(*Penonton… Aye udah sebulan nih nggak posting. Banyak juga cerita yang mengendap selama ‘pertapaan’ sebulan ini. Saking banyaknya, sampai bingung, apa yang mau diceritakan lebih dahulu. Hehehe*)

Cerita dibawah ini, mungkin tidak ada kaitannya satu sama lain. Dan mungkin juga tidak membawa perubahan apa-apa dalam hidup anda (*karena saya memang tidak berminat membagi-bagi moral saya yang sedikit ini kepada publik*). Dan yang lebih parah lagi, nampaknya juga tidak akan membuat anda kenyang setelah membaca.

Sialnya, saya tetap akan cerita.

Oke, tanpa basa-basi lagi. Ini ceritanya.

Cerita Pertama: Balada Ulang Tahun

Saya benci musim dingin. Mengapa? Simpel jawabnya, sebab saya manusia yang dibesarkan dalam kemanjaan alam iklim tropis. Saya benci musim dingin, sebab berbeda dengan kebiasaan di tempat saya lahir dan tumbuh.

Setiap hari, suhu di kampung kelahiran yang membesarkan saya, tidak jauh dari sekitaran 30 derajat Celcius. Andai lebih sedikit, atau kurang sedikit, warga kampung saya kena pilek. Dan kalau sudah kena musibah (*pilek sedikit sudah berarti musibah di kampung saya, hehe*), warga kampung (termasuk saya) doyan mencari kambing hitam. Lalu, kambing hitam siapa lagi yang paling enak dijadikan kambing hitam selain cuaca?

Cuaca bukan hanya kambing hitam, melainkan juga kambing congek. Dimaki-maki sedemikian rupa, tetap saja tak bergeming. Maka itu, enak sekali menjadikan cuaca sebagai kambing hitam. Diludahi kek, disembur mantra kek, dinajis-najisi kek, atau mau dijadikan seminar berbujet milyaran… tetap saja diam.

Balik lagi ke musim dingin… Hwadalah… Puas sekali saya memaki-maki musim dingin tahun ini. Apalagi ditambahi salju sedemikian rupa. Nampaknya, makian dari tujuh bahasa tidak cukup untuk mengungkapkannya.

Tidak puas memaki-maki, saya pun mengabari kepada sanak-saudara hingga teman-teman tercinta. Isinya keluh kesah belaka. Tentang iklim yang ‘kejam’ dan kondisi tubuh yang merapuh. Pendek kata, ahh sekedar sombong menunjukkan cengengnya jadi manusia.

Tidak lama kemudian, saya dapat jawaban. Dari berbagai belahan dunia. Di antara lain, ini jawabannya;

Arif, suhu di kota saya tinggal saat ini sekitar minus 18 derajat celcius. Saya bekerja selama 8 jam outdoor. Ini jelas jauh berbeda dengan Jakarta. Tapi syukurlah, saya bahagia, saya dapat bekerja. Dan saya nikmati saja lebatnya badai salju ini

…Bang, kampung kita kebanjiran lagi. Beberapa hari kemaren, lampu mati. Airnya tinggi sampe segenteng. Tapi anak-anak pada seneng semuanya. Si Gugun, si Amat ama si Odoy, malahan mancing dari lantai dua rumah Haji Amir. Si Piter ama keluarganya malah mao ngerayain natal di atas perahu. Keren kan!

Saya tercenung membaca surat-surat yang masuk ke dalam inbox email. Ada rasa sedih, ada rasa bangga, ada rasa haru, tapi lebih banyak perasaan malu. Sebab, banyak yang lebih susah hidupnya daripada saya, terus bergelut dengan perjuangan mereka, dan tetap terus mencoba bangkit.

Saya menatap keluar jendela.

Salju turun, rinai hujannya putih bagai hujan rintik kapas randu. Hinggap di batang cemara. Daun-daun pun memutih dengan latar belakang langit biru.

Saya ambil sepeda, mulai menggenjot pelan-pelan ke arah danau dekat rumah. Di pinggir danau, terlihat anak-anak bermain ice skating. Danau dekat rumah saya, membeku. Danau ini bermetomorfosis menjadi lapisan es. Ahh Cilincing, betapa saya merindu.

