Ada seorang sahabat saya, blogger dari Cilincing (yang malu mengaku sebagai anak Cilincing entah karena alasan apa), menulis email. Ia bertanya. Pertanyaannya menarik, “Bagaimana agar blog saya dibanjiri komentar?”
Ia tidak peduli, walaupun setelah itu ia saya kirimkan link tulisan Fatih Syuhud yang berjudul “Jangan Terobsesi Komentar: Blog Pakar dan Non-Pakar”. Ia hanya peduli satu hal. Yaitu, bagaimana caranya agar dapat komentar yang banyak?
Sebenarnya ini pertanyaan basi. Kalau ia mau googling sedikit saja, banyak sekali tips di dunia internet untuk memberi tahu bagaimana cara mendapatkan komentar. Tapi nampaknya, ia terlalu malas untuk googling. Sebab ketika saya jawab dengan “Googling dong!”
Ia respon dengan “Males ahh, lo dong. Lo kan yang jago. Buat apa lo jadi temen gua?”
Saya ketawa. Ketawa capek. Hehe.
Tapi sebagai teman, saya jawab juga emailnya, “Nanti kalo dapet komentar yang ngeselin gimana?”
Ia jawab, “Gitu aja repot! Gua apus lah”
Saya jawab lagi, “Gimana kalo semua komentar yang masuk ke blog lo ngeselin semua?”
Ia tidak menjawab. Sehari tidak dijawab. Dua hari saya tunggu, belum ada jawaban juga. Seminggu kemudian, saya sudah agak khawatir. Masih belum ada jawaban dari dia. Saya pikir, jangan-jangan dia sakit. Atau malah meninggal dunia.
Maka itu, buru-buru saya kirim email ke mamanya, “Bu, si Hamid sehat? Sudah seminggu ini tidak email. Moga-moga ga ada apa-apa deh”.
Ibunya menjawab, “Sehat dia, Rip. Cuman agak aneh aja. Akhir-akhir ini sering baca buku. Ibu juga agak khawatir sih sebenernya. Kan dia orang mah jarang baca buku”.
Kali ini, saya takjub. Bukan karena si Hamid yang walaupun sehat tapi tidak membalas email saya. Melainkan karena ada seorang ibu yang khawatir karena anaknya membaca buku.
Sehari saya kebingungan. Saya masih bisa sabar.
Dua hari dalam kebingungan. Saya masih bisa tahan.
Tiga hari, kebingungan saya memuncak. Mirip bisul yang mau pecah.
Hanya satu penyelesaiannya… Saya harus mencari jawaban.
Saya harus tahu. Kenapa si Hamid membaca buku? Yang kedua, saya harus tahu, kenapa Ibunya Hamid khawatir anaknya membaca buku?
Untuk menjawab pertanyaan pertama dan pertanyaan kedua sebenarnya mudah. Tinggal kirim email, bertanya pada yang bersangkutan. Beres deh. Maka itu, saya lakukan hal tersebut. Dan hasilnya sudah dapat diduga sebelumnya. Yaitu tidak ada jawaban. Hehehe.
Maka itu, saya coba lirik-lirik Google. Bertanya, “Mengapa orang Indonesia membaca buku?”
Yang menarik adalah, saya mendapat beberapa jawaban berikut ini:
1. Orang Indonesia, dari NU (Nahdatul Ulama) termasuk kategori orang Indonesia yang paling gemar membaca. Bacaan mereka adalah shalawat. Puja-puji terhadap illahi. Umumnya, yang mereka baca adalah shalawat ‘Badar’ dan shalawat ‘Nariyah’. Shalawat Badar dibaca karena ini adalah shalawat yang dikenal sejak kecil. Sedangkan Shalawat Nariyah dibaca bila menghadapi problem hidup yang sulit dipecahkan.
2. Dari jiwarasa, salah satu blog Malaysia yang isinya menarikΒ (buat saya). Dari blog tersebut, diiketahui hal umum, bahwa ternyata orang Indonesia itu mempunyai minat baca yang lebih tinggi daripada tetangga jirannya tersebut.
