pada ngerokok yaa?
Tatapan mata mereka curiga. Sial, emangnya tampang saya mirip psikopat?
Untuk mengantisipasi tatapan mata yang semakin lama semakin tajam menusuk itu, saya langsung berdiri di tengah ruangan. Memperkenalkan diri. Menjelaskan mengapa saya ada di tengah mereka. Dan memberitahu bahwa mereka mendapat beasiswa untuk ikut pendidikan sistem penanggulangan bencana secara terpadu.
Duh, senyum saya umbar terus. Gigi rasanya sudah mau copot kebanyakan senyum.
Tapi tatapan mata mereka masih tetap saja tajam menatap senyum saya. (*Ahh, padahal senyum saya manis loh. Jijay, narsis, hehe*)
Sambil tetap senyum (walaupun kelihatan lebih mirip monyet meringis bimbang), saya menjelaskan bahwa program ini lumayan penting dan didukung oleh komunitas surfer internasional.
Begitu mendengar komunitas internasional, bapak-bapak berambut jambul tintin matanya berubah. Ibu-ibu konde yang sedang memegang rol mesin ketik juga. Wah, kali ini, senyum saya berubah. Tidak lagi meringis. Melainkan mulai pede. Tampaknya presentasi saya memiliki secercah harapan.
Tanpa terduga-duga, si bapak jambul bertanya “Jatah kami berapé?”
Hah! Saya kebingungan, “Maksudnya apa, Pak?”
– “Sing pura-pura. Jangan begitu na’e, jangan pura-pura. Kami dapat berapé?” (*sing=tidak, na’e=dong*)
+ “Bapak dan ibu yang ada di ruangan ini dapat pendidikan gratis selama tiga bulan, Pak. Dalam masa…”
– “Jangan pura-pura bego na’e. Uang untuk kami berapé?”
+ “Wah, kalau uang transport sama makan aja sih ada, Pak”
Saya didesak terus untuk menjawab berapa jumlah uang transport dan makan mereka. Saya jawab terus-terang, yaitu sejumlah uang makan dan transport seperti biasanya warga kebanyakan.
Mereka marah.
– “Kamu ini sing tahu na’e. Sejak ini bupati naik, proyek-proyek sepi”
+ “Tapi proyek kan masih banyak, Pak”
– “Apa yang banyak! Semua persen keuntungan diambil bupati. Dipakai untuk bayar asuransi. Taik kucing!”
+ “Tapi kan asuransinya buat warga, Pak”
– “Kamu ini tahu apa na’e. Orang luar, sok tahu!”
Saya makin kebingungan.
+ “Pak, ini ada program bagus. Dan bapak ini akan dipromosikan jadi penanggung jawab program ini”
– “Kamu tahu, sejak bupati sial ini naik, saya masuk kerja dari jam delapan pagi sampai jam empat sore! Ini bupati ndak bener ini. Siing beneer. Dulu, bupati enak. Masuk jam sepuluh, pulang jam dua belas. Sing ade yang pusing. Sing ade yang tanya-tanya. Dulu, uang bagus. Dulu, banyak proyek. Program kamu ini tambah bikin pekerjaan saya tumpuk-tumpuk. Sing adé uangnyé”
+ “Pak, begini saja deh, kalau…”
– “Siing… ndak mau saya dengar lagi ke kamu. Sudah saya pusing!”
+ “Saya tidak bermaks…”
– “Pusiiing!”
Diperlakukan begitu, saya jelas kesal. Tapi kata orang-orang baik, walaupun hati panas, kepala tetap harus dingin. Sialnya, mulut saya langsung keluar kata-kata asal njeplak, “Eh kecoa. Kalo semua pegawai pemda kaya kamu kapan mao majunya negri ini? Emang ini tanah bapak moyang lo, maen ambil keputusan seenak jidatnya?”.
Begitu mendengar kalimat itu, wah, si Jambul darah tingginya kumat. Dia naik ke arah meja hendak menerjang saya. Harga dirinya sebagai seorang kepala bagian terluka. bagaikan banteng dalam pertandingan matador, ia menyeruduk saya.
Saya mabur dengan secepat kilat ke lantai tiga, tempat Bli Doni dan sekretaris Bupati sedang diskusi. Lalu pamit buru-buru. Ambil motor di parkiran. Pulang ke Denpasar.
