Ada dua tipikal orang Cilincing. Itu kata si Gugun, adek saya.
1. Orang Cilincing umum.
Yaitu orang Cilincing yang melihat keramaian orang-orang berkumpul, lalu ikut gabung dalam keramaian itu. Tidak mau tahu, itu acara kedukaan, kegembiraan, kesakitan. Pokoknya, kalau ada keramaian… Hanya satu kata: Ikuuut!
2. Orang Cilincing yang kelaparan.
Yaitu orang Cilincing yang melihat keramaian, lalu bertanya, “Ada makanan disini?”. Kalau ada, ia ikut bergabung. Kalau tidak ada, ia meloyor pergi.
Saya cengar-cengir mendengarnya. Sebab si Gugun ini belajar tekhnik. Maka klasifikasi manusia pun sering ia golongkan berdasarkan fungsional saja. Memangnya manusia itu mesin? Hehe.
Sebagai anak Cilincing aseli, saya mau mendebat lebih jauh. Memaparkan teori-teori mulai dari evolusi manusia ala Charles Darwin hingga manusia masa depan ala Alvin Toffler. Melemparkan wacana, bahwa manusia, terutama manusia Cilincing itu tidak se-oportunis yang ia kira.
Sialnya, si Gugun sudah pergi. Hari menjelang magrib. Ibu menyuruhnya ke Pasar Jongkok. Sebuah pasar di dekat rumah. Untuk membeli timun suri untuk berbuka puasa.
Tidak lama kemudian. Saya lupakan rencana debat. Perut saya kekenyangan akibat buka puasa. Hehe.
Beberapa tahun kemudian (dan saya sudah lupa perdebatan dengan Gugun), pulang dari kantor saya lihat ada orang-orang berkerumun di sebuah kafe.
Insting Cilincing saya menuntun masuk. (*cerita berikutnya, akan membuktikan, saya tipe manusia Cilincing macam apa*)
Ada laki-laki berkulit hitam di tengah kafe. Di depan bar. Berdiri. Bercerita pada publik yang duduk disekelilingnya. Pakaiannya rapi. Jas hitam dengan celana jeans.
Ia bercerita dengan bahasa Inggris. Kelihatannya, ia orang Amerika. Gaya bahasanya seperti gaya bahasa ghetto kota besar amerika. Penuh dengan intonasi penekanan pada huruf vokal.
Jas saya gantung di coat hanger.
Saya menuju bagian kiri cafe. Plarak-plirik, ada makanan atau tidak. Dan nampaknya, tidak ada orang yang memperhatikan saya. Hmhh, menyadari tidak ada makanan, saya ke bagian kanan kafe. Tidak ada juga. Payah. Acara apa ini?
Saya tanya ke seorang bapak botak yang berdiri di dekat pintu, “Ada makan-makannya?”
Si bapak melotot. Lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Ssst! Dan dengan jari yang sama, ia menunjuk ke poster besar di samping pintu. Wah, ada anak muda amerika itu di poster. Sedang tersenyum. Dibawahnya, ada tulisan ‘A Long Way Gone‘. Sebuah foto buku dan tulisan Ishmael Beah.
Ooh, itu Ishmael Beah. Sang penulis buku. Ia di klaim sebuah media di Australia, sebagai anak yatim piatu paling beruntung di dunia.
Kenapa?
Sebelum Juli 1993 Ishmael Beah hanyalah seorang bocah ingusan biasa di sebuah desa di Sierra Leone. Sebuah negara di Afrika Barat. Pada suatu pagi, perang sipil yang melanda negerinya sejak 1991 membawanya dalam sebuah petualangan baru. Ia di culik oleh gerilyawan RUF (Revolutionary United Front) dan dijadikan tentara anak dibawah kendali pemerintah.
Ishmael, pada usia 13 tahun, dilatih menjadi mesin pembunuh mematikan. Dicekoki alkohol oleh komandan regunya agar berani dalam setiap pertempuran. Otak kanak-kanaknya ditransplantasi chip bengis hingga mencandu ‘brown-brown’, gabungan antara cocain dengan bubuk mesiu peluru yang dihisap melalui hidung.
Ishmael kecil, beserta prajurit anak-anak lainnya tumbuh menjadi monster. Membunuh tanpa takut. Menjarah dan membakar desa-desa. Menjaga tambang permata berdarah, modal peperangan penguasa.
