Ada salah seorang murid saya, ibu-ibu setengah baya. Namanya Agnezca. Orang Polandia. Orangnya ramah, disiplin tinggi (*maklum, mantan penduduk koloni jajahan Rusia*), kritis namun tidak banyak omong.

Kok bisa, kritis tapi tidak banyak omong? Yaa bisa. Dia bicara seperlunya. Tapi kalau sudah bicara dan apalagi ketika bertanya. Ampuun, kelihatan deh betapa cerdas dan kritisnya.

Oh ya, lupa, saya lupa mengenalkan kepada anda penonton, kenapa saya bisa kenal beliau. Begini ceritanya;

Dulu, saya sempat mengajar di sebuah kelas umum. Kelas ini memberikan pendidikan metode online post production. Membahas mulai dari dasar yang tekhnis seperti encoding, hingga menengah yang teoritis seperti segmentasi pasar online. Nah, di kelas ini saya mengenal Agnezca.

Agnezca menonjol diantara rekan-rekan sekelasnya. Bukan, bukan karena tua. Sebab rekan-rekannya juga banyak yang sudah setengah baya (maklum kelas para praktisi). Ia menjadi selalu mencuri perhatian sedemikian besar karena komentar-komentar dan pertanyaannya.

Pertanyaan Aga, nama pangilan Agnezca, selalu membuat saya sering ketar-ketir. Sebab dia mampu mengkombinasikan beberapa disiplin ilmu ke dalam beberapa baris pertanyaannya. Contoh; “Bukankah besar hubungan antara kapitalisme dengan enkripsi pada pengelompokkan regio DVD?” atau “Apakah dubbing membawa pengaruh sosial pada sebuah bangsa? Andai iya atau tidak, bagaimana pengaruhnya dengan brand yang diusung?”

Untung, saya selalu dapat menjawab pertanyaannya. Bukan, bukan gara-gara saya pinter. Tapi saya jawab dengan ‘licik’. Kadang saya jawab dengan kalimat retoris, kadang saya jawab dengan kalimat “Wah saya juga tidak tahu. Bagaimana kalau kita sama-sama mencari jawabannya lalu didiskusikan pada pertemuan selanjutnya?”

Untunglah, sebab hingga saat ini si Aga selalu setuju. Hehehe.

Suatu hari, di sebuah pesta perpisahan saya yang akan pulang untuk mengajar di Indonesia. Saya minta maaf sebesar-besarnya kepada para siswa-siswa yang pernah menghadiri kelas saya. Karena pasti saya melakukan kesalahan. Namanya manusia, pasti banyak khilafnya. Diantaranya adalah menjawab pertanyaan dengan tidak pantas. Di tengah hiruk-pikuk manusia di ruangan itu, Aga menghampiri. Ia mengucapkan terimakasih.

+ “Arif, terimakasih atas kelas kamu”
– “You welcome. Tapi saya juga terimakasih kok. Saya sering belajar dari komentar dan pertanyaan kamu”
+ “Oh ya?”
– “Iya, saya suka kalau kamu bertanya atau berkomentar”

Setelah saya jawab begitu, Aga bercerita lebih banyak. Mengenai ia yang tidak suka komentar Fez, rekan kelasnya yang berasal dari sebuah negara di Afrika Timur. Katanya, Fez itu kalau bicara sembarangan. Mungkin ingin terlihat hebat. Tapi nyatanya, Fez malah terlihat bodoh.

Wah kebetulan nih, dalam hati saya gembira. Sebab saya mau tanya rekan-rekannya yang berasal dari Indonesia, “Kalau orang Indonesia, bagaimana Aga?”

+ “Kebanyakan rekan dari Indonesia itu mengherankan Arif. Mereka selalu bergerombol. Ke kantin, masuk ke ruang kelas, membeli buku… selalu bergerombol”
– “Saya kan Indonesia juga. Tapi saya nggak bergerombol tuh”
+ “Andai ada dosen dari Indonesia juga, kamu pasti ikut bergerombol”

Saya ketawa mendengarnya.

Sebenarnya saya ingin menerangkan kultur agraris Indonesia pada Aga. Tapi nampaknya tidak jadi pada hari itu. Entah kenapa? Atau mungkin saya yang tidak ingin kelihatan sedang melakukan sebuah pernyataan bela diri sepihak, entahlah?

Tapi omongan Aga mengenai Fez yang terlihat bodoh serta orang Indonesia yang bergerombol terus terngiang-ngiang di telinga saya. Bahkan hingga detik ini. Bahkan mempengaruhi aktifitas ngeblog saya.

Kok bisa?

Iya nih, akhir-akhir ini saya jarang komen di blognya teman-teman yang saya baca melalui RSS Feed atau browsing blogwalking. Padahal saya kan orang Indonesia juga. Dan sebagaimana orang Indonesia yang punya kultur agraris, saya sebaiknya bergerombol agar bisa saling terus berkomunikasi.

Tapi itu buah simalakama, dong?

Kalau bergerombol dan lalu ikut-ikutan terus komen. Bagaimana kalau ternyata komen saya malah terlihat seperti Fez. Kelihatan seakan ingin terlihat hebat, nyatanya jadi bahan tertawaan. Tebar komentar kanan kiri. Belum mengerjakan pe-er, membaca lebih banyak, sudah tanya cepat-cepat. Menganggap diri paling hebat.

Tapi kalau tidak bergerombol dan saling sahut menyahut celetukan bernama komen itu, nanti saya diasingkan dari komunitas Indonesia yang saya sukai ini. Sebab mereka itu suka saling nyeletuk penanda keakraban.

Waduh, gimana dong ini?