(* Didedikasikan untuk: Sekolah Ubuntu, SERRUM, GuhPraset, DeKing, Emjie, Siwi, JeJe, AriMargo dan blogger-blogger serta non blogger luar biasa lainnya yang akan menyusul*)

Janji untuk menulis pada tanggal 15 Januari ternyata cukup membuat saya, yang bikin janji, kehebohan sendiri. Saya pun menulis. Dimulai pada Januari tanggal enam hingga berakhir tadi pagi. Hehehe, ada-ada saja.

Tapi saya tetap harus menepati janji, dong. Apapun yang terjadi. Sebab apabila tidak… Nanti mirip kutukan dalam syair lagu dangdut;

Kau yang mulai, kau yang mengakhiri,
kau yang berjanji… kau yang mengingkari
Kegagalan Cinta – Album HARAM – Rhoma Irama
(Musica Record, 1990)

Maka itu, sejak tanggal enam Januari hingga tadi pagi, tujuh lembar kertas ukuran A4 habis saya tulisi. Isinya menceritakan apa yang terjadi pada tanggal 15 Januari 2008.

Setelah jadi, saya habiskan setengah jam untuk membaca tulisan itu.

Habis membaca… Saya bengong. Terpana membaca tulisan saya sendiri.

Kaget luar biasa alang kepalang. Dalam tulisan saya, seakan setiap paragraf berbau busuk. Kalimat-kalimat meruam di udara bagaikan bangkai tikus dengan isi perut terburai. Sungguh memuakkan. Penuh dengan sanjungan pada diri sendiri. Penuh dengan kata yang menunjukkan kesombongan dan rasa takabur.

Ahh… Betapa malunya.

Akhirnya saya hapus tujuh lembar itu. Lalu mulai mencoba menulis dengan kertas baru. Sambil mendumel… Lama menulis, habis waktu habis tenaga. Ternyata isinya cuma memuja-muja diri sendiri. Ampuuun deh!

Dan ini, tulisan dengan kertas terbaru hari ini. Selamat menikmati;

Bercinta dalam badai (Solikin vs Maryam)

Suatu hari di bulan yang lalu, saya chatting dengan Solikin, salah seorang sahabat.

Awal chat, seperti biasa, penuh ketawa-ketiwi. Kami sibuk bergosip mengenai hal-hal ajaib yang terjadi di lingkungan sekeliling. Mulai dari maling ayam yang kejebur got di kampungnya, hingga ban yang copot sendiri dari sepeda yang saya kayuh (yang ternyata berhasil membuat saya kejebur got juga).

Pertengahan chat, mulailah hal yang seru. Di mana kami masing-masing menceritakan perihal pribadi. Perihal yang dibagi dengan teman senasib seperjuangan sepenanggungan. Ini curhatnya:

Solikin (S): Rip, kakak saya teh diusir dari rumahnya
Arif (A): Hah! Kok bisa?
S: Kakak saya hutang ke Bank buat modal dagang. Yang dijadikan agunan, rumah warisan ortu kami.
A: Buset dah. Trus gimana bayarnya?
S: Itu yang jadi masalah. Usaha kakak bangkrut. Tidak bisa bayar. Jangankan bayar, bunga hutangnya saja tidak bisa dibayar
A: Ada solusi laen selain jual rumah?

Solikin lama diam untuk menjawabnya. Nampaknya pertanyaan ini terlalu berat untuknya

A: Maap men, kalo pertanyaan gue terlalu pribadi. Sori
S: Ah tidak apa-apa atuh Arip. Saya teh juga dengan kakak sudah niat mau jual rumah. Masalahnya…
A: Apaan masalahnya?
S: Masalahnya, hutang bunga Bank harus dibayar dulu. Biar tertib administrasi

Saya kali ini yang diam. Bingung. Mau bantu, tapi gimana? Karena keterbatasan fisik, saya hanya mampu bekerja yang menghasilkan uang selama dua hari perminggu. Alhamdulillah hasilnya cukup buat bayar kontrak rumah tiap bulan sekaligus membeli makanan untuk saya dan Ibu Nyonyah. Tapi untuk mengirim uang untuk membantu Solikin? Aduh, saya tidak punya jawabnya. Saya terdiam dalam kebingungan.

S: Rip, sudahlah jangan kepikiran. Nanti kamu teh stress seperti saya
A: Bukan begitu men, tapi…
S: Untung bunga Bank sudah saya bayar, Rip
A: Loh, kok bisa?
S: Iya, saya ambil dari uang tabungan
A: Tapi… Tabungan itu kan modal lo kawin ama Maryam di akhir tahun ini, Kin
S: Yahh mau bagaimana lagi? Kakak saya butuh tempat tinggal, Rip

Tidak lama kemudian. Kami berhenti chatting.

