Tulisan yang saya anggap dengan semena-mena menarik juga:
– Selama 2007 Terjadi 79 Kasus Kekerasan PRT
– Demo Pembantu Rumah Tangga di Semarang
– Ada pembunuh lari dari penjara menggunakan tape uli…
– HIV/AIDS
Saya punya dua topik yang menarik (buat saya pribadi) dalam beberapa hari belakangan ini.
Pertama, masalah komentar di blog.
Saya sering menulis mengenai tulisan yang dibuat komentator blog di blog saya ini. Baik komentator di blog saya, maupun blog lainnya. Baik dalam nada bercanda hingga yang serius. Dan tanggapan pembaca, beragam. Ada pro ada kontra. Wajar.
Kebetulan, syukurlah jarang yang ‘mengencingi’ blog saya dengan bensin pertamax. Syukur, dapat pembaca yang berkomentar dengan bijak, penuh pertimbangan dan cerdas.
Baik pro atau kontra, umumnya komentator blog saya kelihatannya orang-orang pintar dan baik hati.
Nah, karena (menurut saya pribadi) para komentator ini adalah orang terpelajar, maka pertanyaannya pun ala orang terpelajar pula. Cerdas, tegas, langsung dan kritis. Bukan ala preman, pukul dulu baru argumen. Melainkan melalui proses pencarian data, lalu bertanya.
Dan ini lah yang menarik. Sebab setiap komentator, datang dengan latar belakang ilmu yang berbeda. Memandang topik tulisan melalui kacamata yang sungguh berbeda-beda.
Bagusnya, melalui kacamata yang berbeda, para pembaca isi tulisan hingga isi komentar, dapat melihat sebuah permasalahan dari banyaknya pernyataan maupun pertanyaan yang terlontar.
Apesnya. Tidak semua pertanyaan bisa saya jawab. Hehehe.
Lah begini misalnya. Coba anda bayangkan, ketika saya menulis mengenai fasisme ada penanya yang berlatar belakang astronomi. Sebut saja si penanya bernama A. Dan si A ini, karena mempunyai latar belakang astronomi, maka akan berfikir secara metodologi kualitatif atau kuantitatif secara astronom. Sementara si B, latar belakangnya ahli gizi. Dan ia akan bertanya mengenai fasisme dengan latar belakang keahlian yang dimilikinya.
Pembaca blog itu latar belakangnya beragam. Bukan hanya si A atau B saja. Coba anda bayangkan, kalau mereka ramai-ramai bertanya pada saya. Huehehe. Mau menjawab dengan ilmu saya yang pas-pasan ini… Bisa modar saya. Hehehe.
Maka itu, tiba-tiba beberapa hari terakhir ini saya tiba-tiba berfikir. Menulis di blog tanpa moderasi komentar itu mirip menantang dunia. Dan menulis wacana tanpa data, ibarat memenggal kepala.
Tapi apa lantas blog saya dimoderasi komennya?
Kalau itu jawabnya, yaa jangan lah. Kadang saya pun kurang senang apabila membaca tulisan yang membuat saya ingin bertanya, tiba-tiba tidak ada fasilitas komentar. Atau kalau pun ada, dimoderasi. Tapi yaah itu kan pendapat saya. Amat subyektif looh. Jangan dipercaya begitu saja. Hehe.
Kedua, masalah pembantu rumah tangga (PRT)
Saya ingin mengumumkan mengenai pembantu di Republik Indonesia yang punya blog. Sayang, hanya PRT RI yang tinggal di luar negeri saja lah yang kebanyakan punya blog. PRT domestik, setahu saya, belum ada yang punya blog. (*atau bisa saja saya yang kurang gaul jadi kurang data, hehe*)
Kenapa bagi saya penting mengumumkan pembantu punya blog? Kenapa bukan artis? Bukankah artis lebih menjual? Minimal, blog saya pasti akan dikunjungi oleh orang-orang yang akan mencari tahu blog selebriti kesayangannya. Dapat hits dari mereka yang mencari kebenaran gunjing acara infoteinment atau dari fans sang selebriti.
Jawabnya: “Nggak tahu, iseng aja kali yaa, hehe”
Tapi masalah ini sebenarnya timbul karena saya baru saja menonton acara di televisi. Acara itu bercerita mengenai pertukaran dua anak nakal dari dua negara.
Salah satu anak nakal itu, perempuan berusia 17 tahun. Berasal dari keluarga kaya di Jakarta. Kakaknya menderita HIV/AIDS karena pergaulannya dengan obat-obat terlarang.