Ishmael, tumbuh menjadi tentara anak. Boneka mabuk yang memegang senjata otomatis AK-47. Yang dalam waktu senggangnya, membelah rahim wanita hamil, berjudi dengan temannya, hanya untuk menebak jenis kelamin apa yang ada dalam kandungan wanita malang tersebut.
Hingga suatu hari, Ishmael diselamatkan pekerja sosial UNICEF. Sebuah lembaga dibawah Persatuan Bangsa-Bangsa yang mengatur, salah satunya, urusan anak.
Ishmael kecil. Yang biasa dibawah kendali ‘brown-brown‘. Yang biasa berhubungan seks dengan pelacur anak sebagai hadiah kemenangan desa jarahan. Yang hidup dalam keruwetan luar biasa. Diangkat anak oleh seorang Ibu pekerja sosial UNICEF.
Ia, dibawa ke Brooklyn. Amerika Serikat. Tempat si Ibu tinggal. Diingatkan kembali untuk menjadi anak-anak. Disekolahkan. Hingga akhirnya lulus. Hingga memasuki jenjang perguruan tinggi. Dan lulus dengan nilai mencengangkan dengan gelar Sarjana Ilmu Politik.
Perjuangan yang berat. Dari seorang anak-anak, dilatih menjadi monster boneka, lalu berubah jadi manusia yang mempunyai kesadaran penuh.
Ishmael kecil kini tumbuh menjadi salah satu pemimpin muda berbakat. Ia bekerja untuk kantor Hak Asasi Manusia bagian anak-anak korban peperangan di Amerika Serikat.
Saya, yang tadinya hanya niat cari makanan, kaget mendengar penuturan Ishmael. Tidak menyangka. Anak muda berlogat west coast Amerika ini ternyata mantan prajurit anak.
Iseng-iseng, saya tanya, “Berapa orang yang sudah kamu bunuh?”
Ia menjawab dengan tatapan sedih, “Terlalu banyak untuk dihitung”
Tidak lama kemudian, saya keluar dari kafe tersebut. Udara dingin mulai menyapa di luar pintu. Angin bulan september menerbangkan daun-daun yang mulai luruh. Musim gugur telah tiba. Namun dinginnya tidak mampu meredakan gejolak hati saya. Yang tiba-tiba berfikir mengenai anak-anak Aceh, Sambas, Sampit, Poso, hingga Maluku.
Apa kabar anak-anak itu? Yaa, apa kabar anak-anak korban perang di bumi pertiwi itu?
Anak yang menyaksikan bapaknya membunuh karena lawan bicaranya berbeda suku. Anak yang menyaksikan ibunya diperkosa karena bapaknya dianggap pemberontak. Anak yang menyaksikan leher temannya ditebas golok hanya karena beda agama.
Apa kabar anak-anak itu?
Apa organ tubuh mereka masih lengkap?
Apa masih punya orang tua atau orang-orang yang mencintai mereka?
Apa masih bisa sekolah?
Apa masih bisa punya hati untuk tidak membenci?
Apakah mereka dapat seberuntung Ishmael?
PBB boleh saja mengeluarkan Resolusi 3318 pada tahun 1974. Dimana isinya mencegah konflik perang berlanjut menghujani wanita dan anak-anak. Tapi apa itu sukses di daerah konflik. Toh tetap saja ada ada banyak perempuan dan anak-anak di bumi pertiwi ini yang jadi korban.
Para laki-laki Indonesia. Dengan mudahnya menggali kapak perang. Demi alasan kekuasaan yang secuil. Atas nama tuhan yang mereka sebut penyayang. Demi kebanggan laki-laki mereka. Yang tanpa malu, menyandang predikat dewasa di balik topeng kelakian mereka.
Sementara, anak-anak mereka. Generasi Indonesia mendatang. Hatinya disayat-sayat benci. Menyaksikan ayah-ayah mereka, pergi ke medan laga. Bertempur atas sebuah nama yang diragukan keabsahannya. Dengan niat satu, menghancurkan seorang ayah dari anak yang hatinya disayat-sayat benci pula.
Apa kabar anak-anak itu? Yaa, apa kabar anak-anak korban perang di bumi pertiwi itu?
Ahh, hari itu saya terlalu banyak bertanya. Jaket saya rapatkan. Menerobos angin dingin kota Amsterdam. Jalan kaki dibawah daun yang jatuh lalu beterbangan. Mencari makanan.
Saya lapar. Dan nampaknya saya masuk kategori orang Cilincing nomor dua. Yang ketika lapar… Terlalu banyak bertanya.
