(*Penonton… Aye udah sebulan nih nggak posting. Banyak juga cerita yang mengendap selama ‘pertapaan’ sebulan ini. Saking banyaknya, sampai bingung, apa yang mau diceritakan lebih dahulu. Hehehe*)
Cerita dibawah ini, mungkin tidak ada kaitannya satu sama lain. Dan mungkin juga tidak membawa perubahan apa-apa dalam hidup anda (*karena saya memang tidak berminat membagi-bagi moral saya yang sedikit ini kepada publik*). Dan yang lebih parah lagi, nampaknya juga tidak akan membuat anda kenyang setelah membaca.
Sialnya, saya tetap akan cerita.
Oke, tanpa basa-basi lagi. Ini ceritanya.
Cerita Pertama: Balada Ulang Tahun
Saya benci musim dingin. Mengapa? Simpel jawabnya, sebab saya manusia yang dibesarkan dalam kemanjaan alam iklim tropis. Saya benci musim dingin, sebab berbeda dengan kebiasaan di tempat saya lahir dan tumbuh.
Setiap hari, suhu di kampung kelahiran yang membesarkan saya, tidak jauh dari sekitaran 30 derajat Celcius. Andai lebih sedikit, atau kurang sedikit, warga kampung saya kena pilek. Dan kalau sudah kena musibah (*pilek sedikit sudah berarti musibah di kampung saya, hehe*), warga kampung (termasuk saya) doyan mencari kambing hitam. Lalu, kambing hitam siapa lagi yang paling enak dijadikan kambing hitam selain cuaca?
Cuaca bukan hanya kambing hitam, melainkan juga kambing congek. Dimaki-maki sedemikian rupa, tetap saja tak bergeming. Maka itu, enak sekali menjadikan cuaca sebagai kambing hitam. Diludahi kek, disembur mantra kek, dinajis-najisi kek, atau mau dijadikan seminar berbujet milyaran… tetap saja diam.
Balik lagi ke musim dingin… Hwadalah… Puas sekali saya memaki-maki musim dingin tahun ini. Apalagi ditambahi salju sedemikian rupa. Nampaknya, makian dari tujuh bahasa tidak cukup untuk mengungkapkannya.
Tidak puas memaki-maki, saya pun mengabari kepada sanak-saudara hingga teman-teman tercinta. Isinya keluh kesah belaka. Tentang iklim yang ‘kejam’ dan kondisi tubuh yang merapuh. Pendek kata, ahh sekedar sombong menunjukkan cengengnya jadi manusia.
Tidak lama kemudian, saya dapat jawaban. Dari berbagai belahan dunia. Di antara lain, ini jawabannya;
“Arif, suhu di kota saya tinggal saat ini sekitar minus 18 derajat celcius. Saya bekerja selama 8 jam outdoor. Ini jelas jauh berbeda dengan Jakarta. Tapi syukurlah, saya bahagia, saya dapat bekerja. Dan saya nikmati saja lebatnya badai salju ini“
“…Bang, kampung kita kebanjiran lagi. Beberapa hari kemaren, lampu mati. Airnya tinggi sampe segenteng. Tapi anak-anak pada seneng semuanya. Si Gugun, si Amat ama si Odoy, malahan mancing dari lantai dua rumah Haji Amir. Si Piter ama keluarganya malah mao ngerayain natal di atas perahu. Keren kan!“
Saya tercenung membaca surat-surat yang masuk ke dalam inbox email. Ada rasa sedih, ada rasa bangga, ada rasa haru, tapi lebih banyak perasaan malu. Sebab, banyak yang lebih susah hidupnya daripada saya, terus bergelut dengan perjuangan mereka, dan tetap terus mencoba bangkit.
Saya menatap keluar jendela.
Salju turun, rinai hujannya putih bagai hujan rintik kapas randu. Hinggap di batang cemara. Daun-daun pun memutih dengan latar belakang langit biru.
Saya ambil sepeda, mulai menggenjot pelan-pelan ke arah danau dekat rumah. Di pinggir danau, terlihat anak-anak bermain ice skating. Danau dekat rumah saya, membeku. Danau ini bermetomorfosis menjadi lapisan es. Ahh Cilincing, betapa saya merindu.