3. Orang Indonesia gemar menggunakan kalimat bahasa Belanda kuno, bahasa Portugis kuno, bahasa Inggris, bahkan hingga bahasa slank dalam percakapan, namun tidak menggunakannya dalam bahasa tulisan. Bahasa tulisan masih dianggap sakral. Sebab bahasa tulisan adalah bagian dari proses dokumentasi dan publikasi. Kalau ucapannya didokumentasi maupun dipublikasi, maka orang Indonesia lebih berhati-hati. Sebab sejarah akan mencatatnya dengan baik.
4. Orang Indonesia umumnya tidak gemar membaca buku bertopik serius. Katanya, proses belajar mengajar yg di tanamkan sejak TK sampai Universitas menunjukan fakta bahwa mereka membaca buku serius untuk mencapai pendidikan dan ilmu yg mereka cita-citakan. Seorang penulis buku, bahkan mengklaim bahwa orang Indonesia tidak suka membaca karena sistem pendidikan (kurikulum nasional) Indonesia tidak mengajarkan/mendidik anak bangsa untuk berbudaya membaca/menulis buku. Kurikulum kita lebih mementingkan mengumpulkan ilmu hidup dari melihat dan mendengar, dan menebak-nebak.
5. Jawa Timur selain penyumbang presiden terbanyak, ternyata penyumbang pula angka buta huruf terbesar di Indonesia.
6. Masih ada golongan kaum beragama di Indonesia yang menganggap buta huruf bukanlah simbolisasi keterbelakangan. Sebab nabi mereka buta huruf. Konteks ini di debat habis-habisan oleh blogger bernama PoetraBoemi dan Ersis Warman Abbas (EWA).
7. Kalau anda cari jawaban dari pertanyaan “Mengapa Membaca?” Maka jawaban Google adalah merujuk pada dominasi website-website yang mengacu pada pentingnya membaca kitab-kitab suci.
Menarik.
Namun yang tidak kalah menariknya, hingga detik ini, saya belum mendapat jawaban mengapa Hamid membaca? Dan mengapa pula ibunya khawatir?
Tidak jadi masalah. Toh Hamid dan ibunya adalah orang Indonesia pula. Cari saja jawabannya pada tujuh poin diatas.
Astaga, kok saya jadi generalisir begini?
Februari 22, 2008 at 1:21 am
“melihat dan mendengar, dan menebak-nebak.”
hihihi..mirip bener ama slogan blog saya π dan saya juga emang kurang suka bacaan serius.
*salam kenal bang, waak sepertinya saya dapat kapling pertama ya? π
Nah ini yang jadi pertanyaan. Kenapa anda kurang suka bacaan serius? BTW, selamat atas kaplingnya. Hehe
Februari 22, 2008 at 1:58 am
Ya ya ini masalah serius: suatu kali mahasiswa bertanya: Pak kenapa orang-orang kita malas membaca. Saya jawab becanda: Jangan-jangan upaya menetang perintah Allah SWT pertama: iqra, iqra, iqra. Dia mesem-mesem, saya seyum aja. Maklum becanda.
Mahasiawa kedua bertanya: Pak kenapa kalau lembaga (pendidikan) pimpinan Muslim kog kotor (dia main generalisir aja). Saya jawab becanda: Kan kata Raslulullah kebersihan bagian dari iman. Jadi usaha perlawan terhadap hadis Rasulullah.
Mereka hanya hanay bisa ngeluh: Ah Bapak becanda melulu.
Iya Pak… Benar-benar serius euy. Masalah membaca ini memang amat penting. Moga-moga, seperti kata seorang blogger, bahwa semoga dengan adanya blog ini menjadi fenomena untuk membangkitkan minat baca warga.
Dan satu lagi, bersyukurlah kami karena punya seorang EWA yang menularkan virus menulis pada pembaca tulisannya.
Februari 22, 2008 at 2:12 am
π¦ Hiks….
Masak sih? (Lihat “Orang Malaysia lebih cerdas daripada orang Indonesia?“.) Apakah ada perbedaan tajam antara minat baca dan dayabeli?