Dan si anak perempuan ini diklaim nakal oleh orangtuanya, karena terlalu banyak mengkonsumsi malam di lokasi hingar-bingar diskotik Jakarta. Kita panggil saja perempuan muda ini dengan sebutan Wiwi.
Dan Wiwi, suatu malam, harus pergi ke sebuah desa di Belgia. Di sebuah keluarga yang mengirimkan anak mereka ke keluarga Wiwi di Jakarta. Keluarga itu, keluarga biasa. Keluarga petani. Bukan dari keluarga kaya. Mereka tinggal di desa.
Terjadilah pertukaran anak nakal Internasional.
Anak nakal lainnya, perempuan juga. Usianya 16 tahun. Berasal dari Belgia. Sebut saja namanya Sisi.
Keluarga Sisi sudah pusing memikirkan bagaimana cara mengatasi kenakalan anaknyanya. Dan oleh program acara televisi tersebut, ia dikirim ke rumah Wiwi. Ke Jakarta. Ke Indonesia.
Dan di Indonesia pula, ia akan meninjau sebuah penjara anak-anak. Dan akan melihat, bagaimana anak-anak hidup dalam penjara anak-anak di Indonesia.
Yang menarik dari acara ini, bukanlah pertukaran dua anak nakal tersebut. Yang menarik (buat saya) adalah ketika Sisi baru tiba dari Belgia. Dari bandara internasional Soekarna-Hatta Jakarta, dengan taksi menuju rumah Wiwi.
Taksi harus berhenti di sebuah pos penjagaan. Rumah Wiwi ada di sebuah kompleks perumahan yang dijaga pengamanan 24 jam. Jangankan penumpang dan juru kamera, sopir taksi saja ikut digeledah oleh para Satpam tersebut. Luar biasa.
Akhirnya Sisi tiba di rumah Wiwi. Malam hari. Dan dalam keremangan jam 2 dinihari, Sisi melongo tak habis-habisnya. Melihat betapa kaya keluarga Wiwi. Dari gagang pintu saja bisa terlihat kekayaan keluarga Wiwi. Dan Sisi bilang, ia belum pernah menginjakkan kaki di rumah sebesar itu, di Belgia.
Sisi mengetuk pintu. Seorang wanita setengah baya keluar. Mengenalkan diri pada Sisi sebagai mamanya Wiwi. Dan ia dengan ramah mempersilahkan Sisi ke ruang tamu. Lalu mengenalkan keluarga mereka satu persatu kepada Sisi. Tentu saja tidak lupa mengenalkan pada Sisi kakaknya Wiwi, yang menderita HIV/AIDS.
Dengan santainya, mama dan kakaknya Wiwi bercerita pada Sisi dan juru kamera mengenai kebijaksanaan mereka dalam mengatasi problema HIV/AIDS yang di derita kakaknya Wiwi.
Dan mereka sungguh bijaksana. Sang kakak, yang terlalu banyak mengkonsumsi narkoba, dinikahkan. Dengan harapan memperoleh jalan yang terang. Dan tidak kalah pula balur-balur doa orangtua menyelimuti kehidupan sang kakak.
Dan mereka, dalam tayangan ini, nampaknya merupakan gambaran keluarga ideal Indonesia. Yaitu, dari keluarga menengah ke atas. Memiliki pendidikan tinggi. Relijius. Monogamis. Dan ketika salah seorang dari mereka berbuat salah sehingga harus menganggung akibatnya, mereka hadapi secara bersama-sama. Dengan lapang dada.
HIV dan AIDS adalah sebuah perjuangan di keluarga tersebut. Bukan perpecahan.
Tapi itu belum menarik.
Loh kalau begitu, yang menarik apa dong?
Nah, yang menarik adalah ketika acara kenal-mengenal. Ketika mamanya Wiwi memperkenalkan Sisi kepada seluruh penghuni keluarga. Ada dua wanita muda, dipojok. Tidak ikut diperkenalkan.
Dua wanita itu kemana ketika mamanya Wiwi bercerita mengenai ketabahan mereka ketika putra mereka di vonis HIV/AIDS?
Ooh, satu orang diantara mereka membuat minuman. Satu lagi, terlihat mengangkat kopor berat Sisi menuju kamar baru di lantai tiga.
Mengapa mamanya Wiwi dan anggota keluarga lainnya tidak mengenalkan pada Sisi dua wanita muda itu?
Oooh, ternyata mereka pembantu.