Saya genjot sepeda pelan-pelan diatas danau es… Bibir komat-kamit, perlahan-lahan mengumandangkan doa. Sebuah doa pendek, doa pada dunia yang malang. Dan juga seutas doa pada orang-orang yang malang yang kurang mensyukuri nikmat semacam saya. Juga doa pada orang-orang yang malang, yang tidak menyadari bahwa perbedaan adalah rahmah.
———————————————————-
Cerita Kedua: Balada Sayeb anak Sentiong
Andri, teman saya, mengabari bahwa SATPOL PP semakin menggila di Jakarta. Pada tanggal 8 Januari 2007, sembilan orang anggotanya memukuli seorang joki 3 in 1 (*gejala sosial dari pembatasan jumlah penumpang mobil pribadi di JKT*). Yang dipukuli, namanya Irfan Maulana.
Pada senin, 8 Januari itu, dalam keremangan malam… Irfan dikeroyok, dipukuli, dihancurkan seluruh persendian tubuhnya… Hingga tewas dengan nyawa tak berbekas. Malam itu, Irfan menginjak 14 tahun usianya. Life fast, die young!
Irfan mati, karena mencari nafkah secara ‘tidak halal’. Menjadi joki penumpang jalur 3 in 1.
Dari Andri pula, saya mengetahui bahwa di dunia ini ada manusia bernama Sayeb, yang ber-KTP Kramat Sentiong, Jakarta, ternyata adalah seorang waria. Auwww.
Tidak ada yang istimewa dari Sayeb yang sering berganti rupa dan nama menjadi Ely Susana. Hingga akhirnya terjadi tragedi di malam 17 November 2007.
Malam itu sedemikian pahit bagi Ely Susana. Waria berusia 44 tahun itu, dikejar oleh Satpol PP, dinas keamanan dan ketertiban Republik Indonesia.
Malam itu, Ely, yang entah bermimpi apa sebelumnya, dikejar-kejar tramtib. Bagaikan anjing terluka, ia bersembunyi di sela-sela pembatas sungai Jalan Latuharhary, Jakarta. Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Ia ketahuan!
Seorang laki-laki, berseragam dinas coklat, lari menghampiri Ely. Lalu menghantam kening dan kepala waria malang ini dengan pentungan kayu. Ely mengaduh. Tapi apalah arti jeritan seorang waria setengah baya? Makhluk dengan kasta terendah dalam sistem reliji sempurna seperti Indonesia.
Ely dipukuli wajah dan kepalanya. Dalam keremangan malam, ia terpeleset, jatuh tercebur di sungai. Ia menggelepar dalam air. Dengan wajah tertelungkup, musnah kiranya oksigen untuk dihirup. Seketika itu pula, malaikat maut merogoh jiwanya.
Malam itu, di dada laki-laki berseragam coklat nan gagah perkasa, tersemat bangga lambang SATPOL PP. Ia melontarkan ludah diatas bangkai Sayeb alias Ely Susana.
Malam itu, sang laki-laki, dengan bangganya, menepuk dada “Aku adalah abdi negara nan sebenarnya… Aku bersihkan semua najis bumi pertiwi dengan tangan ini“.
Dalam keremangan malam, laki-laki itu, seakan mengukuhkan bahwa ia layak digaji untuk membunuh. Gaji yang ia dapat dari pembayar pajak yang terhormat negeri ini. Pajak itu mungkin didapat dari gaji guru rendahan, atau pajak dari gaji gubernur, atau pajak dari mobil yang di parkir di pinggir jalan atau mungkin pajak dari makanan yang kita beli di warung-warung.
Malam itu, laki-laki tinggi hati berseragam coklat, tersenyum bangga menepuk dada “Aku adalah abdi negara nan sebenarnya.. Dan kalian, warga negara yang terhormat… Kalian tetap akan membayar pajak untuk mengupahiku membasuh najis dari bumi pertiwi dengan tangan ini… Dan kalian akan tetap tenang tidur di malam hari, tanpa bertanya-tanya kemana larinya upeti yang setia kalian bayar setiap pagi“
——————————————————————————-
Cerita Ketiga: Balada Pidgin
Karena kurang sehat berdasarkan ukuran kesehatan ‘manusia normal’, saya diperbolehkan bekerja di rumah. Dengan catatan, harus online selama jam kerja.
Mengapa harus online? Sebab rekan-rekan kerja saya, apabila kesulitan, dapat bertanya pada saya hal-hal tertentu dalam waktu jam kerja tersebut.
