Belum pernah saya begitu banyak menerima hate speech (berupa email) sebanyak akhir-akhir ini. Khayalan iseng saya terdahulu, soal partai internet, menuai badai.

Padahal saya tidak berencana menanam angin ketika menulis artikel tersebut. Hehehe.

Rupa-rupanya, banyak orang yang tidak suka saya menulis tulisan yang berbau politis. Banyak orang yang tidak suka politik. Katanya beberapa gelintir pengirim email, ‘Politik itu haram!’.

Tulisan saya, soal partai internet banyak yang menanggapi. Saya kaget juga. Khayalan iseng itu berbuah pertanyaan, tanggapan, sanjungan, cemoohan hingga akhiran -an -an lainnya.

Secara sadar, komentar pada tulisan itu tidak saya jawab.

Agak berbeda memang. Sebab saya biasanya selalu membalas komentar. Alasannya simpel saja. Sebab tulisan itu benar-benar imajinatif. Setiap orang berhak melemparkan imajinasinya disana. Entah itu sopan maupun tidak.

Biar saja. Dibebaskan saja imajinasi yang ada. Seliar-liarnya. Sebab adakah sesuatu yang lebih liar daripada imajinasi? Biar lah publik yang menilai.

Akibat tidak dibalasnya komentar-komentar, banyak yang mengirimkan email.

Beberapa orang menulis email yang bahkan mirip senada (walaupun IP adress-nya jauh sekali berbeda). Kata mereka adalah bahwa politik itu tidak dibenarkan dalam beberapa agama. Demokrasi hukumnya haram (merujuk pada ini). Kata mereka pula, mengajarkan politik demokrasi pada masyarakat, sama saja dengan menyiarkan syiar fitnah.

Sambil senyam-senyum, saya balas satu-satu email tersebut. Diantaranya adalah, “Setiap orang boleh mengaku utusan tuhan, tapi bukankah masyarakat yang menentukan ia akan dipercaya sebagai nabi atau tidak? Itu kan demokrasi murni. Apa tanggapan anda?

Selain email berisi kebencian (*caci makinya saya sensor, hehe*), banyak juga email yang berisi pertanyaan. Ada seorang pembaca, dari sebuah daerah di Jawa Tengah, menulis dengan amat menarik. Pertanyaan beliau adalah;

Kang. Saya kira panjenengan ini ndak main politik-politikan. Ndak taunya kok yaa main politik. Apa ini kartu as panjenengan. Suka bicara soal rakyat. Tapi sekarang apa mau moroti suara rakyat?

Saya tersenyum lebar membacanya.

Alih-alih menjawab surat itu. Saya malah teringat seorang dai terkenal yang berpoligami. Loh ada apa dengan Da’i poligami? Apa hubungannya dengan politik?

Begini ceritanya;

Beberapa waktu lalu, saya mendengar siaran radio streaming. Ada Da’i yang berpoligami diwawancarai. Perbincangan dengan Da’i tersebut menarik sekali.

Ada bagian (yang kalau saya tidak salah tangkap. Kalau salah, maap. Hehe) isinya adalah cerita tentang seseorang tokoh masyarakat yang datang menasehati sang Da’i agar tetap ‘sukses dicintai warga’. Yaitu, jangan poligami dan jangan main politik.

Sang Da’i tersebut, santai saja menanggapi nasihat sang tokoh masyarakat.

Saya, tidak akan membahas apa kata sang Da’i di tulisan kali ini. Tidak pula membahas tindakan Sang Da’i. Apalagi menghakimi beliau. Tidak. Sama sekali tidak. Memangnya saya siapa, menghakimi orang sembarangan? Saya bukan orang suci. Dan saya tidak pernah ikut sekolah hakim, baik hakim yudisial maupun hakim garis. Hehe.

Tapi saya akan membahas nasihat sang tokoh masyarakat (*walaupun saya bukan lah si tokoh itu*). Yaitu, mengapa jangan berpoligami dan jangan bermain politik agar tetap ‘sukses dicintai warga’?