Saya pribadi, tidak mampu menjawab pertanyaan bapak. Maaf. Karena dari dua tulisan tersebut, dilihat dari kacamata pribadi dan pengalaman pribadi. Saya hanya menukilkan apa yang tersurat. Maka itu, terimakasih Pak Shodiq telah ikut memberikan salah satu barometer pengukuran pada saya dan pembaca.
Februari 22, 2008 at 3:18 am
Walah,…
sayah kok jadi tersinggung dengan #3, ya bang…
Mestinya kalok nulis ya make kaidah berbahasa nyang bener…. π
Nggak kok Mas Mbel. Bener kata Om Fertob. Mas Mbel dan Mas Hoek itu menjungkirbalikkan fakta bahwa dokumentasi tertulis harus memakai kaidah baku. Mirip dengan Ayu Utami, yang menulis tidak dengan kalimat eufimisme untuk mendeskripsikan selangkangan.
Hasilnya, seperti Ayu Utami. Mas Mbel dan Mas Hoek pun jadi seleb. Hehehe
(*maap Mbak Ayu, saya samain ama dua makhluk tampan ini. hehe*)
Februari 22, 2008 at 3:32 am
Iya juga ya? yang namanya perpus, kebanyakan di sekolah itu identik dengan sepi, berdebu, dan serem.
Bahkan pilem2 horor sering bikin scene di perpus. Mungkin itu yg bikin pelajar pada males baca.. dan akhirnya hanya mengandalkan melihat, mendengar, dan menebak.
Jadinya nggak aneh kalo di sini banyak dukun
Yang menarik, perpus kini malah identik dengan sebuah tempat yang menyediakan buku. Tapi kekurangan buku baru. Hehe
Februari 22, 2008 at 5:09 am
@yogie
ngga juga ah.. klo skrg kebanyakan perpus lebih identik tempat mojok π
klo ditanya lagi bagaimana biar dapet banyak koment.. liat trik sejuta koment nya gunawan π
Haha… Iya, saya juga bingung tuh ama Mas Gun. Hebat sekali beliau mengatur waktu sehingga bisa mengunjungi blog teman-teman semua dan memberi komentar. Dan umumnya komentar beliau lumayan berbobot loh. Saya nampaknya memang harus berguru pada Mas Gun. Sesuai dengan saran Mas Funkshit ini. Hehe
Februari 22, 2008 at 5:17 am
buka mata buka telinga ini hanya ada di indonesia π
Hahaha
Februari 22, 2008 at 7:21 am
bangaip, bangsa kita mengalami lompatan yang tidak normal dalam aktivitas membaca. dari budaya iliterate, literate, lalu postliterate. repotnya, budaya literate-nya langsung dilompati, hehehehe π dari iliterate langsung ke postliterate. buku sudah tergantikan oleh produk2 postliterate kayak yang di TV2 itu. susah2 nyari buku, eee, ndak ada yang baca juga, apalagi lbuku yang serius.
Iya Pak. Bener juga teorinya yaa. BTW, saya dapat ide postingan ini daru tulisan bapak dan Ibu Enny loh. Jadi, membaca itu sebenarnya juga memancing ide. Terutama buat saya, yang idenya pas-pasan begini. Hehe
Februari 22, 2008 at 7:26 am
βBukan karena si Hamid yang walaupun sehat tapi tidak membalas email saya. Melainkan karena ada seorang ibu yang khawatir karena anaknya membaca buku.β
Mungkin sewaktu si Hamid baca buku….ibunya nanya βkok tumben baca buku Midβ¦?β namun si Hamid gak menjawabβ¦.,Sehari tidak dijawab. Dua hari ibunya tunggu, belum ada jawaban juga. Seminggu kemudian, ibunya sudah agak khawatir. Masih belum ada jawaban dari Hamid. Ibunya pikir, jangan-jangan si Hamid tuli. Mungkin itu Kang yg bikin Ibunya kuatirβ¦.kok si Hamid mendadak (*ndangdut*) suka baca buku.:lol:
Hahaha.. ente ade-ade aje, Bang. Huehehe.