OK, itu wajar saja. Tidak masalah. Yang jadi masalah adalah, ketika online, saya memakai fasilitas chat internet dengan perangkat lunak opensource bernama Pidgin.
Nah Pidgin saya ini bermasalah, entah kenapa? Saya juga bingung. Sudah dalam kondisi ‘sedang sibuk’ tetap saja di layar ‘Selalu Tersedia -ON’. Ketika ingin lapor melalui bug launchpad, SREET, tiba-tiba muncul sebaris nama. Di layar, terpampang RONGRONG (bukan nama sebenarnya).
Ohoo… Ia mengajak chat.
Rongrong: Apakabar?
Sepedamerah: Baik. Kamu sehat? (*Ohya, di Pidgin, nama saya ‘sepedamerah’. Kenapa sepedamerah? Ahh itu ada cerita tersendiri. Nanti saja ceritanya. Jangan sekarang. Kepanjangan nanti. Hehe*)
Rongrong: Gimana kabar Bersihar?
Sepedamerah: Semua hasil kampanye sudah diberikan pada Boni. Ia yang menyampaikan ke Bersihar.
Rongrong: Kamu maunya apa sih sebenarnya?
Sepedamerah: Ente maksudnya apaan, Brur? 🙂 BRB
Saya ke dapur sebentar. Bikin minuman dari jeruk peras. Lalu kembali ke monitor. Oh ya, BRB singkatan dari ‘Be Right Back’, artinya ‘sori aye kebelakang dulu’. Hehe.
Sepedamerah: Hi, sori, agak haus.
Rongrong: Kamu mau jelek-jeleki PKK yaa?
Sepedamerah: Brur… Ente kenape? 😦 Kok aneh begini?
Rongrong: Kamu ini mentang-mentang mau pemilu, jelek-jeleki orang lain?
Rongrong: Tulisan kamu jelek-jeleki PKK. Karep’e dhewe.
Sepedamerah: Maap ga ngerti.
Rongrong: Sopo sing mbayari kamu, nulis karep’e dhewe?
Sepedamerah: Wah saya bener-bener nggak ngerti bahasa kamu. Maaf. BRB
Kalang kabut saya buka google. Cari arti bahasa yang Rongrong pakai. Akhirnya saya mengerti, itupun sedikit. Kelihatanya, ia menganggap bahwa saya dibayar oleh seseorang untuk menulis menjelek-jelekkan PKK, Partai Kekasih Kita, sebuah partai besar yang akan ikut pemilu RI mendatang.
Sepedamerah: Mas, saya nulis ga punya niat buruk
Sepedamerah: Apalagi dibayar.
Sepedamerah: Maaf yaa kalau situ tersinggung
Rongrong: Kamu njelek-jeleki PKK. Pak Uban itu sama sekali ndak bersalah. Ia kan disuruh atasannya untuk membakar buku. Ia sama sekali ndak salah. Itu sesuai prosedur. Ia hanya menuruti perintah atasan. Kamu ini jancuk! Awas kamu kalau ke Depok lagi.
Sepedamerah: Ooh itu toh masalahnya. Mas… Gini aja, kalo situ tersinggung. Bikin aja tulisan yang membantah tulisan saya. Mau maki-maki saya, yaa silahkan, bebas saja. Hehe. Oh ya, kalau saya ndak boleh ke Depok lagi, yaa sudah, saya di Cilincing saja… Mancing… Hehehe…
Tidak lama kemudian ia offline.
Saya mengusap kepala. Kalau Pak Uban tidak bersalah karena menurut perintah atasan?
Atau kalau atasannya, Mister Botak, ternyata juga tidak bersalah karena memerintahkan untuk membakar buku?
Atau kalau Si Seragam Coklat Satpol PP tidak bersalah karena memukuli ABG bernama Irfan hingga mati?
Atau kalau ternyata ‘pembunuhan’ Ely Susana ternyata sesuai prosedural yang berlaku?
Kalau gitu, siapa yang salah?
Bersihar Lubis?
Atau kita, para pembayar pajak yang terhormat, yang tidur nyenyak lelap setiap malam di peraduan dan bangun pagi demi setia membayar upeti pada negeri tercinta ini?
Desember 23, 2007 at 11:22 pm
Bentar boss……..
Ngamanin posisi doloo……
PERTAMAXXX……..
Desember 23, 2007 at 11:31 pm
Waaaahhhh……..