Yang menarik adalah, sebuah keluarga kaya. Dari golongan kaum berpunya Jakarta. Yang begitu terpelajar. Begitu agung menerima kenyataan pahit putra mereka terinfeksi HIV/AIDS. Begitu ramah dalam menyambut tamu. Begitu relijius. Begitu terbuka pada publik dunia. Begitu bijaksana dalam menghadapi cobaan berat. Tapi secara sengaja, tidak mengenalkan dua pembantu muda pada tamu agung mereka dari Belgia.
Kenapa?
Februari 18, 2008 at 12:52 am
Karena mereka nggak ngerti “boso inggris”?
Ah iya, saya jadi inget pembantu di rumah? Dia merasa dimanusiakan nggak ya? “kali belum.
Iya, pembantu…. Dibutuhkan tapi tidak terlalu diperhatikan. Hasus masuk kurikulum pendidikan juga nih kayaknya, masuk ke pelajaran budi pekerti (nggak ada ding) atau pelajaran agama?
Do’akan saya bisa mendidik anak saya menghargai pembantu ya Rif?
BTW sorry, barusan saya tulis di blog-nya Teguh kalo Bangaiptop itu tokoh religius versi saya….
Sorry jug kalo saya misalnya saya pertama..x (kedua kalinya di blog ini) 🙂
Hehehe, tumben ada yang bilang saya relijius. Biasanya, Mas Bowo, saya lebih sering digunjingkan sebagai cabulis. Hehe
Oh ya, saya doakan agar anaknya menghargai manusia. Apapun pangkat dan bentuk fisiknya. Karena derajat semua manusia sama. Amiiinn
Februari 18, 2008 at 1:24 am
Hmmmm….
Soale bapak boss dan ibu boss itu nganggep, mereka itu, babu.
Ndak penting untung seremonial kenal-kenalan…
Ya to ???
(karena Pertamax udah abis, ya keduax ajah….)
***ditimpuk keju Alkmaar….***
*Udah tau sekarang ada keju sambel, Mas Mbel? Jadi kejunya ini pedesnya bukan maen. Rasanya tetep keju. Tapi pedes. Keren dah tuh keju*
Februari 18, 2008 at 4:41 am
ah, pertanyaan dengan jawaban mengarang indah rupanya. **serasa ulangan SMA**
jawaban : karena dua orang di pojok ituh ndak penting. ndak menjual di kamera. dan ndak nambah duit mamanya Wiwi. Malah mbuang duit.
Lagian blom mandi mungkin. Mukanya jerawatan, ndak facial puluhan tahun. Kulitnya kusem, ndak kenal minyak zaitun sama sun block.
**tutup kertas ulangan**
Terimakasih sudah berpartisipasi dalam ulangan kali ini, Mbak Tika.
Februari 18, 2008 at 5:15 am
Padhal kita bisa diliat seberapa tingkat keindahan hati seseorang dengan bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang “tingkat sosial”nya lebi rendah.
Jadi inget para Peri Rumah di cerita Harry Potter. Mungkin dianggep kayak gitu juga ya.. Sebisa mungkin para PRT melakukan pekerjaanya tanpa terdeteksi keberadaannya. Ato lupa kalo mereka juga manusia??
Februari 18, 2008 at 5:26 am
hmm.. mungkin karena ternyata mereka tidak serelijius dan seterpelajar kelihatannya.
atau, mereka kebanyakan nonton sinetron :p
Mungkin
Februari 18, 2008 at 5:57 am
PRT itu kan seharusnya tidak terlihat. Mereka dibayar untuk tidak terlihat dan tidak bersuara. 😆
*ditabok PRT*
Lha ibu saya malah kadang ingetnya sama PRT duluan baru sama anak2nya. Apapun yg kita makan, mereka juga makan. Suka dibeliin baju. Diajak jalan2. Ya semoga itu sudah cukup membuat mereka merasa dimanusiakan..
Salam untuk Ibunya, Mbak Hana
Februari 18, 2008 at 6:14 am
itu anaknya Siwi yah dua-duanya?
Siwi-> SIsi-SIwi -> siwi..
*lanjut baca lagi bang 😀 *
Februari 18, 2008 at 6:14 am
itu anaknya Siwi yah dua-duanya?
Siwi-> SIsi-WIwi -> siwi..
