Tulisan yang saya anggap dengan semena-mena menarik juga:

Selama 2007 Terjadi 79 Kasus Kekerasan PRT
Demo Pembantu Rumah Tangga di Semarang
Ada pembunuh lari dari penjara menggunakan tape uli…
HIV/AIDS

Saya punya dua topik yang menarik (buat saya pribadi) dalam beberapa hari belakangan ini.

Pertama, masalah komentar di blog.

Saya sering menulis mengenai tulisan yang dibuat komentator blog di blog saya ini. Baik komentator di blog saya, maupun blog lainnya. Baik dalam nada bercanda hingga yang serius. Dan tanggapan pembaca, beragam. Ada pro ada kontra. Wajar.

Kebetulan, syukurlah jarang yang ‘mengencingi’ blog saya dengan bensin pertamax. Syukur, dapat pembaca yang berkomentar dengan bijak, penuh pertimbangan dan cerdas.

Baik pro atau kontra, umumnya komentator blog saya kelihatannya orang-orang pintar dan baik hati.

Nah, karena (menurut saya pribadi) para komentator ini adalah orang terpelajar, maka pertanyaannya pun ala orang terpelajar pula. Cerdas, tegas, langsung dan kritis. Bukan ala preman, pukul dulu baru argumen. Melainkan melalui proses pencarian data, lalu bertanya.

Dan ini lah yang menarik. Sebab setiap komentator, datang dengan latar belakang ilmu yang berbeda. Memandang topik tulisan melalui kacamata yang sungguh berbeda-beda.

Bagusnya, melalui kacamata yang berbeda, para pembaca isi tulisan hingga isi komentar, dapat melihat sebuah permasalahan dari banyaknya pernyataan maupun pertanyaan yang terlontar.

Apesnya. Tidak semua pertanyaan bisa saya jawab. Hehehe.

Lah begini misalnya. Coba anda bayangkan, ketika saya menulis mengenai fasisme ada penanya yang berlatar belakang astronomi. Sebut saja si penanya bernama A. Dan si A ini, karena mempunyai latar belakang astronomi, maka akan berfikir secara metodologi kualitatif atau kuantitatif secara astronom. Sementara si B, latar belakangnya ahli gizi. Dan ia akan bertanya mengenai fasisme dengan latar belakang keahlian yang dimilikinya.

Pembaca blog itu latar belakangnya beragam. Bukan hanya si A atau B saja. Coba anda bayangkan, kalau mereka ramai-ramai bertanya pada saya. Huehehe. Mau menjawab dengan ilmu saya yang pas-pasan ini… Bisa modar saya. Hehehe.

Maka itu, tiba-tiba beberapa hari terakhir ini saya tiba-tiba berfikir. Menulis di blog tanpa moderasi komentar itu mirip menantang dunia. Dan menulis wacana tanpa data, ibarat memenggal kepala.

Tapi apa lantas blog saya dimoderasi komennya?

Kalau itu jawabnya, yaa jangan lah. Kadang saya pun kurang senang apabila membaca tulisan yang membuat saya ingin bertanya, tiba-tiba tidak ada fasilitas komentar. Atau kalau pun ada, dimoderasi. Tapi yaah itu kan pendapat saya. Amat subyektif looh. Jangan dipercaya begitu saja. Hehe.

Kedua, masalah pembantu rumah tangga (PRT)

Saya ingin mengumumkan mengenai pembantu di Republik Indonesia yang punya blog. Sayang, hanya PRT RI yang tinggal di luar negeri saja lah yang kebanyakan punya blog. PRT domestik, setahu saya, belum ada yang punya blog. (*atau bisa saja saya yang kurang gaul jadi kurang data, hehe*)

Kenapa bagi saya penting mengumumkan pembantu punya blog? Kenapa bukan artis? Bukankah artis lebih menjual? Minimal, blog saya pasti akan dikunjungi oleh orang-orang yang akan mencari tahu blog selebriti kesayangannya. Dapat hits dari mereka yang mencari kebenaran gunjing acara infoteinment atau dari fans sang selebriti.

Jawabnya: “Nggak tahu, iseng aja kali yaa, hehe

Tapi masalah ini sebenarnya timbul karena saya baru saja menonton acara di televisi. Acara itu bercerita mengenai pertukaran dua anak nakal dari dua negara.

Salah satu anak nakal itu, perempuan berusia 17 tahun. Berasal dari keluarga kaya di Jakarta. Kakaknya menderita HIV/AIDS karena pergaulannya dengan obat-obat terlarang.

Dan si anak perempuan ini diklaim nakal oleh orangtuanya, karena terlalu banyak mengkonsumsi malam di lokasi hingar-bingar diskotik Jakarta. Kita panggil saja perempuan muda ini dengan sebutan Wiwi.