Februari 22, 2008 at 9:08 am
Sebenarnya ini pertanyaan basi. Kalau ia mau googling sedikit saja, banyak sekali tips di dunia internet untuk memberi tahu bagaimana cara mendapatkan komentar. Tapi nampaknya, ia terlalu malas untuk googling. Sebab ketika saya jawab dengan βGoogling dong!β
orang males googling karena resultnya banyak banget. jadi seperti mencari jarum ditumpukan jerami.
Menarik sekali komentar ini. Sebab setahu saya, di bagian bawah laman google ada tips penelusuran. Dimana membantu pencari untuk lebih mendpesifikasi dan mempersempit hasil pencarian.
Februari 22, 2008 at 9:40 am
Si Hamid jadi rajin baca buku soal ngeblog, ama tips-tips biar jadi seleb blog…
Wah… soal orang NU paling rajin baca, dan yang dibaca itu adalah shalawat, ane kira ada berbeda dengan maksud membaca secara esensi. Baca shalawat ato baca bacaan sholat, beda ama baca buku soal keutamaan shalawat dan buku tentang tata cara & bacaan-bacaan shalat. Baca shalawat itu artinya mengucapkan kalimat-kalimat shalawat.
Tafi, ane akuin kalo kalangan santri NU memang dikenal hobi baca banyak literatur lintas madzhab, dari yang salaf sampe yang kontemporer. π
Saya pun sedang menunggu konfirmasi dari santri NU yang kadang mampir ke blog ini, euy.
Februari 22, 2008 at 10:24 am
Hehehe.. si Hamid membaca buku biar bisa nge-review buku di blog-nya ya? Bilangin aja deh, Bang.. PERCUMA π Berdasarkan pengalaman saya sih kalo saya nge-review buku, apalagi buku2 yg serius, komentar justru surut π Soalnya pembaca keburu males baca tulisan serius.. hehehe..
Ohya, lucu juga si Hamid ngeributin jumlah komentar π Bukannya malah concern sama jumlah pembaca DAN berapa lama waktu yang mereka habiskan/berapa halaman yang mereka baca sekali visit π Seolah2 kalo banyak komentar = banyak yang baca ;)? Belum kenal dia sama para junkers yang pokoknya asal komentar, nggak pakai baca.. HAHAHAHA..
Ohya, dulu sempat menganalisa juga soal jumlah komentar yang tidak mencerminkan jumlah pembaca di sini. Tapi akhirnya sekarang lebih senang memperhatikan berapa orang yang baca dan berapa lama mereka hang out di blog berdasarkan data ini
Moga2 jadi pencerahan buat Hamid π
Terimakasih atas inputnya, Mamanya Ima. Saya akan sampaikan pada Hamid
Februari 22, 2008 at 11:50 am
Soalnya semua buku sekarang dibikin sinetron, Bang, Jadi ga perlu baca buku. Tinggal masang tipi.
Dan tujuan pengajaran di sekolah2 sekarang kan bagaimana murid bisa lulus ujian dan bukan menguasai ilmu dengan baik. Jadi ya bukan nambah pengetahuan tapi mengumpulkan nilai dengan segala cara.
Saya berdoa, Mbak Hana bukan masuk golongan murid seperti itu ahh. π
Februari 22, 2008 at 12:15 pm
membaca adalah salah satu cara menemukan ilmu yang sebegitu banyaknyah….
jadi perlu benget baca…
sayangnya minat baca orang Indonesia masih kecil…
Nah ini yang jadi pertanyaan. Diukurnya dari apa? Dari penjualan buku? Atau penjualan media cetak konvensional? Atau apa? Minat baca itu diukurnya dari apa?