*lanjut baca lagi bang 😀 *
Siwi udah punya anak? Loh baru tau saya. Selamat yaa… Makan-makan… (*kalo kalimat terakhir, jelas saya mengutip dari seorang seleb. Haha*)
Februari 18, 2008 at 6:17 am
Karena Babu yang baik itu mereka adalah yang bersedia tidak dianggap manusia…
Tapi ga cuma babu kok, banyak juga sosok-sosok lain yang sering saya anggap sama dengan kerikil di jalan yang saya lalui, merek ada tapi tidak perlu diperhatikan…
Ah, saya ini memang harus sering mengunjungi blog BangAipTop biar sering-sering dihajar gini…
Sumpah, saya nggak niat menghajar loh?
Saya ini pria baik-baik, mansup. Anti kekerasan.
🙂
Februari 18, 2008 at 6:19 am
perkenalannya mungkin nanti bang, hehehe 😀
iya juga sih, seperti itu kebiasaan beberapa orang (bukan semua orang loh, karena ada beberapa orang Indonesia juga selalu memperkenalkan seluruh anggota keluarga dan seisi rumahnya) mungkin karena tidak mengganggap pembantunya sebagai keluarga, hanya sebagai pekerja jadinya yah keluarga aja yang dikenalin.
*jadi pengen tau, perkenalan Wiwi dengan keluarga Sisi gimana yah?*
Perkenalan Wiwi dengan keluarga Sisi, tidak kalah menarik. Ia anggap, semuanya mirip di RI. Bahwa yang kotor-kotor dikerjakan pembantu. Jadi ia belajar cuci piring di Belgia. Menarik bukan? Orang Indonesia, jauh-jauh ke Belgia, hanya untuk belajar cuci piring. Huehehe
Februari 18, 2008 at 6:36 am
Glek!!!
*ngaca ke diri sendiri dolo*
mungkin karena…
wuuuu
NDESO NDESO!!! KATROK!!!!
*silenced*
Februari 18, 2008 at 6:48 am
ya mungkin si mama lagi males.. mengenalkan pembantu :p si mama kira, Sisi bakalan ngerti arti ‘pembantu’.
Tapi sebenernya, arti ‘pembantu’ itu apa yaa, Mbak Golda? 😉
Februari 18, 2008 at 7:15 am
ini acara beneran apa boongan sih bang?
kalo pembantu, mungkin dianggepnya nanti si sisi ini bakalan ngerti sendiri.
tapi begitulah kebanyakannya…
Acaranya beneran, Dats. Sudah agak lama, sekitar bulan lalu. Saya menanti acara tersebut, sebab istri saya kepengen nonton banget. Walhasil, nontonlah saya bedua dengan beliau. Setelah nonton, saya malah kepikiran. Yang parah, dua hari kemudian ada acara yang tidak kalah ajaibnya. Nasib PRT dari RI yang ada di LN maupun yang di RI.
Februari 18, 2008 at 7:49 am
karena mereka ga pernah dianggap penting, ga level, ga layak diperkenalkan, dll 😦
serasa cuma dia yang manusia
Entahlah, Mbak. Saya juga tidak tahu jawabnya. Tapi terimakasih loh sudah menyumbang opini.
Februari 18, 2008 at 8:23 am
Men, the “workers” are somethin’ else. 😆
Standar ganda, yah ? 😉
Hehe, jadi inget kebijakan politik luar negeri AS. Selalu standar ganda.
Februari 18, 2008 at 10:03 am
“Tapi masalah ini sebenarnya timbul karena saya baru saja menonton acara di televisi. Acara itu bercerita mengenai pertukaran dua anak nakal dari dua negara.”
baru tau ada acara TV ky bgini. btw, ini beneran? TV mana bang? bukan TV Indonesia yah?
*cupu..
Bukan TV di RI Mas Edo. Mungkin kalau saya di RI, saya bikin deh acara seperti ini. Hehe.
Februari 18, 2008 at 11:13 am
karena mereka takut sama kamera mungkin?
Waktu disorot selintas. PRT tersebut tidak lari, berteriak bahkan hingga menutup muka. Mereka malah cengar-cengir. Jadi saya asumsikan secara ugal-ugalan, mereka tidak takut.
Februari 18, 2008 at 11:48 am
Itu karena mereka emang kagak punya pembantu… jadi mau dikenalin gimana???
Februari 18, 2008 at 11:49 am
Ane memang hebat…
*difecut*
(*yang hebat email ente. Saritem jeger. Yang selalu membuat saya bertanya-tanya. Jeger maksudnya apa? Mengebom Saritem? Atau ‘mengebom’ Saritem? Hehe*)
Februari 18, 2008 at 1:14 pm
Karena pembantu itu diperlakukan oleh majikan2 tertentu seperti budak.