Februari 25, 2008 at 12:37 am
Kabar anak-anak itu..menyedihkan. Kini mereka mewarisi kebencian dan dendam dalam nadi dan setiap hela nafas.
Mereka berbaris meratap tembok-tembok beton kota, meratap diatas tanah desa yang habis diterjang longsor, lumpur dan bencana. Mereka kurus dan direbut masadepannya oleh keluarga Raja, Keluarga Saudagar, dan para loyalis Orde Baru!.
Anak-anak ini kini berbisik, lirih dan sedikit bisik..
Kami butuh pendidikan yang membebaskan diri..
Kami butuh pendidikan seksual untuk mengenal diri kami…bahwa kami bukanlah sebuas hewan ..
Kami butuh pendidikan agar kami bisa menegakkan keadilan…
Kami butuh Indoenesia yang sehat…
Kami butuh cinta bukan kekerasan…
Kami anak-anak yang terpinggirkan, sedang menghimpun kekuatan..
Februari 25, 2008 at 1:45 am
“Kemana anak – anak itu ?”
Sebuah pertanyaan dari Cak Nun
——-
Di buku apa? Wah saya telat info.
Februari 25, 2008 at 2:02 am
Ga usah di daerah konflik bang. Saya yang anak mami di daerah damai, di sekolah juga dapat pelajaran untuk membenci orang yang beragama lain.
Terlalu mudah orang mengangkat parang, itu pasti karena pendidikannya juga mengajarkan begitu.
Februari 25, 2008 at 2:03 am
Bang
aibaip, sayah melupakeun soal lapar.Lalu, apa nyang harus kita perbuwat untuk anak-anak Indon ini ???
Mangsud sayah, nyang di Sierra Leon kan ada pekerja sosial nyang mau ngasuh.
Kalok nyang di Indon gimana yah….???
—–
Setahu saya, ada Yayasan Nurani Dunia nya Pak Imam (Imam Prasodjo) dan Pesantren Ibnu Sina di Tasikmalaya. Kalau yang dari Aceh, ada beberapa di Rumah Singgah Anak Jalanan Rumah Bambu, Mas Mbel.
Silahkan meluncur ke TKP apabila berminat membantu.
Februari 25, 2008 at 2:23 am
Nambah: DPR lagi mewacanakan untuk nambah biaya pendidikan agama, motong dari APBD/n. Bukannya memperkuat pendidikan budi pekerti, malah mendanai pengkotak2an.
Kalau ajaran kebencian masih dipertahankan, hanya soal waktu sebelum lahir banyak noah disini, bukan didoping brown2, tapi janji surga.
Apakah saya berlebihan?
—–
Nggak, Mas Teguh. Nggak berlebihan. Tapi nampaknya memang perlu dimonitoring juga itu penyaluran dananya. Kalau cuma buat beli kitab suci dan meja kursi mah ga papa. Biar pada pinter bahasa asing. Agar bisa ngebela TKW yang diperkosa. Tapi kalau dipakai buat menumbuhkan bibit benci. Yaa kita lawan.
Februari 25, 2008 at 4:07 am
Kasian….
Februari 25, 2008 at 4:42 am
Anak2 itu masih berperang, Bang. Melawan dirinya sendiri. Melawan perasaannya dan frustasi yang bersarang di kepala.
—-
Menarik. Sudah pernah bertemu dengan anak-anak korban perang, Mbak?
Februari 25, 2008 at 5:49 am
Saya pernah berakrab-akrab dengan anak2 Aceh pasca Tsunami, dan benar yang dikatakan mas Andri. Anak-anak itu butuh bahkan mereka haus akan pendidikan, rasa cinta dan damai.
——
Pernah niat menulis pengalamannya ketika berakrab-akrab dengan anak-anak Aceh pasca tsunami, Mas? Kalau mau, silahkan ngeblog yaa. Kalau ndak mau ngeblog, silahkan berbagi disini juga tidak apa-apa. Saya bangga dapat bagian seperti ini.
Februari 25, 2008 at 7:57 am
anak2 itu? mereka sibuk memelihara dendam, kekerasan, dan konflik yang diwariskan orang2 dewasa. sebesar apapun keinginan mereka hidup damai, mereka ga akan pernah diberi kesempatan 😦
———-
Wah ada linknya, Mbak. Ketika mereka gagal mendapat kesempatan karena terjegal?