Dan Wiwi, suatu malam, harus pergi ke sebuah desa di Belgia. Di sebuah keluarga yang mengirimkan anak mereka ke keluarga Wiwi di Jakarta. Keluarga itu, keluarga biasa. Keluarga petani. Bukan dari keluarga kaya. Mereka tinggal di desa.

Terjadilah pertukaran anak nakal Internasional.

Anak nakal lainnya, perempuan juga. Usianya 16 tahun. Berasal dari Belgia. Sebut saja namanya Sisi.

Keluarga Sisi sudah pusing memikirkan bagaimana cara mengatasi kenakalan anaknyanya. Dan oleh program acara televisi tersebut, ia dikirim ke rumah Wiwi. Ke Jakarta. Ke Indonesia.

Dan di Indonesia pula, ia akan meninjau sebuah penjara anak-anak. Dan akan melihat, bagaimana anak-anak hidup dalam penjara anak-anak di Indonesia.

Yang menarik dari acara ini, bukanlah pertukaran dua anak nakal tersebut. Yang menarik (buat saya) adalah ketika Sisi baru tiba dari Belgia. Dari bandara internasional Soekarna-Hatta Jakarta, dengan taksi menuju rumah Wiwi.

Taksi harus berhenti di sebuah pos penjagaan. Rumah Wiwi ada di sebuah kompleks perumahan yang dijaga pengamanan 24 jam. Jangankan penumpang dan juru kamera, sopir taksi saja ikut digeledah oleh para Satpam tersebut. Luar biasa.

Akhirnya Sisi tiba di rumah Wiwi. Malam hari. Dan dalam keremangan jam 2 dinihari, Sisi melongo tak habis-habisnya. Melihat betapa kaya keluarga Wiwi. Dari gagang pintu saja bisa terlihat kekayaan keluarga Wiwi. Dan Sisi bilang, ia belum pernah menginjakkan kaki di rumah sebesar itu, di Belgia.

Sisi mengetuk pintu. Seorang wanita setengah baya keluar. Mengenalkan diri pada Sisi sebagai mamanya Wiwi. Dan ia dengan ramah mempersilahkan Sisi ke ruang tamu. Lalu mengenalkan keluarga mereka satu persatu kepada Sisi. Tentu saja tidak lupa mengenalkan pada Sisi kakaknya Wiwi, yang menderita HIV/AIDS.

Dengan santainya, mama dan kakaknya Wiwi bercerita pada Sisi dan juru kamera mengenai kebijaksanaan mereka dalam mengatasi problema HIV/AIDS yang di derita kakaknya Wiwi.

Dan mereka sungguh bijaksana. Sang kakak, yang terlalu banyak mengkonsumsi narkoba, dinikahkan. Dengan harapan memperoleh jalan yang terang. Dan tidak kalah pula balur-balur doa orangtua menyelimuti kehidupan sang kakak.

Dan mereka, dalam tayangan ini, nampaknya merupakan gambaran keluarga ideal Indonesia. Yaitu, dari keluarga menengah ke atas. Memiliki pendidikan tinggi. Relijius. Monogamis. Dan ketika salah seorang dari mereka berbuat salah sehingga harus menganggung akibatnya, mereka hadapi secara bersama-sama. Dengan lapang dada.

HIV dan AIDS adalah sebuah perjuangan di keluarga tersebut. Bukan perpecahan.

Tapi itu belum menarik.

Loh kalau begitu, yang menarik apa dong?

Nah, yang menarik adalah ketika acara kenal-mengenal. Ketika mamanya Wiwi memperkenalkan Sisi kepada seluruh penghuni keluarga. Ada dua wanita muda, dipojok. Tidak ikut diperkenalkan.

Dua wanita itu kemana ketika mamanya Wiwi bercerita mengenai ketabahan mereka ketika putra mereka di vonis HIV/AIDS?

Ooh, satu orang diantara mereka membuat minuman. Satu lagi, terlihat mengangkat kopor berat Sisi menuju kamar baru di lantai tiga.

Mengapa mamanya Wiwi dan anggota keluarga lainnya tidak mengenalkan pada Sisi dua wanita muda itu?

Oooh, ternyata mereka pembantu.

Yang menarik adalah, sebuah keluarga kaya. Dari golongan kaum berpunya Jakarta. Yang begitu terpelajar. Begitu agung menerima kenyataan pahit putra mereka terinfeksi HIV/AIDS. Begitu ramah dalam menyambut tamu. Begitu relijius. Begitu terbuka pada publik dunia. Begitu bijaksana dalam menghadapi cobaan berat. Tapi secara sengaja, tidak mengenalkan dua pembantu muda pada tamu agung mereka dari Belgia.

Kenapa?