Sesudahnya, saya tenggelam dalam kemasygulan. Sedih.

Lalu, beberapa hari lalu, di awal tahun 2008. Saya kembali chatting dengan Solikin. Kali ini tidak lagi basa-basi ketawa-ketiwi di awal pembuka percakapan. Melainkan langsung membicarakan kondisi keluarga Solikin.

A: Kin, rumahnya udah kejual?
S: Belum euy. Iyeu lieur, pusing!

Walah, saya jadi ikutan pusing. Sebab Solikin ini sungguh orang baik. Ia pemuda mandiri. Kontrak rumah di sebuah bilangan di Jakarta. Dasar orang baik, rumah kontrakannya itu sering disinggahi oleh orang-orang yang kemalaman atau kesasar di belantara Jakarta, untuk bermalam. Sebab itulah awal saya mengenal Ikin. Ia ikhlas membantu saya yang kesasar dan kemalaman.

A: Tapi kalo rumahnya kejual kan. Pusing lo ilang, Kin
S: Bukan hanya itu masalahnya, Arip. Kalau rumah teh akhirnya terjual, uangnya juga akan habis untuk membayar utang kakak saya kepada orang lain selain Bank
A: Astaga buset!
S: Kakak dan keluarga sekarang menumpang di kontrakan saya
A: Aduuh
S: Dan bapak ibunyanya Maryam juga sudah tanya-tanya, kapan saya menikahi Maryam
A: Masaolooh
S: Arip… Saya teh mau menikah dengan Maryam. Tapi saya bingung. Bagaimana?

Saya bingung mau mengetik apa lagi. Benak saya sibuk membayangkan kedua kakak Solikin yang perempuan dua-duanya. Beserta suami mereka. Beserta anak mereka. Serta para musafir yang kemalaman, ramai-ramai memenuhi kontrakan Solikin. Saya kebingungan.

Ditambah lagi, kisah cinta antara Solikin dan Maryam yang sudah terajut sedemikian lama. Dan sudah terbukti asam-garam cinta mereka. Kini kemungkinan akan kandas rencana pernikahannya.

Saya kebingungan.

Dan saya makin bertambah kebingungan ketika Maryam suatu hari mengirim email kepada saya. Isinya simpel, “Bang, tolong bantuin kami yaa. Demi Allah saya jatuh cinta pada Kang Ikin

—————————————————————–

One Day at Musolah

Suatu hari, di Cilincing, saya ketemu dengan Mas Kabul, kakak kelas saya dulu. Waktu itu, saya sedang membantu anak-anak musolah membuat bulletin jumat, koran-koranan yang diedarkan pada setiap hari jumat sebelum solat jumat.

Wah betapa bangganya saya ketemu Mas Kabul ketika sedang membantu anak-anak musolah merancang dan menerbitkan bulletin jumat. Hati saya berdegup kencang karena jumawa. Dalam hati, saya bilang, ‘ini waktunya gue nyombong ama Mas Kabul’. Saya ingin menunjukkan pada Mas Kabul, bahwa saya ini sudah ‘pintar’ dan ‘rendah hati’.

Jelas pintar dan rendah hatinya pakai tanda kutip. Sebab saya ingin menunjukkan kehebatan saya kepadanya. Saya ingin sombong. Saya ingin dianggap hebat oleh Mas Kabul. Rasa ingin dipuja tiba-tiba meruyak begitu saja.

Dan mata saya semakin berbinar-binar melihat Mas Kabul terkagum-kagum melihat software canggih di komputer kami. Ketika ia melihat anak-anak musolah pandai sekali memainkan alat bernama keyboard dan mouse untuk membuat bulletin jumat. Hidung saya kembang kempis karena bangga.

Lalu Mas Kabul bertanya, “Loh Rip. Musolah kampung ini kaya sekali. Bisa membeli perangkat lunak dan program mahal di komputer ini. Ndak mubazir?”

Saya kaget.

Bukan karena ia bertanya sambil make sarung dan sarungnya mau melorot copot. Tapi kaget karena pertanyaannya aneh.

– “Mas Kabul, sistem windows dan word kan murah. Lima ribu perak doang per CD”
+ “Itu bajakan rip”
– “Tapi kan nggak apa-apa demi mencerdaskan anak bangsa. Sistem komputer bajakan ini punya Bill Gates, bos perusahaan komputer. Orang paling kaya sedunia, Mas. Dan dunia ini sudah sedemikian kapitalis. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan bodoh. Bukan karena tidak mau belajar, tapi sistemlah yang memaksa orang miskin menjadi bodoh”

Mulut saya makin berapi-api. Memberikan kuliah pada Mas Kabul. Namun isinya bukan menekankan betapa pentingnya pendidikan buat anak bangsa. Melainkan, saya membela harga diri saya yang nampaknya akan hancur lebur di hadapan anak muda musolah.