Cerita sedih lagee tentang Indon nyang siyal…….
Sampe kapan anak rakyat di Indon ini akan menderita lahir dan batin, ya bang,…..????
Desember 23, 2007 at 11:34 pm
Eh, bang….
Tau ndak, itu SATPOL PP sekarang dengan model Out Sourching, lho bang….
Mangkanya mereka bisa bertindak kejam.
Soale diancem,” Kalok kamu mingsih mau gajian, hayo, hajar para cecunguk itu !!!”
Desember 23, 2007 at 11:36 pm
Puwas sayah Dogi Satil sambil hetrik dasini….
***ngeluz-eluz jenggod dan nglinting clana sampe cingkrang….***
Desember 23, 2007 at 11:58 pm
@mbelgedez: Mas Mbel, bisa cerita lebih jauh soal Satpol PP? Cerita dong… Mao Hetrick 70.000 kali juga gapapa. Sebab ada perbandingan data yang masuk untuk publik.
BTW, enak ga hetriknya? Ini hetrik saos tirem apa yang bumbu rujak? 🙂
Desember 24, 2007 at 12:01 am
Ke…ke…ke… 🙂
Sayah ndak janji, tapi akan sayah coba mbantu…
E Mail sayah sudah tampil di komen sayah….
Desember 24, 2007 at 1:35 am
Pertama, selamat datang kembali yaks Bang 😉
Yang salah moral-nya bang, moral-nya udah ke-kikis ampe limit paling bawah, apa itu prosedur, apa itu birokrasi, apa itu perintah atasan, kalau akhir-nya tidak ada rakyat-nya lagi, keburu mati dan di-kerangkeng semua.
Lha kalau udah pada gak ada rakyat-nya, siapa yang bakal bayar upeti coba 😕
Thanks yaks bang, buat sharing ini ke kita, ini bisa kita jadi-kan sebagai modal kontemplasi ngelawan ke-tidak benar-an ini 😉
Sama-sama terimakasih. Saya juga senang dapat komentar yang membangun.
Desember 24, 2007 at 1:38 am
Cerita pertama:
Kalau saya malah setengah mati mau nginjak salju yang putih bang… Di sini sudah kebanyakan ngisep debu batubara yang item.
Kemaren satu kelurahan di banjarmasin dinyatakan positif ISPA plus sebagian kena Black-Lung gara-gara pemerintah kotanya ngasih ijin pendirian tempat penumpukan batubara persis disamping pemukiman padat penduduk.
Cerita Kedua:
Satpol PP, lagi…
Saya cenderung berpendapat prilaku petugas dilapangan adalah cerminan benak dari pejabat di kantor pemerintahan. Hajar rakyat kalau bisa, lalu pura-pura itu demi kepentingan bersama.
PKL dibasmi karena mereka menutup Ruko Pengusaha Naga. Kenapa ga di tata saja? Entahlah… Soal ini saya sering bingung, karena kadang memang terganggu dengan aktivitas sebagian PKL, pengemis atau pengamen. Tapi memangnya mereka sukarela jadi PKL, Pengemis, Pengamen?
Kalau ada kesempatan jadi anggota DPRD siapa pulak yang mau jadi pedagang kuaci??
Cerita Ketiga:
Lama ga ngobrol dengan sepedamerah, kapan OL pake YM lagi bang?
PKK saya kita Partai Kondom Kabeh. Secara sudah dua kali (yang ketauan) tanjung priuk disinggahi kontainer isinya kondom bekas atau reject yang konon mau dijadikan bahan karet untuk ikat rambut anak-anak kita.
Salam buat calon Arief Junior Bang.. (eh, sudah berapa bulan?? Jangan-jangan sudah hadir…)
Insya Allah, saya online. Sayang sekali perbedaan waktu yang menyulitkan. Insya Allah Aip Junior akan hadir pada bulan Mei. Amiinn. Wah seru nih kalo bisa chat 😀
Desember 24, 2007 at 3:03 am
*ngak nyangka mbel bisa pertamax n hetrikz juga.. wakakak 😆 *
masa satpol PPnya ngak merasa bersalah sih? dia bunuh orang lagi….
Jangankan Satpol PP, Pak Harto aja nggak pernah merasa bersalah memenjarakan anak-anak bawah umur di penjara pulau buru.