Februari 22, 2008 at 12:35 pm
dari atas kok nggak ada yang njawab pertanyaan sahabat bang aip, kecuali bang aip sendiri
saya coba membantu ya …
Mbuat postingan yang bermutu
Posting artikel sesering mungkin, hot topik hari ini
Pada postingan anda ajaklah para pembaca untuk memberikan pendapatnya
Undanglah teman-teman dan sanak saudara anda untuk melihat postingan anda
Jangan bertindak sebagai moderator bagi komentar-komentar pembaca
Jangan meminta pembaca untuk mendaftarkan dan login sebelum berkomentar
Berikan love link kepada blog pembaca
Mengikuti komunitas-komunitas blogger
Banyak mengunjungi dan meninggalkan komentar
atao kalo mau cara sporadis :
Mengiklankan blog di media massa
Membuat postingan kontroversial : contoh : “tutup blog bangaiptop”
Serang blog yang sudah cukup kondang
Terimakasih atas idenya, Kanjeng Adipati. Keren euy. Akan saya sampaikan pada Hamid
Februari 22, 2008 at 1:12 pm
@funkshit: Hei, hei… Itu satir, Ri.
Kau ini jangan menyesatkan lah.
Ah, iya, komen dari COTS. Televisi, dengan cuma santai duduk-duduk menonton, banyak orang berpikir bahwa itu bisa menggantikan kegiatan ‘membaca’. Memang sih, kalau dituturkan secara lisan dengan visualisasi, kita bisa lebih ngerti. Masalahnya… Apa porsi dari yang kita dapatkan dari membaca dan menonton TV sama? Lha tayangan di TV aja kebanyakan kayak gitu. Ckckck… π
Kalau saya, baca e-book kok lebih sulit ketimbang baca buku beneran yah.
Iya, yaa, bener Mas Gun. Baca ebook itu mungkin lebih mudah kalau di-print saja kali yaa. π
Februari 22, 2008 at 2:48 pm
kabar kabari ya knapa Hamid tiba2 membaca. aku ngga puas klo jawabannya hanya karena dia orang indonesia..
Pasti Mbak. Sayang sekali email saya belum dibalas pula hingga saat ini. BTW, blog baru nih yee. Selamat yaa.
Februari 22, 2008 at 3:00 pm
saya mbaca biar bisa ngblog mas
saya ngblog biar gak goblok
: )
Terimakasih Mas Kiki atas opininya.
Februari 22, 2008 at 3:49 pm
ga betul tuh, ga betul, tu. masaallah, sampe bisa ada googling basa indo lagi, “mangapa membaca?” wah repot kalu gini, siapa yg mau baca blog saya. he3 sorri ya mas, ga serius ko. na, skarang ni agak serius. rasanya kurang tepat kalu dibilang orang indo ga suka baca. tiap kali kalu saya ke gramedia, tu, pada banyak yang nongkrong ngbacain buku. lha ‘kan gratis. tapi sayangnya, begitu buku bermutu tinggi, bukunya dibalut kaya mummmi. mau baca. ya, ga masalah sih, kudu extra panggil yg ngbukain bungkusan plastik. Nah, coba liat, siapa yang nyuruh ga boleh baca. ‘kan pemilik toko sendiri yang ngbatasin orang baca. ya, jelas, jelas, takut bukunya rusak, akhirnya buku bagus2 jadi kayak di perpustakaan.
Ini juga fenomena yang menarik. Sebab buku-buku di perpustakaan katanya “Kok itu-itu aja sih?”. Kalau di toko, ada kewajaran, sebab barang dagangan. Tapi kalau di perpustakaan sepi buku. Nah itu luar wajar. π
Februari 22, 2008 at 5:10 pm
Mengapa Hamid membaca ? Karena dia pengen blognya “sekuat” bacaannya. π
Saya kok kalau lihat poin #3 jadi ingat Mbah Mbelgedez dan Hoek Soegirang yang membuat blognya menjadi khas dengan bahasa yang “luar biasa” jungkir balik. Fenomena bahasa tulis yang ternyata tidak sakral lagi ?
Saya pikir orang Indonesia itu seperti melompat satu tahapan modernitas, dari tradisi pre-literasi (sering diterjemahkan jadi buta huruf) langsung ke tradisi lain yaitu menonton dan mendengar dan bukan membaca. Padahal untuk jadi maju, tradisi membaca harus tertanam dulu dengan kuat.