Saya bawa semua teori. Mulai dari teori kepemilikan marxis hingga ayat-ayat quran yang sosialis. Semuanya demi membela harga diri saya yang benar-benar berantakan akibat Mas Kabul bilang bahwa komputer musolah yang kami pakai ‘dipertanyakan kehalalannya’.

Mas Kabul diam saja. Dengan tenang ia menjawab semua logika saya dalam kalimat “Rip, liat tuh tulisan KEBERSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN di WC musolah. Liat ga? Itu ajakan untuk berbuat kebaikan, Rip. Semua orang juga mengerti artinya. Tapi coba kamu pikir, gimana kalau tulisan untuk berbuat kebaikan ternyata ditulis pakai barang curian? Gimana kalau itu ditulis pakai spidol dan papan colongan?”

Saya tidak bisa menjawab. Analogi Mas Kabul menusuk kalbu.

Saya diam cukup lama. Muka saya merah padam menanggung malu. Harga diri saya hancur lebur lantak tak bersisa. Maksud hati ingin di puja ternyata malah menanggung malu yang luar biasa.

Di depan ‘murid-murid musolah’, saya salah tingkah. Tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya pengen kabur sejauh-jauhnya. Maluuu..

Setelah lama terdiam. Mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang secuil di hati, saya beranikan diri bertanya.

– “Mas, saya malu. Maaf. Saya takabur. Jadi apa yang semestinya saya ajarin buat anak musolah, Mas Kabul”
+ “Kalau kamu tidak tahu alternatifnya. Tidak apa-apa, Rip”
– “Loh apakah ada cara belajar komputer alternatif tanpa harus jadi maling, Mas?”
+ “Ada… Pakai Linux”

Sejak saat itu, saya berguru pada Mas Kabul. Berguru menggunakan Linux. Cukup susah. Sebab tampilannya masih memakai Terminal, mirip komputer purbakala.

Namun tahun berganti. Linux tidak lagi mirip komputer zaman dinosaurus. Sudah ada sistem komputer Linux yang cantik dan ramah bernama Ubuntu. Dan yang paling penting adalah, mudah digunakan, sebab menggunakan tampilan berbahasa Indonesia.

Bahkan kini, beberapa pemuda nan pintar dari Indonesia sudah membuat Sistem Operasi komputer nan canggih namun mudah digunakan berbasis Ubuntu. Nama sistem operasinya, BlankON.

Beberapa hari di awal-awal tahun 2008 ini, saya kok keingetan Mas Kabul. Ketika saya belajar Linux, beliau pernah berkata pada saya “Rip, belajar Linux itu tidak hanya membuat kamu tambah pinter. Dan bahkan tidak pula hanya mengurangi dosa dengan tidak memakai barang curian. Tapi juga menghargai orang-orang yang telah bekerja keras membuat sopwer”.

Saya tiba-tiba punya mimpi. Muluk-muluk mimpinya. Saya kepingin punya sekolah yang mengajarkan Linux pada anak-anak Indonesia. Bukan karena strategi bisnis. Atau apalagi niat jumawa bin takabur seperti kasus di musolah bertahun-tahun lalu. Saya hanya kepingin, anak-anak Indonesia punya ‘pilihan’.

Dari Mas Kabul, saya belajar bahwa dalam hidup manusia berhak punya pilihan.

Dan alam sadar ini terbawa-bawa dalam mimpi. Saya ingin juga anak-anak Indonesia generasi mendatang punya pilihan.
Diantaranya; termasuk memilih untuk tidak menjadi pencuri.

Saya terus bermimpi.

Semakin lama, mimpi ini semakin mengganggu tidur saya.

—————————————————————–

Bulan ini, Januari 2008, keresahan saya memuncak.

Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana cara membantu Solikin?
Dan bagaimana pula agar tidur saya nyenyak, tidak terganggu mimpi muluk-muluk mencerdaskan anak bangsa?

Memikirkan masalah ini, beberapa hari, saya terkena insomnia. Saya tidak bisa tidur. Badan saya menggigil. Saya demam. Majikan saya, Ibu Nyonyah, sampai khawatir melihat kondisi saya.

Dalam kondisi galau hati tidak bisa tidur, saya berfikir. Apakah saya akan menghadapi semua masalah ini dengan tegar dalam diam? Pasrah? Atau melolong menangis tersedu-sedan?

Ataukah ada yang bisa saya lakukan, mungkin sedikit, mungkin kecil, tapi pasti ada yang bisa saya lakukan?

Tiba-tiba saya ingat blog ini.