Saya diam terus di sepanjang perjalanan. Bli Doni curiga. Saya diem aja.
Di jalan, kami berhenti di sebuah warung pinggir pantai yang menjual es kelapa muda. Bli Doni bercerita bahwa sekretaris Pak Bupati curhat, mengenai pegawai-pegawai yang sudah puluhan tahun bekerja di instansi tersebut.
Kemudian, Bli Doni bertanya, “Gimana presentasi kamu dengan para calon project officer, Rif”
Saya menyeruput es kelapa, memandang ombak laut, berfikir keras agar tidak asal njeplak menjawab pertanyaan Bli Doni dengan kalimat “Astaga! Indonesia indah sekali!“.
November 8, 2007 at 2:09 pm
apakah pertamax termasuk asal njeplak juga bang aip?
Hehehe, bisa aja kamu. Hehehe
November 8, 2007 at 3:27 pm
wakakaka…apes bener ya, bang? yah, menurut saya sih bang aip bukan asal njeplak, cuma lagi apes aja.
bener2 deh, indonesia indah sekali 😀
Iye nih, Mbok. Nasiib… nasiib… apeesss. Huehehe
November 8, 2007 at 3:33 pm
Bang Aip,
Cita2 saya pingin jualan sayuran di pasar Koja,masih ada ngga yah Bang tuh pasar?
Pulang kampungnya barengan yuuuk Bang?
Pasar Koja udah bubar. Dirubuhin Tommy, anaknya mantan RI 1. Saya pulang kampung masih lama, Mbak Citra. Tapi Insya Allah, kalau dikasih rejeki, bisa barengan deh. 🙂
November 8, 2007 at 4:12 pm
Ya Bli .. Indonesia indah sekali. Apalagi kalo di bali. Berdua dengan sekretaris sexy. Alangkah indahnya Indonesia Bli.
*jadi ceritanya apa? KKN? kan emang dari duluuu*
Hahaha, saya ngakak baca komen ini, Mas Eby. BTW, sekretaris Mas Eby ada dimana sekarang. Di Bali?
Whuehehe…
November 8, 2007 at 4:57 pm
lha sekretarisnya ngak dibahas lebih lanjut bang ???
Halah, Pak Guru.. mancing nih yee. Huehehe. Nanti kalo saya bahas, saya takut blog ini ganti nama, jadi web Cerita-cerita seru 17 tahun keatas dot kom. Whuehehee.
November 8, 2007 at 6:12 pm
hmmm…emang keterlaluan ko kecoa-kecoa busug tersebud, uda bufatina bener, bawahannya yang bulug..*kbawa emosi*
emang mereka ituh bener-bener kecoak!
Sabar…, sabar.., Mas Hoek.
November 8, 2007 at 7:08 pm
KKN…
gile, masuk kerja jam 10 pagi, selesainya jem 12. Ya tentu asik.
Tapi kayaknya ID Embassy di Amrik juga deh. Orang bule libur, mereka ikut libur. Indonesia libur, mereka juga ikut libur lagi! Jam kerja kayaknya 9-12, 1-4 PM dari Senin sampai Kamis doang…tapi aku dateng jem 2, masih pada makan siannnnng.
365 hari setahun..liburannya banyakkkkk banget, belum ditambah annual vacation.
Oh, Indonesia hebat sekali!
Hahaha, ditulis dong di blognya. Keren juga tuh. Diplomat-diplomat amrik niru-niru kelakuan oknum kelurahan RI.
November 8, 2007 at 8:08 pm
hahaha, hampir mirip temanya dengan salah satu tulisanku, tentang pegawai juga di http://penggerak.wordpress.com/2007/11/03/strees-tidak-bisa-korupsi/
Gue juga bingung mo ngomong apa tentang mereka. dan memang kenyataan seperti itu.
Kita ngomong aja apa adanya. Bukannya menulis juga berbuat?
November 8, 2007 at 8:12 pm
bedanya dengan gue, ngak langsung jeplak gitu, tapi jeplaknya lewat blog, hehehe 🙂
Nggak apa-apa. Lebih bagus lagi, tulisan di blog anda di print. Terus disebarkan di lokasi-lokasi yang anda anggap strategis. Misalnya, tulisan tentang korupsi kantor di blog anda, sebarkan di kantor anda. Kalau berani, terang-terangan. Kalau ndak berani, sembunyi-sembunyi. Yang penting, pesannya sampai!