Desember 24, 2007 at 3:33 am
Mudah2an orang2 yang masih kurang punya hati nurani seperti dalam cerita di atas segera dibukakan pintu hatinya oleh Tuhan.
http://www.indomath.wordpress.com
Saya mengamini doa anda, Mas.
Desember 24, 2007 at 6:24 am
Bang, kok kedengarannya PKK sama kayak PKI(dalam stereotype orba)? PKK apaan sih?
Ahhh, itu nama sudah disensor dan dieufimisme, Mas Reza. Maaf ndak bisa memberitahu lebih banyak. Hehe.
Desember 24, 2007 at 1:15 pm
Bang Aip,
Sedih buanget bacanya Bang.
Apa nyang dapat saya lakukan !!!!!!?????
1. Turun ke jalan, gabung dengan aksi solidaritas
2. Atau bisa menggalang petisi online dan memberitahukannya pada Pemda dan Wakil Rakyat
3. Atau bisa juga menghibur keluarga korban yang ditinggalkan
4. atau bisa juga menyiarkan kekejian dan kekejaman agar tidak terulang kembali.
Maap, baru bisa ngasih tau empat cara. Moga-moga ada pembaca lain yang punya solusi lebih baik.
Desember 24, 2007 at 2:24 pm
waduh…ceritanya ngenes bang.. 😦
spicles baca yang cerita kedua… 😦
Maaf kalau membuat kamu ngenes, Chika.
Desember 24, 2007 at 3:06 pm
untuk cerita ketiga…jadi inget pesen nenek moyangku, “yen di jiwit loro ojo njiwit”
Hehehe, saya harus bergumul dengan google lagi. Moga-moga ada terjemahannya. Hehehe.
Desember 24, 2007 at 3:46 pm
ikut prihatin atas kondisi negeri ini..
*merasa blom bisa melakukan apa2 untuk negeri tercinta ini*
makasih ya bang atas ceritanya..
Terimakasih pula atas link dan kunjungannya.
Desember 24, 2007 at 5:29 pm
Di negara kita itu tidak ada yang salah sepertinya karena semua seperti lingkaran setan.
Bawahan tidak salah karena menjalankan perintah atasan sedangkan atasan juga tidak salah karena apa yng dia perintahkan itu untuk kebaikan umat. Jadi yang salah ujung2nya sebagian dari umat yang dianggap menjadi noktah dalam lautan susu umat lain.
Desember 24, 2007 at 6:14 pm
dalam sebulan banyak jg ceritanya 🙂 jadi terinspirasi untuk menulis apa saja kejadian yang unik di web blog….
Silahkan dibagi, Bung Nanang. Saya menanti.
Desember 24, 2007 at 6:42 pm
#1 sepertinya, saya harus bersyukur dengan keadaan saya sekarang. meskipun tiap malam saya sering memaki diri sendiri atas panasnya Surabaya dengan dua kipas angin yang terus beradu mengipas udara sekitar saya…
Ah, Bang… surga adalah rumah saya yang sejuk di malang. pas untuk tidur, tak panas, juga tak terlalu dingin.
semoga saya selalu bersyukur…
#2
saya punya temen (adik kelas) yang nama aslinya ipul tapi nama malamnya : Paulina Virgin. kisahnya hampir mirip, hanya saja si Paulin ini milih nyerah waktu ditangkap (soalnya polisinya brondong cakep, katanya) dan memilih untuk tidak menutup muka saat wartawan koran harian meliput. Bangga, katanya, ketika wajah cantiknya nongol di koran, meski beritanya miring, buat dia cukup untuk menaikkan pasaran.
😀
#3
waiyaks…
masak kucing bisa marah marah kayak gitu? wah… ini si Bona bisa lebih heboh lagi Bang…
😆
selalu ada yang baru dari Bang Aip…
😉
Polisi SBY emang ganteng-ganteng, Siwi? Gantengan mana ama polisi Malang? Hehehe
Desember 25, 2007 at 3:32 am
Thanks Bangaip…memang kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah kita peroleh dari Nya, banyak sekali orang yang belum bernasib baik dinegara kita. Petugas yang diharapkan mengayomi, kadang malah jadi memangsa kita.
Mudah2an Allah swt masih melindungi negara kita, jika sebagian besar masyarakatnya masih bisa bersyukur dan mengikuti jalan yang di ridhoi oleh Nya.
Iya Bu, saya setuju. Kritis itu penting… Dan, syukur juga penting. Dan saya mengamini pula doa yang Ibu panjatkan.