Dalam kondisi galau… Saya kontak beberapa blogger (yang saya kenal melalui blog ini). Orang-orang yang dalam seumur hidup bahkan belum pernah saya temui sama sekali.

Hasilnya mengagetkan. Sebab beberapa blogger yang saya kontak, mengalami keresahan yang sama.

Bahu membahu, kami saling berbagi masalah ini. Dan saling memberi solusi.

Solusinya, antara lain

1. Untuk mencerdaskan anak bangsa

Ada ide untuk membuat sekolah. Sekolahnya pun ajaib, yaitu Sekolah Ubuntu. Sekolah untuk mengajarkan sitem operasi komputer Ubuntu. Sekolah ini rencannya gratis dan akan dibuka untuk umum, walaupun target utamanya adalah guru. Sebab guru punya kelebihan, yaitu kemampuan untuk menularkan ilmunya pada orang lain.

Alhamdulillah, hari ini, tanggal 15 Januari 2008, Sekolah Ubuntu dibuka. Walaupun masih dalam taraf training for trainer. Pendidikan untuk guru yang akan mengajarkan Ubuntu pada publik. Sebab nanti, sebenar-benarnya buka, akan launching ke publik, pada tanggal 1 Mei 2008.

Tempatnya di SERRUM, Rawamangun, Jakarta. Saat ini, komputer untuk belajar baru ada tiga. Sumbangan rekan-rekan blogger. Silahkan mengunjungi website Sekolah Ubuntu untuk keterangan lebih lanjut atau mau daftar.

Walaupun keterbatasan dana sehingga PC yang tersedia baru 3 biji, namun sungguh kabar gembira bagi guru yang sudah banyak disunat gajinya, untuk belajar Ubuntu tanpa harus memotong uang belanja mereka. Sebab sukur alhamdulillah, atas bantuan beberapa blogger yang peduli, sekolah ini gratis!

2. Untuk membantu Solikin

Atas saran beberapa blogger, saya dibantu beberapa teman akan menerbitkan buku. Isinya beberapa tulisan yang ada di blog ini dan juga beberapa tulisan yang belum dipublish.

Yaah isinya tidak jauh-jauh, masih seputaran pengalaman hidup orang-orang Cilincing.

Hasil buku yang akan diterbitkan ini akan kami gunakan untuk membantu Solikin membayar kontrakan rumahnya. Dan kalau masih ada sisa, dipakai untuk membayar penghulu. Sebab katanya, nikah di Indonesia itu tidak murah.

Beberapa blogger sudah bersedia akan membantu di masalah illustrasi, layout, dan pencarian penerbit. Bahkan seorang blogger sampai rela akan memasarkan buku saya (kalau sudah terbit nanti) di tokonya. Walaupun saya tidak tahu jenis toko beliau, namun saya amat menghargai upaya ini.

Jujur saja, saya saja masih bingung, apakah ada penerbit yang mau menerima tulisan saya. Sebab yang laku saat ini, bukankah teenlit, chicklit, dan tema remaja lainnya? (*walaupun sebenarnya saya ini masih boleh dikategorikan remaja. Remaja ABG… Abege jadul, hehe*)

Ada usul dari rekan blogger, sebaiknya ditawarkan saja ke penerbit terkenal yang terkenal gara-gara menerbitkan tulisan-tulisan relijius. Walah, saya sampai terkaget-kaget. Tulisan saya tidak relijius sama sekali. Penuh kalimat kasar parental advisory content alias konten dewasa. Apalagi di tulisan yang belum di publish, banyak tulisan mengenai pengalaman bersama Udin Petot, yang sudah jelas bukan bacaan untuk anak-anak dan sama sekali tidak relijius.

Tapi biarlah, apapun yang terjadi nanti, saya pasrah pada illahi. Yang penting ada usaha untuk membantu Solikin.

Dan saya pun pasrah pada illahi, jika ente-ente penonton, menganggap tulisan ini penuh dengan sanjungan pada diri sendiri. Penuh dengan kata yang menunjukkan kesombongan dan rasa takabur. Saya mah pasrah sajah. Daripada nggak bisa tidur, mendingan saya pasrah sajah pada illahi.

Dalam pasrah… Saya berdoa. Semoga anda, para pembaca tulisan ini memberi restu pada usaha agar Solikin bisa menikah dengan Maryam. Semoga anda, para pembaca nan budiman, memberi restu agar Sekolah Ubuntu bisa berjalan lancar. Agar pendidikan di Indonesia berjalan ke arah yang lebih baik.

Saat ini, saya tidak meminta apa-apa pada anda wahai pembaca yang budiman. Anda mau membantu, kami senang sekali. Andaipun tidak… kami hanya meminta doa… “Mohon Doa Restunya

link: SEKOLAH UBUNTU