November 8, 2007 at 9:13 pm
endonesa… bupatinya bagus ya itu? jadiin presiden aja
Mau ga tuh bupati yaa?
November 8, 2007 at 9:15 pm
bang aip ngomong jijay sama narsis
Iya, saya kan jadul. Jadi sah saja. Huehehehe.
November 9, 2007 at 2:13 am
Hahaha, mo bener aja susah!
Life oOO life!
November 9, 2007 at 2:15 am
Jembrana ya pak? Nebak aja seh…
Membaca postingan ini, saya kok niat nulis lagi ya? Banyak pengalaman dengan birokrasi neh…
Mas Fadil, hati-hati, jangan asal tebak. Untuk menghindari aksi premanisme dan somasi ugal-ugalan, saya sudah menghindari pemakaian nama geografis dan penggunaan nama pelaku secara fiktif dalam blog ini, loh. 🙂
Ayo dong nulis lagi. Nulis blog itu amal jariah, Mas Fadil. Nggak dibayar, tapi ikhlas untuk kebaikan. Jadi wartawan, juga amal, kerjanya ikhlas. Bedanya, jadi wartawan, ada motivasi gaji. Huehehe.
November 9, 2007 at 2:39 am
Kayanya sesekali njepak itu perlu juga, Bang. Apalagi ngadepin orang begitu. (kalo nggak dijeplakin nggak bakal nyadar kali! Huh… *jadi ikut esmosi*
Sabar.., Sabar..,
November 9, 2007 at 3:16 am
Indonesa!!!!!! itulah pertanyaan yang saya hadapi tiap hari…. apa yang saya dapet dari proyek ini???? berapa persen yang bisa diembat dari proyek ini… lama-lama mual juga kalo liat yang seperti ini.
November 9, 2007 at 3:18 am
hidup persitara!!
Pung, kau memang idolaku!
HIDUP PERSITARA!!!
November 9, 2007 at 3:41 am
Wakakakakak….
untungnya ga jadi ada acara smekdown di Pemda ya bang?
Wah, sebenernya kalau si Jambul ndak dipegangin oleh temen-temennya, udah jadi kornet saya.
November 9, 2007 at 5:27 am
1. bukan tipe cowok idola sekretaris cantik
2.bukan tipe cowok idola bapak-bapak pegawai pemda pula 🙂
3. Larinya kenceng, kalo kepaksa! 😀
November 9, 2007 at 5:30 am
Jadi bukan pemimpin yang selalu salah tho, tapi orang yang dipimpin itu sendiri yang ga mau diatur….
Bener Mas Hedi. Kasus seperti ini tidak banyak memang. Tapi, ada.
November 9, 2007 at 5:47 am
“Astaga! Indonesia indah sekali!“.
😦
Bener, Mas Mbel. Indah
November 9, 2007 at 6:18 am
Aduh… Indonesia banget Bang..
Sampai gak tau kudu komen apa, soalnya saya dah terlanjur berharap bahwa cerita Bang Aip kali ini mempunyai akhir yang bahagia 😀
Sayang, akhirnya begini. Maaf yaa, Mas Yani.
November 9, 2007 at 6:35 am
Ah, kalo bang Aip tau “permainan” tingkat atas. Kecoanya lebih banyak, lebih gede, dan lebih kuat. Bahkan seorang presiden pun gak berani ngelawan. 😦 Itulah Indonesia. 😛
Ini saya baru denger gosip sih. Kata kabar burung, pemilihan Ibu Mega dan SBY diwarnai permainan ‘mereka’. Tapi yaa, namanya juga kabar burung. Masih belum jelas. 😉
November 9, 2007 at 6:57 am
ya….gimana mau maju kalau petingginya hanya mikirin gimana cara masukin rupiah sebanyak2nya ke kantongnya sendiri ya bang=(
kapan bisa berubah kala seperti ini. Mungkin memang harus ada satu penguasa yang bisa merubah segalanya…
jadi ingat saat bigboss kita d angkat dulu. Korupsi mati2an d berantas, tapi semakin kesini semakin kendur pengawasaanya..dan kembali kita menjadi bangsa yang pelupa =(
Mbak Mei, ini di kantor lama atau di kantor baru. Kalau di kantor baru, rasanya saya kenal big bossnya deh. Hehehe.