Saya genjot sepeda pelan-pelan diatas danau es… Bibir komat-kamit, perlahan-lahan mengumandangkan doa. Sebuah doa pendek, doa pada dunia yang malang. Dan juga seutas doa pada orang-orang yang malang yang kurang mensyukuri nikmat semacam saya. Juga doa pada orang-orang yang malang, yang tidak menyadari bahwa perbedaan adalah rahmah.

———————————————————-

Cerita Kedua: Balada Sayeb anak Sentiong

Andri, teman saya, mengabari bahwa SATPOL PP semakin menggila di Jakarta. Pada tanggal 8 Januari 2007, sembilan orang anggotanya memukuli seorang joki 3 in 1 (*gejala sosial dari pembatasan jumlah penumpang mobil pribadi di JKT*). Yang dipukuli, namanya Irfan Maulana.

Pada senin, 8 Januari itu, dalam keremangan malam… Irfan dikeroyok, dipukuli, dihancurkan seluruh persendian tubuhnya… Hingga tewas dengan nyawa tak berbekas. Malam itu, Irfan menginjak 14 tahun usianya. Life fast, die young!

Irfan mati, karena mencari nafkah secara ‘tidak halal’. Menjadi joki penumpang jalur 3 in 1.

Dari Andri pula, saya mengetahui bahwa di dunia ini ada manusia bernama Sayeb, yang ber-KTP Kramat Sentiong, Jakarta, ternyata adalah seorang waria. Auwww.

Tidak ada yang istimewa dari Sayeb yang sering berganti rupa dan nama menjadi Ely Susana. Hingga akhirnya terjadi tragedi di malam 17 November 2007.

Malam itu sedemikian pahit bagi Ely Susana. Waria berusia 44 tahun itu, dikejar oleh Satpol PP, dinas keamanan dan ketertiban Republik Indonesia.

Malam itu, Ely, yang entah bermimpi apa sebelumnya, dikejar-kejar tramtib. Bagaikan anjing terluka, ia bersembunyi di sela-sela pembatas sungai Jalan Latuharhary, Jakarta. Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Ia ketahuan!

Seorang laki-laki, berseragam dinas coklat, lari menghampiri Ely. Lalu menghantam kening dan kepala waria malang ini dengan pentungan kayu. Ely mengaduh. Tapi apalah arti jeritan seorang waria setengah baya? Makhluk dengan kasta terendah dalam sistem reliji sempurna seperti Indonesia.

Ely dipukuli wajah dan kepalanya. Dalam keremangan malam, ia terpeleset, jatuh tercebur di sungai. Ia menggelepar dalam air. Dengan wajah tertelungkup, musnah kiranya oksigen untuk dihirup. Seketika itu pula, malaikat maut merogoh jiwanya.

Malam itu, di dada laki-laki berseragam coklat nan gagah perkasa, tersemat bangga lambang SATPOL PP. Ia melontarkan ludah diatas bangkai Sayeb alias Ely Susana.

Malam itu, sang laki-laki, dengan bangganya, menepuk dada “Aku adalah abdi negara nan sebenarnya… Aku bersihkan semua najis bumi pertiwi dengan tangan ini“.

Dalam keremangan malam, laki-laki itu, seakan mengukuhkan bahwa ia layak digaji untuk membunuh. Gaji yang ia dapat dari pembayar pajak yang terhormat negeri ini. Pajak itu mungkin didapat dari gaji guru rendahan, atau pajak dari gaji gubernur, atau pajak dari mobil yang di parkir di pinggir jalan atau mungkin pajak dari makanan yang kita beli di warung-warung.

Malam itu, laki-laki tinggi hati berseragam coklat, tersenyum bangga menepuk dada “Aku adalah abdi negara nan sebenarnya.. Dan kalian, warga negara yang terhormat… Kalian tetap akan membayar pajak untuk mengupahiku membasuh najis dari bumi pertiwi dengan tangan ini… Dan kalian akan tetap tenang tidur di malam hari, tanpa bertanya-tanya kemana larinya upeti yang setia kalian bayar setiap pagi

——————————————————————————-

Cerita Ketiga: Balada Pidgin

Karena kurang sehat berdasarkan ukuran kesehatan ‘manusia normal’, saya diperbolehkan bekerja di rumah. Dengan catatan, harus online selama jam kerja.