Saya sendiri kalau nggak membaca “bacaan serius” satu hari saja, mungkin bisa mati, bangaip. π Maklum, bukan penggemar bacaan “ringan”, meskipun penggemar makanan/minuman ringan.
Melihat dari tulisannya, Om Fertob memang bukan diklasifikasi sebagai pembaca tulisan ringan. Tapi untunglah, hasil karya tulisannya yang berbobot itu bisa dibaca manusia berotak ringan macam saya ini. Hehehe. Artinya Om Fertob ini punya kelebihan, yaitu bisa meringankan yang berat-berat. Hehehe
Februari 22, 2008 at 6:09 pm
wah saya salut dengan cara bangiap mencari jawabannya, sy blum bisa seserius ini, karena masih banyak hal yang harus saya lakukan π
Tapi bagi saya, paradigma baca-membaca bangsa ini sih tergantung orangnya, orang yang awalnya mungkin jarang baca buku karena memang kurang buku di rumahnya akan terlihat malas membaca, sedangkan orang yang punya bejibun buku, akan terbiasa membaca buku, setebal apapun.
Yang jadi pertanyaan Rul. Gimana dengan orang yang dekat dengan akses perpustakaan, seperti pelajar atau tenaga pendidik. Mereka kan dekat dengan buku. Tapi kenapa ada diantara mereka yang tidak suka membaca buku?
Februari 23, 2008 at 12:54 am
iya iya saya cuman numpang lewat.. ngetes komen.. takutnya udah dimoderasi.. hahahaha..
Huehehe.. nggak Dho. Nggak dimoderasi. Tapi akismet memang agak ngaco nih. Mamanya Ima (may) aja disangka akismet sebagai spam. Aneh juga.
Februari 23, 2008 at 4:44 am
Bacaan sehat di Indonesia kurang kali bang.
Sekali-kalinya keluar novel yang disadur dari pilem atau sinetron. Malah sekarang keluar lagi mode songlit = song literature. Novel merah jambu yang ditulis berdasarkan tema lirik lagu populer, asem ga tuh..
Gapapa mansup. Biarin aja. Namanya juga usaha. Biar aja masyarakat yang menilai. Contohnya ulasan kamu ini. π
Februari 23, 2008 at 6:19 am
[…] ini malah nemu tulisannya bangaiptop tentang membaca. Gw jadi pingin nulis deh. Kalau boleh tulisannya bangaiptop tentang membaca saya jawab disini […]
Februari 23, 2008 at 12:49 pm
Walah, sahabat Bang Aip itu, kayaknya, terlalu memikirkan masalah komentar yang mengesalkan itu. Gara – gara ditakut – takuti sih… π
Kayaknya sih begitu, Debe. Hehehe
Februari 23, 2008 at 2:57 pm
Dari teman saya yang bekerja di percetakan buku di Cianjur saya dapat info kalo penjualan buku malah semakin menurun. Setelah diteliti karena kemajuan teknologi yang semakin pesat. Semuanya seakan bisa diambil lewat internet. Atau bacaan-bacaan yang ada sudah dalam bentuk digital. Apa iya benar begitu ya?
—-
Hasil penelitiannya bisa dilihat dimana yaa, kalau boleh tahu. Menarik juga itu penelitian.
Februari 24, 2008 at 6:28 am
lho, saya kok jadi bahan blog?
π
Masalah saya membaca, yaa karena saya butuh informasi. Dan kebetulan info yg saya cari, kemarin belum sempat saya temukan. Saya minta bantuan mas Arif, malah disuruh googling, padahal internet sedang down.
Akhirnya yaaa..saya mbaca saja…mbaca tabloid gosip kok, tapi ditutupi dg buku, biar kelihatan lebih serius π
—-
Hehehe, bisa saja nih Mas Fahmi.