November 9, 2007 at 6:58 am
njeplak njeplak suweng
suwenge ting gelenter
… 🙂
hehehe, bisa ajee.
November 9, 2007 at 8:04 am
bli arip..harusnya beli pathung buat ngegetok jidat si jambul itu..
Huahahaha… bethuul blii.
November 9, 2007 at 8:20 am
ya gitu deh….
November 9, 2007 at 8:31 am
“na’e” itu kalo menurut saya lebih mendekati “dong”.
jadi, kalimat “jgn gitu, na’e” lebih cocok diterjemahkan jadi “jgn gitu, dong”
Terimakasih Joe. Sebab ada teman yang mendebat, bahwa bahasa Bali Barat lebih mendekati bahasa Osing Banyuwangi. Tapi saya pakai definisi kamu saja. Sebab si Jambul katanya lama di DPS. Saya percaya, kamu sebagai pemuda DPS pasti mengerti. Sudah saya rubah, Joe. Terimakasih yaa. 🙂
November 9, 2007 at 8:47 am
Bangs Aips, emang ky nya mreka2 itu kudu kali2 di ceplosin omongan kaya begono itu…, biar nyadar… tp projectnya ‘tembus’ ga ? ketemu bupatinya ga pd akhirnya….???
Projectnya nggak ‘tembus’. Teman-teman surfer kecewa. Mereka sedikit sedih melihat saya yang ‘banyak mulut’. Mereka sempat berfikir, lebih baik menyogok saja, sebab kondisi lokasi dan pengunjung surf spot di sana memang cukup berbahaya.
Saya bingung, masak harus ikut siklus suap-korupsi-sogok untuk menyelamatkan nyawa manusia?
Bupati, sayang sekali kami tidak ketemu. Beliau digoyang-goyang musuh politiknya. Sayang sekali, orang seperti beliau musuhnya banyak.
November 9, 2007 at 9:33 am
Saya jg termasuk yg asal djeplak tapi mau nanggapi dgn tidk asal djeplak soalnya saya PNS juga he…he…
Tapi asli loh sy masuk jam delapan pagi plg jam empat sore tanpa keluhan dan muka jutek, karena punya banyak kegiatan di kantor yang bagi sy cukup menyenangkan walaupun duitnya termasuk tidak banyak.
Jd semua tergantung orgnya, munkin para pegawai yang bersungut-sungut sdh terbiasa dgn raja yg lama jadi kaget dia dgn raja yg baru.
salam
medan
* Bang Aips boleh juga datang & jln-jln ke Danau Toba, soalnya tdk kalah indah dgn Bali, Tapi hati-hati dgn org-orgnya, soalnya pasti lbh sangar tp baik hati he..he…
Setahu saya, orang Batak itu nggak sangar loh. Tapi romantis. 🙂
November 9, 2007 at 12:45 pm
Yes yes.. itulah indonesia…
Salam Bang,
Salam juga Kang. Terimakasih sudah mampir.
November 9, 2007 at 2:17 pm
Terus proyeknya jalan???
…:((
Itu sedihnya, Bu. Proyeknya gagal. Uangnya sudah terkumpul. Fundrising dijalankan di Sydney, Melbourne dan Auckland. Sayang sekali, projectnya gagal. Akhirnya alokasi dana dialihkan ke pengadaan dan pengaliran air bersih bagi warga yang tinggal di Tabanan. Tapi saya sudah tidak di Bali ketika proyek itu jalan. Sedih
November 9, 2007 at 3:09 pm
Hwe3…Datang jam 10 pulang jam 12..makan gaji buta tuh..
Jadi ingat..
Dibelakang rumah saya juga ada kantor pemerintahan. Sesekali saya memperhatikan(mengintai) mereka, sampai-sampai saya menghafal jadual mereka..
Jam 9 pagi datang kekantor,ngobrol-ngobrol dulu sama teman-teman sambil merokok+baca koran..
Jam 10-an gitu masih ada yang ngobrol,ada yang cuci mobil sambil dengerin lagu, ada yang cuci motor, tapi ada juga sebagian yang masuk ke dalam kantor..