Mengapa harus online? Sebab rekan-rekan kerja saya, apabila kesulitan, dapat bertanya pada saya hal-hal tertentu dalam waktu jam kerja tersebut.

OK, itu wajar saja. Tidak masalah. Yang jadi masalah adalah, ketika online, saya memakai fasilitas chat internet dengan perangkat lunak opensource bernama Pidgin.

Nah Pidgin saya ini bermasalah, entah kenapa? Saya juga bingung. Sudah dalam kondisi ‘sedang sibuk’ tetap saja di layar ‘Selalu Tersedia -ON’. Ketika ingin lapor melalui bug launchpad, SREET, tiba-tiba muncul sebaris nama. Di layar, terpampang RONGRONG (bukan nama sebenarnya).

Ohoo… Ia mengajak chat.

Rongrong: Apakabar?
Sepedamerah: Baik. Kamu sehat? (*Ohya, di Pidgin, nama saya ‘sepedamerah’. Kenapa sepedamerah? Ahh itu ada cerita tersendiri. Nanti saja ceritanya. Jangan sekarang. Kepanjangan nanti. Hehe*)
Rongrong: Gimana kabar Bersihar?
Sepedamerah: Semua hasil kampanye sudah diberikan pada Boni. Ia yang menyampaikan ke Bersihar.
Rongrong: Kamu maunya apa sih sebenarnya?
Sepedamerah: Ente maksudnya apaan, Brur? 🙂 BRB

Saya ke dapur sebentar. Bikin minuman dari jeruk peras. Lalu kembali ke monitor. Oh ya, BRB singkatan dari ‘Be Right Back’, artinya ‘sori aye kebelakang dulu’. Hehe.

Sepedamerah: Hi, sori, agak haus.
Rongrong: Kamu mau jelek-jeleki PKK yaa?
Sepedamerah: Brur… Ente kenape? 😦 Kok aneh begini?
Rongrong: Kamu ini mentang-mentang mau pemilu, jelek-jeleki orang lain?
Rongrong: Tulisan kamu jelek-jeleki PKK. Karep’e dhewe.
Sepedamerah: Maap ga ngerti.
Rongrong: Sopo sing mbayari kamu, nulis karep’e dhewe?
Sepedamerah: Wah saya bener-bener nggak ngerti bahasa kamu. Maaf. BRB

Kalang kabut saya buka google. Cari arti bahasa yang Rongrong pakai. Akhirnya saya mengerti, itupun sedikit. Kelihatanya, ia menganggap bahwa saya dibayar oleh seseorang untuk menulis menjelek-jelekkan PKK, Partai Kekasih Kita, sebuah partai besar yang akan ikut pemilu RI mendatang.

Sepedamerah: Mas, saya nulis ga punya niat buruk
Sepedamerah: Apalagi dibayar.
Sepedamerah: Maaf yaa kalau situ tersinggung
Rongrong: Kamu njelek-jeleki PKK. Pak Uban itu sama sekali ndak bersalah. Ia kan disuruh atasannya untuk membakar buku. Ia sama sekali ndak salah. Itu sesuai prosedur. Ia hanya menuruti perintah atasan. Kamu ini jancuk! Awas kamu kalau ke Depok lagi.
Sepedamerah: Ooh itu toh masalahnya. Mas… Gini aja, kalo situ tersinggung. Bikin aja tulisan yang membantah tulisan saya. Mau maki-maki saya, yaa silahkan, bebas saja. Hehe. Oh ya, kalau saya ndak boleh ke Depok lagi, yaa sudah, saya di Cilincing saja… Mancing… Hehehe…

Tidak lama kemudian ia offline.

Saya mengusap kepala. Kalau Pak Uban tidak bersalah karena menurut perintah atasan?
Atau kalau atasannya, Mister Botak, ternyata juga tidak bersalah karena memerintahkan untuk membakar buku?
Atau kalau Si Seragam Coklat Satpol PP tidak bersalah karena memukuli ABG bernama Irfan hingga mati?
Atau kalau ternyata ‘pembunuhan’ Ely Susana ternyata sesuai prosedural yang berlaku?

Kalau gitu, siapa yang salah?

Bersihar Lubis?

Atau kita, para pembayar pajak yang terhormat, yang tidur nyenyak lelap setiap malam di peraduan dan bangun pagi demi setia membayar upeti pada negeri tercinta ini?