Februari 26, 2008 at 7:42 am
bukan blog baru, Bang.. itu side blog, isinya poto2 ajah :p
——
Keren euy poto-potonya deh
*wah salah komen. Harusnya saya komen di blog itu yaa. hehe*
Februari 28, 2008 at 4:41 am
@Gun & Mas Arif
Lah, baca buku kan bisa sambil nungging pose-nya suka2. Kalo e-book gimana nunggingnya dgn laptop segede gitu hehehe…
Februari 28, 2008 at 9:17 am
kalo blognya agak nge-hot pastilah akan banyak mengunjungnya.
—-
Contohnya ‘hot’ itu seperti apa yaa?
Kalimatnya hot?
Atau penulisnya hot?π
Maret 4, 2008 at 1:22 am
Masih ada golongan kaum beragama di Indonesia yang menganggap buta huruf bukanlah simbolisasi keterbelakangan
Saya iseng baca, kayaknya enggak ada implikasi begitu. Saya malah menemukan kutipan ini :
Kitabullah dan Sunnah Rasul justru menganjurkan belajar, menulis dan keluar dari kondisi sebagai masyarakat buta aksara.
Anyway, harga buku di Indonesia memang terlalu mahal untuk kocek kita. Jadinya banyak orang yang mungkin senang baca tapi mentok di biayanya.
Untunglah sekarang sudah ada eBookee.com, ooops, maksud saya, Internet. Cukup modal beberapa ribu perak, sudah bisa nongkrong berjam-jam di warnet dan menikmati tulisan-tulisan kelas dunia (atau, kelas sampah dunia) di Internet.
—-
Ooh, kutipannya bukan diambil dari yang menjawab, Pak Harry. Tapi dari yang bertanya. Dan memang dipasang link tersebut, agar ada yang ‘iseng membaca dan lalu komentar’. Hehehe.
BTW, langsung meluncur ke TKP..eh… ebokee.com..eeh, oops… maksudnya internet.
Hehehe
Maret 4, 2008 at 5:01 pm
saya dapet pengalaman super menarik dari sekolah di amrik, ruang kelasnya penuh dengan berbagai macem buku, kebanyakan buku cerita or buku pelajaran yang dikemas dengan sangat menarik. setiap hari pasti ada ‘acara’ melapor sejauh mana bacaan mereka (para siswa). ini menarik, karena kalo dinegara kita anak anak/ murid membaca nyaris identik dengan membaca diktat. jaman skarang aja ortu yang sadar membuat variasi bacaan untuk anak anaknya. kalo dipikir, gurunya aja males mbaca, gimana muridnya. kalo ortunya nggak biasa mbaca, ya gimana anaknya π
—-
Terimakasih sudah berbagi pengalaman, Yu Siti.
Maret 4, 2008 at 5:25 pm
eh tapi banyak kasus kok ortunya nggak bisa mbaca or nggak suka baca, anak anaknya malah turn out to be book lovers. kayak kasus saya heheheh…lupa, nggak ada cermin sih:D
—-
Terimakasih Yu telah berbagi. π
Maret 6, 2008 at 7:36 am
sebenarnya saya gemar membaca, namun karena harga buku yang menarik minat saya lumayan tinggi, terpaksa beli koran doang sebagai bahan bacaan. namun itupun tidak terlalu sering dan bahkan jika sudah beli belum tentu dibaca, karena dari judul beritanya sudah memusingkan kepala dan membuat dada berdebar-debar, padahal saya orangnya penakut. takut dengan kenyataan yang dipaparkan dalam koran, akhirnya kembali bermimpi dengan menonton televisi yang ternyata tidak mencerdaskan penontonnya tapi kebanyakan malah membodohkan. perpustakaanpun tidak banyak membantu, sudah tempatnya jauh, harus ngembaliin dalam jangka waktu yang belum tentu kita bisa kembali kesana tepat waktu dan buku yang terbaca habis.
bagaimana ini?
—-
Bagaimana?
Wah maap Pak. Saya tidak bekerja di perpustakaan.
April 12, 2008 at 3:58 am
Tapi emang ya kan , minat baca orang indonesia memang ngga sebanyak minat nonton infotainmentnya.. Buktinya dimana- mana masih banyak nongkrongnya didepan tipi Bang,