Jam 12-an udah mulai ribut-ribut lagi, ngobrol lagi+ketawa-ketawa sambil makan siang, setelah itu ngobrol lagi sambil merokok..
Kira-kira jam 1 siang, uda mulai bubar, ada yang pulang,kebanyakan yang ibu-ibu. Sedangkan yang bapak-bapak masih asik ngobrol+ngorokok+ketawa-tawa ngakak…
Jam 2 siang…
Ga ada suara,sepi,sunyi, smuanya uda pada…. PULANG!!!…
Haduh..mau di bawa kemana Indonesia kalo kayak gini..
O Y, trus gimana Bang..Proyeknya jadi?
Gagal, Lan. Sedih sekali saya. Istri saya bahkan sampai nangis segala. Bukan gara-gara proyeknya gagal. Tapi karena orang Pemda sempet dateng ke rumah. Nyuruh saya diem, nggak bakal buka mulut. Bahkan ngancem-ngancem deportasi istri saya segala. Geblek, dia pikir istri saya pendatang haram kali di Indonesia.
November 9, 2007 at 3:25 pm
dulu mbah saya pernah bilang, karena jaman dulu orang kampung jarang punya jam, mereka biasanya ngeliat waktu keluarnya PNS, di kampung mbah saya, PNS pada keluar jam 6 pagi, berarti yang laen juga udah harus siap2 ke sawah, trus sore juga begitu, PNS dah nyampe rumah, berarti waktunya pulang dan mendekati magrib….ah indahnya dunia kalau pelayanan masyarakat top markotop
busway, loh bang aip tau kreo? saya tinggal di deplu, depan kampus budi luhur, masih banyak temen sd yang di kreo, dulu waktu belom ada hero (eh sekarang giant ya katanya?) suka ngadu bola disitu…hehehehe…wah kayaknya deket ya kita bang aip (haiyah bahasanye) 😛
Saya juga bingung, oknum PNS yang mangkir jam kerja ini makin lama makin banyak saja. Apa yang salah yaa?
Eh, Mas Umar, saya sering tuh nongkrong di Deplu. Asik, ceweknya cakep-cakep. Dulu waktu belom nikah, sering nongkrong di komplek Deplu. Sekalian ngecengin anak BL. Pas udah nikah, diem aja di rumah, ada majikan sih. Hehehe.
November 10, 2007 at 2:03 am
Bukannya ngebelain PNS, tapi gaji PNS emang keliwatan kecilnya kecuali yang di DJP dan DJBC. Yaa emang gak bisa jadi excuse untuk nyatut duit proyek juga. Sepertinya perlu pembenahan dalam rewarding system-nya.
Btw, saya bukan PNS loh he3x.
PNS juga gapapa. Hehhee.
Saya pikir bukan cuma yang di tingkat kabupatan aja deh. Di departemen-departemen besar di JKT juga banyak oknum yang begini. Di sebuah departemen di daerah kuningan, malah lebih gila lagi. Mereka rame-rame ke masjid jam 10 pagi. Katanya mau solat dhuha. Sampe masjid, yaa sholat.
Tapi kebangetan, sebab kan ada warga yang harus dilayani. Solat dhuha kan sunah. Melayani warga itu wajib.
Lebih parah lagi, abis solat dhuha, pada ngerokok sambil tidur-tiduran di masjid. Nunggu jam makan siang.
Abis makan siang, melayani warga. Dengan embel-embel, setiap warga yang dilayani, harus memberi uang pelicin.
Parahhh…
Gaji mereka… Amat cukup untuk hidup di kerasnya JKT.
Kalau begini, adakah excuse dan apologetik untuk mereka?
November 10, 2007 at 2:43 am
yah..begitulah…
mau digimanain lagi..
Mau digimanain lagi?
Jelas bisa kita rubah, Bung!
Bisa kita rubah. Dengan menulis… Dengan memberi komentar yang membangun. Dengan terus-terusan melakukan public awareness.
November 10, 2007 at 4:49 am
Njeplak dulu ah…
Baru mbaca artikelnya.
Hehehe…
Salam.
November 10, 2007 at 5:06 am
Setelah mbaca, njeplak lagi ah…
Tapi njeplaknya situ pas bener kok. Rasanya mereka memang patut dijeplakin kayak gitu.