Budak adalah orang yg tdk bebas,harus tunduk kpd tuannya, tdk mempunyai hak dan kedudukan. Tdk mempunyai hak utk hidup layak, tidak mempunyai pilihan dan harus menundukkan diri di bawa kekeuasaan sang Majikan karena mereka tidak mempunya pilihan.
Jadi mereka tdk mempunyai hak dan hanya mempunyai kewajiban.
Jadi sangat menyenangkan menjadi majikan, bisa jadi penguasa yg mempunyai kekuasaan yg absoluut. Dan ini kehebatannya jadi orang endonesah. Kita punya kekuasaan mutlak utk menguasai kehidupan seseorang dgn uang kita yg tigaratus rebo ataw empatratus rebo. Bangga toch Bang.
Majikan seperti itu memang mengerikan. Tenaga dan jiwa manusia diperas habis-habisan. Setahu saya, gaji butler di UK termasuk deretan gaji bernomina paling besar. Katanya malah saingan dengan pengembang piranti lunak komputer. Hehe. Hebat yaa di UK aja bisa, PRT saingan sama developer software. Kapan di RI bisa yaa? (*ahh nanya mulu nih saya. Maap Mbak Citra. hehe*)
Februari 18, 2008 at 4:16 pm
Beuh… “Kenapa” benar-benar pertanyaan yang sulit.
Tapi kalau dihadapkan ke bagian pertama Bang Aip mengenai komentar itu, menjawabnya serasa mudah… (karena beban saya berkurang, wong dari sisi saya to) 😛
Dari yang saya lihat, sang majikan punya pikiran: “Gue yang nggaji loe, jadi loe nurut aja apa kata gue. Loe kerja aja, urusan gue ya gue. Urusan loe bukan urusan gue…”
bleh, sulit menerjemahkan kalimat saya…
————————-
Jangankan Mas Gun. Saya saja kalau ditanya “Kenapa?”, apapun subjeknya, selalu bingung menjawabnya. Sebab bisa dilihat dari banyak sudut sih. Tapi minimal, dari sebuah jawaban, kita bisa tahu sebuah sudut pandang. Dan semakin banyak jawaban, semakin kaya pula sudut pandangnya. Itu bukan kata saya loh. Itu kata Sang Nabi yang sudah almarhum, yaitu “semua hal di semesta ini bisa benar tergantung dari sudut mana si pengamat melihat”. 🙂
Februari 19, 2008 at 3:34 am
jawabannya ya pertanyaan juga, tapi langsung tembak
Kalo semua pembaca disini disuruh milih, pilih mana
Nikah sama pembantu ato nikah sama orang berpenyakit AIDS ?
Punya anak pembantu ato punya anak berpenyakit AIDS ?
Punya menantu pembantu ato punya menantu berpenyakit AIDS ?
ato bahkan kalo ditawari sama Tuhan :
Hidup jadi pembatu ato hidup berpenyakit AIDS ?
Pertanyaan yang menarik.
Saya sampai senyum-senyum sendiri membaca komentar ini.
Februari 19, 2008 at 5:06 am
Karena umumnya pembantu memang tidak dianggap sebagai manusia. Apalagi pembantu wanita, sudah pembantu, cuma dibuat dari tulang rusuk pula… budak yang tak punya jiwa 😛
Di rumah saya sekarang juga ada pembantu, tepatnya wanita setengah baya yang suka membantu part time, hanya datang setengah hari untuk nyapu, nyuci piring, kadang ngepel dan njemur baju. Kadang dia berani bossy juga, “den, mumpung aden dirumah, saya pulang cepet ya, tar kalo ujan tolong jemurannya diangkatin”.
Pembantu part time mungkin memang lebih waras dan menghargai dirinya sebagai manusia. Karena punya waktu mengembangkan diri, punya waktu bergaul dengan manusia-manusia lain di luar rumah. Si tuan rumah juga ga lupa diri dan menganggap mereka sebagai salah satu perabotan rumah tangga.
Udah ganti nama, Mas Teguh. Jadi Aden sekarang? 🙂
Februari 19, 2008 at 3:30 pm
pembantu seringkali gak dianggap bagian dari keluarga, mereka cuma seseorang yang dibayar untuk bekerja sebagai pembantu. Selain itu ya gak ada, biasanya klo pembantu dilibatkan dalam keluarga atau dengan kata lain dianggap sebagai bagian dari keluarga, si majikan takut klo pembantunya malah jadi ngelunjak. Ya tapi gak semua sie, banyak juga kok yang walaupun udah dianggap bagian dari keluarga tapi tetep santun.