Desember 25, 2007 at 7:40 am
😦 kok Indonesia begini yah? haihh.
Dan Rongrong itu kok marah sebesar itu? pake kata ‘jancuk’ segala. Tidak baik! 😦
Yahh, ini salah satu sisi republik tercinta.
Desember 25, 2007 at 8:11 am
Uhuh… Pertama-tama, welcome back bang~
Wah, mengenaskan… Atasan dan prosedur selalu dijadikan kambing hitam seperti cuaca. 😦
Speechless saya melihat kasus 2 dan 3…
Terimakasih atas ucapannya Mas Gun. Iya benar, Mas Gun, apologetik dan pencarian kambing hitam nampaknya pelan-pelan harus kita kikis (*makin cepat, makin bagus*)
Desember 25, 2007 at 8:38 am
Pas buka my yahoo trus ada posting baru dari bangaip, langsung diamanka di flesdis, takut dipassword2 lagi. Waduh2.. ini balada nyampe 3 biji bang, udah kayak sunah nabi.. Tapi aku paling trenyuh sama yang balada ke-2. Bencong kan juga manusia (meski emang pada lebay kayak chintya putri, hihi..). Dia berhak menghirup udara kebebasan di Indonesa yang katanya demokratis ini dong.. Ck ck ck.. Btw aku jadi penasaran ama joomla gara2 pernah liat tulisan bang aip.. kalo siap lahir batin, mungkin akan nyoba pake joomla. . Eh, maap kalo OOT ya bang.. 😀
Hehehe. Kalo yang passwd itu biasanya yang kadar mengganggu ketertiban beberapa orang sudah sedemikian tinggi. Baru deh di passwd. Hehehe. Tiw, kalau ada masalah dengan Joomla, silahkan hubungi saya. Pintu terbuka luas. Boleh diketok jam berapa saja.😀
Desember 25, 2007 at 9:13 am
senang membaca tulisan bangaip lagi *no comment*
Terimakasih dalam-dalam sudah dikunjungi oleh Mas Edo *juga ga komen* 😀
Desember 25, 2007 at 10:20 am
Three in one ni yeee.
Cocok sama salah satu kisahnya mengenai mampusnya joki three in one.
Lagi lagi Polisi Poco Poco. Makhluk makhluk yang masih satu species dengan preman berseragam memang suka begitu. sewenang wenang. Sudah sewenang wenang, bangga pulax!
Iya Rid. Saya sedih melihat kebanggan mereka. Apa yang mau dibanggain?
Desember 25, 2007 at 12:44 pm
Haha.. saya sampai nyengir baca komentar titiw
Kayaknya ide bagus tuh 😀
Anyway, saya bersyukur juga ada 3 in 1, ada banyak keluarga joki yang jadi bisa terpenuhi kebutuhannya. Daripada bayar tol, kadang saya lebih pilih bayar joki.
Cuma kalau sudah melihat mereka dikejar-kejar, sedih juga jadinya. Pertama, kok di negara yang kaya ini mereka sampai terpaksa jadi joki. Kedua, itu manusia apa kucing sih, kok dikejar-kejar.
Kalau maling oke deh kejar saja sampai ketangkap, he he.
btw; begitu ketemu keyword “launchpad” langsung waspada… dan kayaknya benar, bang Aip pakai Linux (ubuntu) ya ?
Mau ikutan di tim penulis linux-aktivis@linux.or.id bang ? 😀
Kita banyak permintaan nih, tapi kekurangan orang, he he. Lumayan, kalau pas di luar lagi badai salju kan, daripada bengong bisa nulis artikel linux 😉
OK bang Aip, selamat menikmati hidup.
Iya Pak Hari, saya pakai Linux. Poligami antara semua turunan RedHat dan juga Ubuntu. Tapi saya ini masih tergolong munafikun. Sebab di kantor aplikasi pengembangan perangkat lunaknya berbasis ASP, jadi masih harus memakai produk Microsoft, karena ada kontrak dengan vendor. Hehehe.
Insya Allah, saya akan ikutan menulis deh di Linux.or.id. Wah, Pak Harry ini makin lama makin cocok menyandang gelar bapak kos linuxer RI deh. Getol mengkampanyekan GNU/Linux. Salut saya terhadap Pak Harry. 😀
Desember 25, 2007 at 6:05 pm
Arggggh…lagi2 satpol pp.
benci aku.