Selamat njeplak lagi. Ditunggu jeplakan selanjutnya. Hehehe…
hahaha, bisa aja nih Mas Dewo.
November 10, 2007 at 5:32 am
Mas kunjungi blok saya, jawab pertanyaan saya, puenting..
Blog nya dimana mas? Hehehe, bisa aja nih si Mas. BTW, pertanyaannya apa mas?
November 10, 2007 at 6:15 am
tapi kadang asal njeplak memang bisa membuat orang berfikir lebih jauh lagi kan Bang?
lagi kena afes ya Bang?
ehehe…
endingnya asik tuh…
Indonesia emang Indah…
😀
Hehehe, makin membuat saya rindu. Ooh Indonesiaaaaaa!
November 10, 2007 at 7:29 am
he..he…kayak cerita beneren aja…eh, emang bener cerita beneran ternyata..saya kira $$#***()
November 10, 2007 at 8:59 am
hihihi….
ceritanya bang aip banget :p
masih mending tuh bang, bupatinya masih bener..
wong dimana2 mulai atas sampe bawah ya kayak gt :p
Iya, saya mengerti, Mas Edo. Secara Airputih pasti memiliki pengalaman segudang dengan instansi-instansi RI.
Tulis dong, sekali-kali, pengalaman dengan oknum. Hehehe. Dibolehin ga yaa sama Mas Anjar? Hehehe
November 10, 2007 at 9:04 am
btw, tulisan narsisnya kok di password?
untuk saya udah sempet nge-save potonya. siapa tau ntar ketemu bangaip. mo minta tanda tangan ah. kan katanya (lupa posting yang mana) mirip penyanyi indonesia :p
kapan “nyonyah”nya dibawa ke cilincing? :p
Insya Allah, kami ke Cilincing kalau The Baby sudah boleh terbang. Kalau sudah ada teknologi teleportasi, saya pasti bisa cepet-cepet pulang kampung. Hahaha. BTW, di pass untuk menghindari tangan jahil. Hehehe
November 10, 2007 at 9:13 am
“Jangan pura-pura bego na’e. Uang untuk kami berapé?”
Sama seperti yang lain, Pak.
November 10, 2007 at 1:59 pm
astaga.. indonesia emang indah sekali bang aip
😆
Hehehe… bener Alma. Saya setuju sekali. Huehehe
November 10, 2007 at 3:29 pm
Indonesia indah sekali yah. selain alamnya yang indah, satwanya pun beraneka ragam. yang terpenting ada kecoa2nya. ihihhiii…
Hahaha. Itulah yang dinamakan keanekaragaman hayati. Halah.. asal njeplak lagi nih saya. Huehehe
November 10, 2007 at 8:57 pm
Ah, Indonesia memang terlalu indah, sehingga membuai rakyatnya.
Iya, Mas Dana.. Kayak lagunya Padi. Indah.. terlalu indah.. bila kita berdua.. dalam alunan…
November 11, 2007 at 5:56 am
ketika kepentingan perut dan bawah perut jadi nomer satu, ya begitu-itu jadinya…
Jadi gimana hayoo? 🙂
November 11, 2007 at 10:37 am
om, permisi asal jeplak, minta kata sandi postingan sebelum ini…makasih klo dikasih :p
Hehhee, maap nja. Ketinggalan kereta yaa. Sepur postingan berikutnya masih lama. Insya Allah 6 bulan lagi baru dilepas sandinya. itu pun nggak lama. Maap yaa.
November 11, 2007 at 2:01 pm
dan kesimpulan-nya ini udah jadi penyakit dalam lingkaran setan pemerintah kita
ndak ada yang harus dan perlu di-salah-kan, sistem-nya yang seharus-nya di-rubah, tapi kapan? 🙄
November 12, 2007 at 1:23 am
ngepet!!!! ups… jadi ikutan njeplaxs!!!
hajar aja bleh yg kek gituan mah!!!
coba gw ada di blakang bang aiptop waktu itu…
pasti…. gw kabur doloan… hauhauhauhuaah
Huehehhee… Kamu ini bener-bener mirip Udin Petot. huehehe.