Terimakasih atas opininya, Mbak Citra.
Februari 19, 2008 at 5:23 pm
itu acaranya beneran ada bang? disini kok nggak kedengeran ya?? 😕
soal pembantu, mungkin majikannya merasa pembantunya akan kesulitan menghadapi tamu asing, jadi nggak diperkenalkan. 🙄
mungkin lho…
Acaranya beneran. Yang hebat, tidak ditayangkan ‘di situ’. Hanya gara-gara satu hal, LSF tidak mengijinkannya terbit, sebab bertentangan dengan nilai bangsa yang berupaya menekan HIV/AIDS. Ada-ada saja alasananya. 🙂
Februari 19, 2008 at 8:51 pm
Pembantu memang lebih sering dianggap bukan bagian dari keluarga. Jadi bukan berarti mereka dianggap budak, bukan manusia, nggak punya hak asasi, dlll…. hey, kita hidup di jaman kapan ? 😉 Dan beberapa kasus kekerasan tidak bisa jadi generalisasi terhadap semua PRT di Indonesia.
Mereka sering dianggap sebagai orang luar yang digaji dan bekerja mengurus keperluan rumah tangga. Tidak lebih dan tidak kurang. Jadi kalau pembantu nggak diperkenalkan, wajar karena dia bukan bagian dari keluarga itu.
Katanya, ada bagian bangsa ini yang masih hidup di jaman jahiliah, Om Fertob. Sebuah jaman dimana Renaissance itu masih diawang-awang dan utopis. Hehehe
Februari 20, 2008 at 2:54 am
Manusia yg terlahir di kasta rendahan memang tak pernah dianggap ada, statusnya selalu “invisible”
Ahh masa sih yaa?
Februari 20, 2008 at 8:15 am
Komentar di blog memang sering menimbulkan bahan pemikiran dan menjadi ide tulisan…ini saya setuju bangaip.
Terus soal pembantu, kelihatannya di Indonesia banyak keluarga yang meperlakukan hal seperti itu. Kebetulan keluarga saya menganggap pembantu (si mbak) adalah bagian keluarga. Saat menantuku (saat itu masih calon) pulang dari Amerika, diantara oleh-oleh yang dibawa, si mbak juga mendapat bagian. Dan saat saya mantu kemarin, si mbak juga kebagian mendapat satu stel busana “shocking pink” untuk dijahitkan, dan dipakai saat acara. Memang ada yang komentar, kenapa nggak dibedakan? Saya bilang, justru merekalah saudara terdekat saya, jika saya sakit, merekalah yang menolong pertama kalinya. Dan mereka begitu gembira momongannya mau menikah, dan ikut membantu beres-beres rumah…juga mengawasi katering saat siraman, yang berhubungan dengan satpam untuk pengamanan kendaraan tamu saat datang ke rumah pas siraman….pokoknya kebagian tugas apa aja, dan tanpa mengeluh….
Dan juga kebagian ikut dirias…dan tak satupun tamu yang percaya bahwa dia adalah pembantu di rumah kami.
Waduh, kalau pembantunya cantik. Hati-hati bu. Ini banyak blogger pria yang ganas berkeliaran di dunia maya. Hehe.
Tapi saya setuju, Bu. Mereka itu saudara terdekat.
Februari 20, 2008 at 8:21 am
Hmmm… mayoritas komentar bernada negatif. Ada asumsi, ada tuduhan. Seperti bang Aip bilang, komentar menunjukkan kapasitas komentator itu sendiri. 😀
Saya mencoba melihat dari sudut pandang lain, dan berusaha berpikir positif.
Jika itu benar terjadi dalam acara TV, mungkin skenarionya memang begitu. Pembantu gak ada dalam skenario, untuk menghemat durasi acara. Gak ada hubungan dgn perendahan status PRT. Di film jarang ditampilkan acara makan, apa trus aktor di film itu gak makan? Apa makan jadi gak penting? 😉
Besar kemungkinan dalam kondisi yg sebenarnya, bukan dlm acara, tuan rumah gak “sejahat” yg kita asumsikan. Bisa jadi tuan rumah juga akan mengenalkan 2 PRT itu pada tamunya. Setelah tugas2 mereka selesai, setelah kamera tak lagi merekam.