Hehehe, jadi inget Tesi alias Kabul dari Srimulat… “Huh, benci akuu!”
Desember 26, 2007 at 3:35 am
konon katanya di Cina sana memakai cara: membunuh 1 ayam untuk menakuti monyet-monyet. spertinya cara itu yg sedang marak dipakai belakangan ini.
Ada lagi, Mbak Golda… Sebentar lagi akan meniru Machiaveli dalam Il Principo. Yaitu, pandita akan menjilat kaki raja. Sebentar lagi, semua agama bakal dilabeli jadi dagangan biar laku dalam pemilu.
Desember 26, 2007 at 4:04 am
ah, cape. satpol PP itu siapa sih sebenernya? polisi bukan tentara bukan tapi kelakuannya kayak dia yg punya negara ini. beuhhh…
Mereka ini perpanjangan alat negara, Mbok. Katanya sih ‘Agent of Change’. Itu pun kata mereka loh.
Desember 26, 2007 at 5:03 am
Numpang ngakak I:
lanjutin…
Desember 26, 2007 at 5:08 am
Numpang sedih :
iyaa sayang dengar air laut kini meninggi hendak bersaing dengan “tingginya” orang2 kota? tapi sayangnya yang dekat pantai yang kena imabasnya… 😦
… lanjutin…
Desember 26, 2007 at 5:09 am
salah tulis maaf bang aip, sayang maksudnya saya.
Desember 26, 2007 at 5:17 am
numpang deg-degan :
“Orang kuat” masih banyak bang aip di Republik ini… kapan2 mancing ke Cirebon bang. 🙂
Iya pak. Ini yang saya sedih. ‘Kekuatannya’ belum dipakai untuk menulis untuk perdamaian dan kebaikan warga. Insya Allah saya mampir ke Cirebon kalau pulkam, Pak. Alhamdulillah, jadi nambah tujuan silaturahminya nih. 🙂
Desember 26, 2007 at 6:34 am
Rongrong sudah bikin tulisannya belum ya? 🙂
Kita tunggu saja. Mungkin akan ia publis di blognya. Well, let see. 🙂
Desember 26, 2007 at 10:27 am
Bang, klo g blh ke Depok lagi, ke Gresik aje, hehehehe.
Itulah komitmen bangsa kita, memberantas ORANG MISKIN, bukan memberantas KEMISKINAN…….
Alhamdulillah, ada satu lagi tempat tampungan. 🙂
Desember 26, 2007 at 12:40 pm
urusan dingin, sampeyan boleh ga suka, tapi cewek dari kawasan udara dingin suka tho 😛
urusan satpol pp, entah gimana cara kita ngilanginnya, ini sebuah potret publik kita yang memang seneng gagah2an, pasang stiker pm di mobil atau motor, pasang topi polisi di dashboard mobil, dsb-nya padahal hanya tetangga aparat 😦
Haha, bener Mas Hedi. Ibu Nyonyah produk cuaca dingin pula. Hahaha.
Desember 26, 2007 at 12:42 pm
ah bang aip nulis lagi. dah bolak-balik ke sini selalu belum ada yang baru.
di tempat saya satpol pp malah akan diberi senjata api. kemarin malah dah pada latihan nembak. ini pasti lebih mengerikan dari sekedar pentungan.
Masya Allah, dimana?
Desember 27, 2007 at 3:38 am
Satpol PP juga manusia. Pernah gak denger kalo satpol PP gajiannya telat sampe berbulan-bulan. Uang operasional dipotong. waktu jakarta banjir kemaren mereka harus kerja dibawah hujan, kedinginan, kaga punya duit. dari desember 2006 sampe maret mereka baru gajian man. alesannya belum ada anggaran. anggaran tai kucing! parah kan sedangkan komandan mereka duduk2 enak2an sambil ngawasin didalam mobil ford escape-nya. nah orang kaga punya duit gimana emosinya kaga gampang naek man. jadi petinggi2 satpol PP yang suka jadi tukang sunat lah yg kita beresin dulu. baru bawahannya
Saya turut berduka, apabila ada yang belum dibayar gajinya. Namun itu tetap saja bukan alasan untuk melegalkan pembunuhan. Dalam sejarah RI, apologetik dan pencarian kambing hitam memang selalu tampak dalam menyelesaikan permasalahan serius, bahkan hingga semisal pembunuhan seperti ini hingga yang kaliber seperti kasus Munir.