November 12, 2007 at 3:06 am
[…] kasih atas semua sampah birokrasi di negara ini, yang asalnya dari generasi Bapak dan Ibu sekalian. Terima kasih pula untuk raja-raja […]
November 12, 2007 at 4:50 am
duh… Indonesia…
tapi kalo njeplak itu, biasanya apa yang ada di hati langsung muntah gitu aja hehe…
saya juga sering begitu… 🙄Biasanya abis itu gimana, Chika? Nyesel? Atau seneng?
November 12, 2007 at 4:58 am
kalau pejabat “kecoa” macam itu sih harus sering-sering di asal njeplaki bang 😀
bira kapok…… tapi saya nggak bisa mbayangin waktu bang aip lari keluar, dikejer nggak bang?
Buset dah. Saya dikejar, mas Mardun. Gila.. Saya lari kayak dikejar anjing. Kenceng banget. Naik tangga berasa terbang. Ngaciiirr deh pokoknya.
November 12, 2007 at 10:22 am
Hehehe, bener Mr Kurt. Keluar juga dah bawaan oroknya. Huehehe.
Biasanya sih saya nggak kabur, Pak. Dijabanin di tempat. Tapi waktu itu, inget, bahwa saya emang ndak sepantasnya berkata begitu. Pasti ada cara yang lebih baik.
Sekali lagi, kayaknya ini bawaan orok, Pak. Nasib, lahir jadi anak Cilincing. Doyan asal njeplak. Huehehe.
November 12, 2007 at 10:46 am
Lho, kalo itu termasuk kategori asal jeplak ya berarti aku juga sering, Bang.
Masalah birokrasi kampus juga begitu.Hehe
Tapi belum sampe asal njeplak sama orang pemda, Bang. Paling banter pak polisi.
Indonesia kan memang begitu, Bang? Indah karena tabiat PNS nya. Makanya orang2 rebutan jadi PNS.
*ditabok PNS*
Hahaha… Ga semua PNS loh Mbak Hana. Masih ada juga yang baik. Sayang ketutupan. Selain itu, yang baik juga kadang pura-pura menutup mata ketika kawannya yang kurang baik melakukan aksi ‘ketidak-baikan’ terhadap warga.
November 13, 2007 at 8:18 am
hoooiiiii gua PNSSSSS……..
Sabar…, Sabar..,
November 13, 2007 at 11:24 am
Itulah Indonesia….
Kebetulan saya juga baru saja berurusan dengan oknum oknum macam begituan, jam 11 siang sudah pada bubar dari kantor
Kamu lagi ngurus Katepe, Rid?
November 13, 2007 at 3:00 pm
[…] November 13, 2007 at 2:00 pm | In Sampah di Mana-mana | Beberapa hari setelah membaca tulisan Bang Aip, saya jadi inget cerita temen saya dan […]
November 13, 2007 at 8:00 pm
PNS itu kata blognya momon, maling….kesana deh kalo gak percaya lol
Hahaha… Iya, sudah meluncur ke TKP. Benar adanya kata saudara Momon. Saya sudah konfirm, Momon memang bilang begitu. Hehehe
November 14, 2007 at 4:28 am
itulah salah satu keunikan Indonesia
Iya, sebentar lagi masuk jadi keajaiban dunia. Setelah borobudur ditolak jadi keajaiban dunia, sudah saatnya kita menyodorkan etos kerja pelayan warga jadi salah satu simbol keajaiban dunia.
November 14, 2007 at 2:45 pm
KTP iya. Surat keterangan Cukup Keren Iya. dan Kartu tanda penggaguran. semuanya selalu menghadapi pejabat pejabat macam begituan bang….
“Sedih liat kelakuakn oknum pejabat Indonesia”
November 14, 2007 at 3:00 pm
tergantung njeplaknya ke siapa, bang. hehehe…
November 14, 2007 at 4:07 pm
“Astaga! Indonesia indah sekali!“.
BAru sadar mas? 😀
“Eh kecoa. Kalo semua pegawai pemda kaya kamu kapan mao majunya negri ini? Emang ini tanah bapak moyang lo, maen ambil keputusan seenak jidatnya?”.
Ya gitu deh mas, Itulah kenapa tokoh idola saya keluar dari LIPI 🙂
Saya ikut prihatin dengan akibat Njeplakan mas Arif sehingga istri pun kena getahnya.
November 15, 2007 at 1:43 am
Bukankah hal tsb malahan menunjukkan kalau bangsa kita benar2 sudah menerapkan sila kelima dari Pancasila Bang?