Mudah2-an kita gak terbiasa menghakimi dan menilai org lain hanya berdasarkan asumsi saja, tanpa fakta dan data yg kuat. 🙂
Tuan rumah tidak jahat kok, Pak. Dan menariknya, dua hari setelah tayang, ada sebuah programa susulan yang tidak kalah menarik, yaitu kisah pembantu di negara-negara Asia dan China. Yang diambil, sebagai contoh kasus adalah Indonesia, Malaysia, Hongkong dan Korea. Menariknya, hampir sebagian besar PRT di negara-negara tersebut, adalah WNI.
Februari 20, 2008 at 9:12 am
iya juga . mungkin Titi Kamal harus kita ajak serta untuk mencerdaskan para pembantu di Indonesia . Toch mereka juga warga negara yang punya hak sama dengan kita khan . Jangan cuma nyanyi mars pembantu aja dong jeung titi kamal , ikut turun mengerti nasib para pembantu . Mungkin harus digalakkan untuk membuat para pembantu tetap pinter dan ngga gaptek . Saya setuju tuch sama idenya .
hidup Indonesia
Hidup Indonesia!!!
Februari 20, 2008 at 10:58 am
ini yg pd komen ga cm omdo (omong doang) kaaan
*kabuuuur*
eh lupa blm komen
yg jelas ga semua orang memperlakukan pembantu spt yg dipikirkan banyak orang disini (tdk memanusiakan pembantu).
buat pelajaran ajalah utk diri sendiri *maksudnya gw*, artikel si abang ini jd pecut utk memperlakukan siapa aja dg cara yg manusiawi, pakek hati.
makasih ya bang, artikel yg abang tulis ini mengena bgt di hati *haiyahh*
Terimakasih sudah mampir dan memberikan opini. Iyalah, semoga kita sama-sama bisa belajar.
Februari 20, 2008 at 4:39 pm
ah abang, sok tau aah…
ada kok adegan ibunya wiwi memperkenalkan 2 nona muda itu kepada tamu nya, trus disorot kamera dgn berbagai sudut. pen kanan, pen kiri, til up, til down…
Nahhh….
Sampai studio, produser beri perintah: edit! buang-buang frame! buang2 waktu! mending untuk iklan!
begitu ceritanyaa baaangg….
Hehehe, bisa aje Mas Reza.
Februari 20, 2008 at 5:32 pm
Masalahnya kenapa harus pakai pembantu ya, dan kenapa orang mau jadi pembantu. Ah …
Wah itu pertanyaan yang berat, Pak. Maaf, sukar saya menjawabnya. Barangkali saja, semoga ada pembaca lainnya yang bisa menjawab.
Februari 21, 2008 at 11:44 am
bang, aku masih meraba yang abang maksud pada postingan ini, di satu sisi mungkin itu budaya-nya bangsa ini yang selalu mengecil-kan arti dari para pembantu, atau mungkin juga ini bagian dari keramah-an manusia-manusia bangsa ini, siapa yang tahu 🙄
Februari 21, 2008 at 2:05 pm
Bang Aip…
Aku nggak pengen ngomong apa-apa. Cuma pengen ngerasa ‘weird’, ngirim komentar ke tulisan yang membahas soal, ehm, komentar.
Oya, rencana mo nerbitin buku-nya jadi? Bukan apa-apa, sih. Once again, aku sukarela nawarin diri jadi ilustrator.
Terimakasih Mas Redi. Akan diumumkan bulan depan. Kalau Mas Redi mau, silahkan bergabung. Nanti, tunggu saja bulan depan yaa. Hehehe. BTW, makasih banget loh.