Februari 25, 2008 at 11:23 am
Mungkin bisa lihat ini dulu, Perang yang melibatkan Tentara Anak
http://www.watch-movies.net/movies/voces_inocentes/
Februari 25, 2008 at 11:43 am
Dendam seorang anak bisa bersifat seumur hidup jika tak mendapat penyelamatan dan pencerahan. Saya ingat ibu teman saya, yang orang asli Minang, dan saat PRRI semua anak laki-laki dan suami habis dipenggal tentara di depan matanya. Saat itu, sambil sedih, ibunya bilang…”Anakku jangan sampai kawin dengan suku J” Suku J dianggap sebagai suku yang bertanggung jawab atas peperangan di Minangkabau.
Betapa sedihnya, padahal tak semua orang dari suku J adalah jahat.
—-
Benar Bu. Dendam yang dipupuk sejak kanak-kanak memang amat berbahaya. Dan lebih bahaya lagi kalau saya membiarkannya. Maka itu, ditulislah postingan kali ini.
Mengenai tentara suku J. Kata Snouck Hourgronye, pemerintah kolonial belanda suka sekali mengambil tentara dari suku J. Sebab mereka itu pendiam, penurut, namun tangguh di segala medan. Dan satu lagi, mereka mudah disuruh-suruh untuk berbuat sadis.
Februari 25, 2008 at 1:57 pm
Lha, Amsterdam apa Cilincing, sih ? 😆
Susahnya jadi anak. Kalau sial, mereka kena doktrin untuk memerangi ini-itu. Kampret. Orang tua seperti itu memang terlalu fanatik dengan hal – hal yang absurd.
——-
Bener Debe. Kasian anaknya euy.
BTW, saya anak cilincing yang suka kesasar. Jadi suka menclak-menclok sembarangan. Mirip kakatua. Hehe
Februari 26, 2008 at 7:49 am
Barusan di Banjarmasin, ada anak SD ditangkap gara-gara disuruh bapaknya nganter narkoba…
Konflik ekonomi, sosial, hukum, jadi satu diberita ini…
—————–
Ada linknya? Saya googling belum ketemu. Kejadiannya baru yaa?
Februari 26, 2008 at 3:21 pm
lapar , tambah lapar baca postingan ini
tapi dengan lapar semakin banyak mikir , semakin banyak nanya , semakin berjuang buat ngilangin lapar .
itu pesan ibu saya , sebab kalo kenyang malah terbuai dan bawaannya selalu terlena dan tertidur
lapar , aku jadi lapar
——–
Salam untuk Ibu dan anggota keluarga anda lainnya.
Februari 26, 2008 at 4:01 pm
hmm..
Februari 26, 2008 at 5:05 pm
semoga mrk tdk tersesat dan disesatkan..
krn sdh banyak yg hal buruk yg mrk alami..
ditambah lagi contoh buruk para pendahulunya sekarang.. 😦
—-
Tugas kita agar tidak menambah banyak orang yang makin tersesat.
Februari 27, 2008 at 9:22 am
Terima kasih atas supportnya, Mas Arif. Kapan2 saya tulis di blog saya kalo sudah mantep. Maklum masih newbie di dunia per-blog-an. Hwehehe…
—-
Selamat menuliskan kisah-kisah hidup anda, Mas Teno (Itupun kalau anda mau, loh. Kalau tidak, jangan dipaksa). Dans elamat datang di kancah perblogan Indonesia.
Maret 21, 2008 at 12:02 pm
Kalau itu anak tidak berubah. Mungkin besarnya si Ishmael itu akan jadi the next Amrozy. Bukan begitu Bang?
Dan nampaknya d luar sana,d daerah konflik perang,masih ada banyak calon bomber bomber yang diajari untuk jadi pembunuh berdarah dingin
September 4, 2008 at 10:17 am
Anak itu kalo dibiarin aja mungkin bisa jadi kaya Tibo cs, ya mas? Pembantai massal. Saya pribadi kurang suka dengan PBB, karna hanya menjadi alat2 politik barat utk menebar perang dimana2 trmasuk afrika. Katanya menjaga perdamaian, tp lìhat afrika, lihat irak . PBB itu bullshit
Oktober 10, 2008 at 4:30 am
[…] agak fast-reading). Terharu…membaca blog orang yang sudah banyak sekali pengalamannya (Cilincing-Bali-Eropa…ada lagi?), merasakan pahit dan pahitnya (maaf, buat aku kebanyakan isi […]