Namun, kalau memang kekecewaan mampu dijadikan alasan latar belakang penghilangan nyawa manusia, maka Gubenrnur Jakarta (dan pucuk pimpinan-pimpinan lainnya) seharusnya jadi manusia pertama yang harus mati untuk menanggung beban moral warganya yang menderita gara-gara macet tiap hari dan banjir tiap tahun (jangan lupa, plus bobroknya kualitas birokrasi kabinetnya). 🙂
Desember 27, 2007 at 5:44 am
#1 apapun itu kalo kita melihat dari segi positip ya jadinya bagus. Hujan salju malah maen ski, eee… kebanjiran kok malah mancing
#2 satpol PP, sebenernya siapa yang salah.
bagaimanapun juga harus dicari akar (perma)salah(annya). kalo pimpinan nya yang salah memerintah, ya harus siap dikritik, kalo prosedurnya yang salah ya harus diganti, kalo satpol PP nya yang salah ya harus dilawan.
#3
“Kamu ini jancuk! Awas kamu kalau ke Depok lagi.”
Aku kok melok ndredek ndelok sampeyan dipisuhi coro suroboyoan koyok ngono sam.
Wah, terimakasih atas tanggapannya. BTW, asalnya dari Malang apa SBY nih, Mas?
Desember 27, 2007 at 8:16 am
Cerita 1: Kalo sate kambing gmn mas? wkwkwkw… **Kok jadi ngomongin kambing…
Cerita 2: Itu cerita beneran ya? Kok bisa bunuh orang seenak perut gitu? **Tanya kenapa..?
Cerita 3: Ngomongin apa nih mas? wkwkwkw… Kepanjangan ceritanya 😀
** Blogwalking, salam kenal!
Salam kenal juga. Waduh, saya kira ini I Made Wiryawan alias IMW. Ternyata hampir serupa namun tak sama. 🙂
Desember 27, 2007 at 9:00 am
Duh… bang Aip selalu punya stok cerita yang bikin aku serasa ditampar. 😦
Maap euy.
Desember 27, 2007 at 2:48 pm
…
…
…
…
…
speachless bang….
segitu hinanya kah seorang waria???
Kadang-kadang mereka ditempatkan lebih rendah lagi dalam ‘status sosial nan mulia’ di negara ini, Kevin. Negara yang menjunjung tinggi ketuhanan sebagai sila pertama, dan melupakan kalimat “manusia” pada sila kedua dasar negaranya.
Desember 27, 2007 at 10:13 pm
Waduh dapat ancaman ya Bang Arif? Mudah-mudahan ga serius tuh orang… 😀
Serius juga ga papa, Mas Jupri. Saya mah santai aja. Hehehe.
Desember 28, 2007 at 8:43 am
Bang, sebagai budak beliau tidak pernah merasa bersalah, beliau merasa hanya mengikuti perintah majikan.
Soal derita, kemarin2 ini saya harus pulang pergi bogor-jagakarsa. Hari2 pertama penuh keluhan, mana kehujanan tiap hari, tapi setelah merubah cara pandang, saya akhirnya menikmati touring setiap pagi sore, dengan dandanan tahan air 🙂 Emang gimana kacamata yang dipake sih, saya baru nyadar tuh.
Iya Mas Teguh, tergantung kacamatanya memang. Katanya orang bijak, semua hal di semesta ini bisa benar tergantung dari sudut mana si pengamat melihat. 🙂
Desember 28, 2007 at 11:09 pm
Another story, bang…
😦
Terimakasih atas linknya Mas Gun. Saya sudah meluncur ke TKP.
Januari 4, 2008 at 7:32 pm
Ip…
..Neehh, ada perkembangan terbaru dari DKI Jakarta.
Posisi Pol.PP dan bentuk represifitas Pemda DKI makin meminggirkan kawan dan sodara-sodara kita yang idupnya makin susah.
Berikut upaya yang sedang dihimpun oleh kawan-kawan di DKI Jakarta:
(ARM)
(JCSC)
http://jcsc-indonesia.blogspot.com/2008/01/cabut-perda-tibum-produk-neoliberalisme.html
Mohon dukungan dan solidaritasnya..
Salam,
-A-
THX Dri.
Januari 5, 2008 at 8:48 pm
sayah bener2 malu menjadi warga negara indonesia
😆