Kenapa? Kok bisa-bisanya beliau ngomong begitu? Mari kita bahas.  (*Anda boleh setuju, boleh juga tidak. Silahkan saja*)

1. Popularitas Poligami

Pertama, saya tidak akan membahas pro kontra poligami. Sudah cukup banyak tulisan yang membahas hal ini, baik dari segi agama, adat hingga hukum pemerintahan. Baik mendukung maupun menolak, sama banyaknya. Saya tidak ingin menambahkan. Ilmu saya tidak cukup.

Saya hanya akan membahas (tentu saja pakai kacamata pribadi, subjektif), mengapa poligami tidak populer;

A. Poligami tidak populer di kalangan Ibu-ibu

Yahh, kali ini mah jelas. Ada satu hukum yang berlaku di kalangan wanita. Hukum ini tidak tertulis. Tapi dianut oleh sebagian besar wanita di Indonesia, yaitu “Aku tak rela jikalau aku dimadu”

Jangankan wanita, waria saja tidak rela dimadu (*mohon pembaca waria mengkonfirmasi kebenaran teori ini*).

Coba anda bayangkan, jika suatu hari Sang Bapak tiba-tiba pamitan pada istrinya, “Mbune, aku kok yaa kepingin macul lagi di sawah sebelah yang mbecek mblebes. Hmhh… begini… Maksudku, janda sebelah rumah kita itu kasihan yaa. Bagimana kalau aku kawini?

Lalu Sang Ibu, berteriak histeris, “Ooh Mamah Ooh Papah! Pakne, betapa teganya dirimu… Sungguh teganya… Teganya… Teganya… Ooohhh, kepada diriku. Dulu kau berlutut di kakiku, tuk mengharapkan cintaku. Tapi kini… Setelah aku mbrojoli tujuh bocah dan durenku sudah ngglewer-nggelewer. Ahhh, kau berpaling kepadanya“.

Lalu, Sang Ibu tentu saja sakit hati. Patah arang.

Dan kelebihannya Ibu-ibu dibandingkan makhluk lainnya adalah, solidaritas mereka tinggi dalam menyampaikan kabar antar tetangga. Dan jelas akan membuat popularitas Sang Bapak yang berpoligami langsung turun drastis di tingkat RT/RW.

B. Poligami tidak populer di kalangan Bapak-bapak

Begini, jika ada seorang suami yang melakukan poligami, biasanya ia akan cerita ke temannya. Teman yang dipercaya. Biasanya laki-laki juga. Jarang seorang suami berpoligami cerita-cerita bahwa ia berpoligami pada teman wanitanya. Kenapa? Jawabannya ada poin A diatas. Hehe.

Ketika Sang Suami ini cerita pada temannya, akan terjadi hukum aksi reaksi.

Dan reaksi yang akan terjadi adalah;
– Teman yang diceritakan cuek saja.
– Teman yang diceritakan antipati.
– Teman yang diceritakan ternyata juga kepingin kawin lagi.

Kalau hanya cuek dan antipati, yaa tidak masalah. Tapi bagaimana kalau sang teman, yang juga sesama pria, ikut-ikut mencari lahan sawah mbecek mbelebes (*iih, apa sih arti mbecek mbelebes?*). Maaf, begini maksud saya, gimana kalau sang teman ikut serta berburu harta karun yang tidak di dalam tanah, yaitu memburu istri baru?

Konsekuensinya ada dua. Pertama, kalau sang teman sukses, maka Sang Suami yang berpoligami pertama kali, akan dianggap merusak rumah tangga orang lain. Ini berdasarkan versi keluarga sang teman tentunya. Terutama, istri tua sang teman.

Kedua, kalau tidak sukses, ada konsuekensi tambahan. Sang teman akan iri pada suami yang sukses berpoligami. Setiap ia mendengar Sang Suami yang berpoligami, cerita-soal-adegan-suami-istrinya, timbullah kecemburan di dada.

Cemburu, dapat mengakibatkan tidak populer.

Wanita cemburu pada wanita lain, itu biasa.
Wanita cemburu pada pria, itu juga wajar saja.
Tapi kalau pria cemburu pada pria… Aowww?