Masak hanya para pejabat di atas sana saja yang boleh menikmati manisnya korupsi, para pejabat pada level di bawahnya juga mesti mendapatkan “hak” yang sama dunk. Itu baru namanya “keadilan”
*tertunduk lesu … heran tapi sedih*
Pancasila sila ke lima? Huehehe. Nyindiirrr… nyindiirrr…
Kalo gitu, yang mengamalkan sila pertama gimana? Kalau ternyata di Indonesia ada tuhan yang tidak Esa, gimana, King?
Huehehe.
November 15, 2007 at 12:04 pm
Indonesia tetap indah kok untuk saya….
Untuk saya juga, Mbak.
November 15, 2007 at 9:15 pm
trus programnya gmana om? berjalan atw ngga sama sekali?
Itu yang menyedihkan. Dianulir, euy.
November 16, 2007 at 6:59 am
bali barat? hmmm…berarti bener jembrana ya, bang? huekekeke…
tentang na’e dan pengaruh osing itu, bisa jadi bener juga. soale, dari seluruh kabupaten di bali, saya paling jarang main ke jembrana. jadinya ga terlalu gaul dengan kosakata mereka, hehehehe
Pertanyaannya ndak bisa saya jawab, Joe. Maap. Hehehe. Sudah banyak pesan sponsor, mengenai letak geografis daerah tertentu. hehehe
November 20, 2007 at 2:14 am
gemes juga ngadepin orang2 gak berguna kyk gitu. dilema memang.. apalagi negara sendiri. tp yg kyk begitu lama2 juga ngga bakal bisa bertahan..
eniwey, ada orang yg pernah bilang ke aku, kemana pun kita berada, mestinya kita bisa beradaptasi. dlm kata lain, klo kita ingin berhasil, mesti bisa ngikutin keadaan sekitar, (apa artinya harus ikutan korupsi ya? hahaha)
Apapun yang terjadi, jangan korupsi. Nanti saya ceritain deh sebab akibat korupsi. Serem euyyy.. mirip sinetron hidayah. Hiii…
November 20, 2007 at 3:10 am
saya juga mau asal njeplak nih… kabar terakhir kemarin, saya mau remove (permanent) redirect dari http://www.serrum.org/buntetpesantren/ tapi kok gak bisa-bisa.
Sudah berkali=kali namun nasib jeplakannya gak bisa nyeplak.. akhirnya harus minta bantuan yang ahli njeplak yaa… heheh.. 🙂
Desember 31, 2007 at 1:59 am
[…] Satu hal yang sangat ingin saya ingin rubah adalah kecongkakan mulut saya. Saya bermulut besar, asal jeplak. […]
Januari 7, 2008 at 5:21 pm
PNS cenderung feodal, tq to Orba…
Semoga cepet pensiun bapak2 dan ibu2 yang bikin direktorat ga maju2
Untung tempat saya mayoritas pada sadar masuk 07.30 n pulang 17.00
(gimana ga sadar wong pake finger print)
Januari 19, 2008 at 1:18 am
Kok nggak ada yg nyalahin Bupati-nya ya?
Kan dia sudah melakukan kesalahan besar juga.
Memaksa rakyatnya ikut asuransi tertentu (baca:mengalokasikan dana orang lain kegiatan sesuai agenda bupati).
Asuransi yang gak semua butuh, gak ada pilihan opt-out, milik siapa tuh? Dapat komisi besar gak dia?
Guru kencing berdiri, murid kencing sambil berlari..
Bapaknya kyk gitu, anak buahnya pastilah lebih parah lagi…
Semua nganggap Bupati-nya pantas jadi teladan ya? Weleh-weleh….
Ini menarik. Sebab Pak Jambul juga berkomentar yang senada ketika saya presentasi.
Potret manarik birokrasi, ketika ada pemimpin yang mencoba inovasi dan melayani warga, dapat komentar seperti ini dari anak buahnya.
Oktober 11, 2008 at 5:11 pm
[…] fast-reading). Terharu…membaca blog orang yang sudah banyak sekali pengalamannya (Cilincing-Bali-Eropa…ada lagi?), merasakan pahit dan pahitnya (maaf, buat aku kebanyakan isi postingannya, […]