Februari 25, 2008 at 10:00 am
Ah, saya gak setuju kalo alasan pembantu itu tidak diperkenalkan karena mereka gak facial, karena mereka bau, karena mereka negatif negatif lainnya. Mereka lebih cenderung tidak diperkenalkan karena si majikan merasa status sosialnya berbeda. Saya agak kurang tega nyebut mbak saya di rumah sebagai pembantu. Sekedar share aja bang, saya selalu kenalin mbak saya yg namanya Ratna itu sama keluarga yang dateng, sama pacar, malah saya bikin tulisan khusus di blog tentang mbak saya itu, misalnya di sini (link FS). Emang gaji dia gak terlalu gede, tapi saya pikir haknya dia cukup punya porsi besar di rumah saya. Saya pernah dimarahin abis sama Mamah karena bangunin Mbak yang udah tidur jam 9 malem, hoho.. Udah gitu dia juga punya semangat blajar yang tinggi, pinjem buku2 bahasa inggris saya, pinjem novel2 saya, dan amazingly: DIA GAK SUKA NONTON TIVI!! Jarang2 kan tuh.. Wah, pokoknya mbak saya ituh asoy.. temen curhat dan temen anterin saya kalo mo ke salon ataupun ke warnet deket rumah, hehe.. (btw, dia saya bikinin imel lho bang.. hehe..) Intinya, jangan pernah menomor duakan orang lain kalo kamu mau jadi orang nomor satu. Ah jadi pengen posting tulisan khusus ttg doi. Yah sekedar share aja bang, kita kan care.. 😉
———
Salam saya untuk Mbak Ratna yaa, Tiw. BTW, beliau suka buku apa? Posting dong mengenai beliau. Nampaknya beliau orang hebat yaa.
Februari 28, 2008 at 2:50 pm
Doi pertama suka komik2.. tapi lama2 novel2 tanpa gambar kayak raditya dika gitu mulai mau, trus sekarang buku “Belajar mudah berbahasa inggris” punya papa saya yg jaman dulu juga di cemilin tuh bang.. Eh maap itu yg di atas linknya lupa, nah ini tulisan ttg mbak ratna bang.. http://titiw.blogs.friendster.com/titiw/2007/08/mr_plow.html
—-
Terimakasih titiw. Saya terharu sekali membacanya. Dari tulisan itu, saya bisa bilang bahwa saya bangga yaa blog saya ini dikunjungi kamu.
Maret 4, 2008 at 1:12 am
Jadi ingat waktu main ke rumah kawan di Swindon. Saya bengong pas lihat ada cw bule di rumahnya yang sibuk beres-beres dan melayani semua orang dengan tersenyum. Kawan2 juga ada yang bengong, mungkin karena doi mirip dengan Keira kali ya? Hihi…
Tadinya saya pikir dia itu saudara suaminya, yang memang orang asli sono.
Ternyata sodara-sodara sekalian, itu pembantunya. Saya makin bengong ketika jam 5 ybs tiba-tiba lenyap, dan dijelaskan bahwa memang jam kerjanya adalah s/d pkl 17:00, dan ybs libur di akhir pekan.
Istri saya kebetulan dulu tinggal di Kebon Kacang (T.Abang), dan dia cerita bagaimana para pembantu di beberapa rumah disana bahkan tidak bisa keluar rumah.
Kalau majikannya lagi keluar rumah, mereka dikuncikan di dalam rumah. Apesnya, itu rumah bener-bener “secure”, tahulah daerah Kebon Kacang sono – tanah mahal, jadi rumah2 pada tinggi ke atas, dan dari bawah s/d atas itu bentuknya kayak sangkar besi raksasa. Dan kriminalitas disana cukup parah, jadi banyak penghuni yang memilih mengurung dirinya sendiri.
Tapi cilakanya, pas kebakaran, jadi tidak bisa menyelamatkan diri. Yah,pada hangus terkurung di dalam 😦
Pembantu itu adalah orang-orang yang sangat membantu kita, Jadi sebaiknya kita apresiasi dengan baik pula.
Pembantu saya kalau siang bisa tidur siang (duh kapan saya terakhir tidur siang ya), dan kalau sudah sore/malam dia sudah bebas mengerjakan apa yang dia mau. Kalau ke restoran / rekreasi kita ajak. Dan kalau anak-anak saya berani bikin masalah dengannya, maka mereka akan menghadapi saya (dan saya galak soal ini).
Alhamdulillah, ybs tidak jadi ngelunjak karenanya (sebelumnya sempat cemas juga kalau malah jadi begini). Senang sekali kalau melihat istri saya & pembantunya kompak saling bantu-membantu dalam urusan rumah & anak-anak.
Saya mah keluyuran melulu soalnya, lagi mencari2 segenggam berlian, huehehe
—-
Terimakasih, Pak, telah berbagi. Ini mungkin contoh yang bagus buat kita disini semua, agar layak memperlakukan saudara terdekat itu.
Well, soal tidur siang. Saya pikir itu juga kemewahan, Pak. Alhamdulillah saya kadang masih diberi kesempatan mencicipi kemewahan ini kalau sedang sakit. Hehehe.
Maret 6, 2008 at 7:58 am
jadi secara keseluruhan dari judul “pertukaran anak (nakal)” ini tema utamanya adalah pembantu rumah tangga.