C. Poligami tidak populer di kalangan anak-anak

Selama ini, orang selalu menganggap urusan poligami hanya menyangkut masalah selangkangan kering yang haus dahaga. Itu tidak sepenuhnya benar.

Aksi poligami, apabila dilakukan oleh seorang kepala keluarga yang mempunyai anak, berpengaruh besar pada psikologis anak.

Contohnya; Anak yang orangtuanya berpoligami (atau berpoliandri) akan menerima pendapat masyarakat yang berbeda. Mulai dari reaksi temannya yang bertanya-tanya. Atau ketika ia main ke rumah temannya lalu diinterogasi ibu sang teman. Atau melihat mamanya, sang istri tua, jadi sering melamun.

Apabila dilakukan oleh tokoh masyarakat, dampaknya bukan hanya pada sang tokoh. Melainkan juga pada keluarga sang tokoh. Pandangan publik yang menghakimi, juga di terima sebagai beban psikologis keluarga.

Jika Sang Suami berpoligami atau Sang Istri yang dimadu bisa menerima itu semua, bagaimana dengan reaksi anak?

Pengalaman dan beban yang diterima oleh anak pelaku poligami biasanya luput dari jangkauan. Beberapa orang anak, bahkan mengidap kebencian pada orangtuanya yang berpoligami (*dan dibawa terus hingga dewasa*). Karena reaksi tak adil masyarakat yang ternyata harus mereka tanggung.

Walaupun anak-anak bukan pelaku poligami, tetap saja poligami tidak populer di kalangan anak-anak.

Ok, cukup sekian dulu membahas popularitas poligami di kalangan suami, istri dan anak. Sekarang saya akan membahas soal popularitas politik di kalangan warga RI.

Kok yaa bisa-bisanya politik demokrasi di cap haram? Dan mengapa pula membicarakan politik itu tabu? Mari kita bahas dalam bagian ini;

2. Popularitas politik

Aristoteles, seorang filsuf Yunani, mengemukakan sebuah teori klasik yang menarik. Beliau bilang, ‘politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama’.

Pendapat ini, diamini oleh banyak orang-orang pintar setelah beliau. Diantaranya adalah Thomas Aquinas hingga dalam buku fiqih Bidayat Al-Mujtahid karya Ibnu Rasyid (Averroes).

Namun ditentang habis-habisan oleh Machiavelli dalam buku Il Principe (Sang Pangeran).

Machiavelli berpendapat, bahwa kekuasaan itu harus langgeng. Harus stabil. Ajek dan terjaga. Segala tindakan-tindakan untuk melindungi negara, betapapun kejamnya, dapat dibenarkan. Apa saja harus dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan. Dan Il Principe, sang pangeran penguasa, tidak boleh dibenci karena berbuat demikian.

Machiavelli, berkata begitu karena pengalaman. Apa adanya. Tidak dibuat-buat. Sebab awal-awal tahun 1500-an Firenze, Italia,  masa ia hidup dan berkuasa, kekisruhan memang mewarnai monarki.

Ia tumbuh menjadi seorang politisi yang paling berpengaruh di Eropa setelah kekacauan di Firenze itu terlewati.

Dalam menjawab pertanyaan “whether it be better to be loved than feared or feared than loved?“, dicintai-atau-ditakuti, Machiavelli berpendapat bahwa seseorang pemimpin atau politisi tidak bisa memanggul kedua beban itu. Harus dipilih salah satu. Dan ditakuti adalah jawaban yang paling cocok untuk menjaga kekuasaan agar tetap langgeng dan stabil.

Republik Indonesia masa 1966-1998, adalah sebuah contoh kepemimpinan ala Machiavelli.

Pada masa tersebut, takut, adalah senjata utama untuk mempertahankan kekuasaan. Untuk membuat masyarakat menjadi takut, disebarkanlah teror kepada warga.

Bagimana teror itu bekerja;

– Pengulangan memori.
Setiap tahun, harus ada cara agar ingatan masyarakat tetap di jaga. Contohnya adalah film kekerasan berlumur darah pada bulan September. Pada benak orangtua, ditanamkan dogma, bahwa menyuruh anak-anak mereka menonton film kekerasan adalah sikap nasionalisme. Kebanggaan. Cinta negara.

Militerisme.
Pada benak rakyat, ditanamkan sebuah ide bahwa rezim yang berkuasa di dukung oleh militer. Jadi, kalau rakyat macam-macam, maka mereka akan berhadapan dengan bedil dan peluru. Maka itu, cukup digelar parade senjata setiap tahun, maka pada benak warga akan tertanam 4M yaitu “Macam-macam? Mau Modar!

– Demokrasi topeng.
Namanya demokrasi, yaa suara rakyat. Dan suara rakyat itu tidak selamanya merdu. Sebab memang tidak semua rakyat hidupnya bahagia. Maka itu, agar merdu, dibentuklah demokrasi topeng. Dimana pemilihan umum dilangsungkan setiap lima tahun, namun yang dipilih itu-itu juga orangnya. Apabila ada suara rakyat yang tidak merdu, dibungkam. Caranya; si empunya suara dibunuh atau dihilangkan.

– Bekerja sama dengan tokoh agama
Ini penting sekali. Untuk menguasai negara yang rakyatnya mayoritas relijius, harus menguasai kepala ajengan mereka. Mengapa? Gampang jawabnya, yaitu agar rakyat mudah dikendalikan.

Rakyat yang marah dan merasa kalah setelah tidak sanggup berhadapan dengan bedil dan peluru, akan mengadu pada guru agama mereka. Dan guru tersebut, sesuai dengan ajaran cinta kasih (yang dipolitisir), akan memberikan lebih dari sejuta pompa sabar. Agar rakyat tidak melawan penguasanya.

– Bisik-bisik
Ternyata gosip adalah isu ampuh untuk menjaga ketentraman warga. Maka itu, disebarkanlah bisik-bisik seperti di tahun 80-an, ‘Jangan tatoan. Mati kamu nanti‘. Atau bisa pula, ‘Jangan nyoblos partai anu, nanti dipecat‘. Atau bisa pula, ‘Jangan ngomongin politik pemerintah. Sudah hidup damai-damai saja. Yang penting bisa makan. Bisa bikin anak. Cukup

Setelah tahun 1998, dimana ada peristiwa luar biasa di Republik Indonesia tengah terjadi, kepemimpinan ala Machiavelli dipertanyakan. Apakah itu yang cocok buat warga republik tercinta?

Beberapa orang kebingungan. Ada yang merindukan pola lama, yang stabil di permukaan namun bergolak di dalam. Ada pula yang berkata terang-terangan, butuh format baru.

Namun yang pasti, akibat pengaruh teror itu belum hilang juga. Wajar saja. Ini yang disebut post-trauma pada korban.

Contoh; Simpanse yang bekerja di sirkus, dicambuki kalau salah dan diberi kacang kalau bisa salto bejingkrakan. Jika suatu hari ia dilepas di alam bebas, apa reaksinya? Jelas kebingungan. Padahal ia justru berada dalam habitat yang melahirkannya. Ini lah contoh nyata post-trauma pada korban.

Maka itu, ketika ada yang masih trauma bicara politik… Yaa, kita biarkan saja. Toh semua ini masih dalam proses. Umur Indonesia masih muda. Kemerdekaan yang diperoleh warga pada 21 Mei 1998 begitu banyak menguras jiwa, hati dan tenaga.

Maka itu, kita biarkan saja semua ini sekarang berproses.

Lalu, bagaimana dengan hate speech? Bagaimana dengan kebebasan berpendapat yang disalahgunakan? Jawabnya gampang; Kita biarkan saja masyarakat yang menilai. Hati-hati, warga itu tidak bodoh, loh. Siapa saja bebas berbicara, namun pasti nanti akan memikul akibatnya.

Bukankah ada sebuah masa, ketika setiap jiwa akan mempertanggungjawabkan perbuatannya?