Belum pernah saya begitu banyak menerima hate speech (berupa email) sebanyak akhir-akhir ini. Khayalan iseng saya terdahulu, soal partai internet, menuai badai.
Padahal saya tidak berencana menanam angin ketika menulis artikel tersebut. Hehehe.
Rupa-rupanya, banyak orang yang tidak suka saya menulis tulisan yang berbau politis. Banyak orang yang tidak suka politik. Katanya beberapa gelintir pengirim email, ‘Politik itu haram!’.
Tulisan saya, soal partai internet banyak yang menanggapi. Saya kaget juga. Khayalan iseng itu berbuah pertanyaan, tanggapan, sanjungan, cemoohan hingga akhiran -an -an lainnya.
Secara sadar, komentar pada tulisan itu tidak saya jawab.
Agak berbeda memang. Sebab saya biasanya selalu membalas komentar. Alasannya simpel saja. Sebab tulisan itu benar-benar imajinatif. Setiap orang berhak melemparkan imajinasinya disana. Entah itu sopan maupun tidak.
Biar saja. Dibebaskan saja imajinasi yang ada. Seliar-liarnya. Sebab adakah sesuatu yang lebih liar daripada imajinasi? Biar lah publik yang menilai.
Akibat tidak dibalasnya komentar-komentar, banyak yang mengirimkan email.
Beberapa orang menulis email yang bahkan mirip senada (walaupun IP adress-nya jauh sekali berbeda). Kata mereka adalah bahwa politik itu tidak dibenarkan dalam beberapa agama. Demokrasi hukumnya haram (merujuk pada ini). Kata mereka pula, mengajarkan politik demokrasi pada masyarakat, sama saja dengan menyiarkan syiar fitnah.
Sambil senyam-senyum, saya balas satu-satu email tersebut. Diantaranya adalah, “Setiap orang boleh mengaku utusan tuhan, tapi bukankah masyarakat yang menentukan ia akan dipercaya sebagai nabi atau tidak? Itu kan demokrasi murni. Apa tanggapan anda?”
Selain email berisi kebencian (*caci makinya saya sensor, hehe*), banyak juga email yang berisi pertanyaan. Ada seorang pembaca, dari sebuah daerah di Jawa Tengah, menulis dengan amat menarik. Pertanyaan beliau adalah;
“Kang. Saya kira panjenengan ini ndak main politik-politikan. Ndak taunya kok yaa main politik. Apa ini kartu as panjenengan. Suka bicara soal rakyat. Tapi sekarang apa mau moroti suara rakyat?”
Saya tersenyum lebar membacanya.
Alih-alih menjawab surat itu. Saya malah teringat seorang dai terkenal yang berpoligami. Loh ada apa dengan Da’i poligami? Apa hubungannya dengan politik?
Begini ceritanya;
Beberapa waktu lalu, saya mendengar siaran radio streaming. Ada Da’i yang berpoligami diwawancarai. Perbincangan dengan Da’i tersebut menarik sekali.
Ada bagian (yang kalau saya tidak salah tangkap. Kalau salah, maap. Hehe) isinya adalah cerita tentang seseorang tokoh masyarakat yang datang menasehati sang Da’i agar tetap ‘sukses dicintai warga’. Yaitu, jangan poligami dan jangan main politik.
Sang Da’i tersebut, santai saja menanggapi nasihat sang tokoh masyarakat.
Saya, tidak akan membahas apa kata sang Da’i di tulisan kali ini. Tidak pula membahas tindakan Sang Da’i. Apalagi menghakimi beliau. Tidak. Sama sekali tidak. Memangnya saya siapa, menghakimi orang sembarangan? Saya bukan orang suci. Dan saya tidak pernah ikut sekolah hakim, baik hakim yudisial maupun hakim garis. Hehe.
Tapi saya akan membahas nasihat sang tokoh masyarakat (*walaupun saya bukan lah si tokoh itu*). Yaitu, mengapa jangan berpoligami dan jangan bermain politik agar tetap ‘sukses dicintai warga’?
Kenapa? Kok bisa-bisanya beliau ngomong begitu? Mari kita bahas. (*Anda boleh setuju, boleh juga tidak. Silahkan saja*)
1. Popularitas Poligami
Pertama, saya tidak akan membahas pro kontra poligami. Sudah cukup banyak tulisan yang membahas hal ini, baik dari segi agama, adat hingga hukum pemerintahan. Baik mendukung maupun menolak, sama banyaknya. Saya tidak ingin menambahkan. Ilmu saya tidak cukup.
Saya hanya akan membahas (tentu saja pakai kacamata pribadi, subjektif), mengapa poligami tidak populer;
A. Poligami tidak populer di kalangan Ibu-ibu
Yahh, kali ini mah jelas. Ada satu hukum yang berlaku di kalangan wanita. Hukum ini tidak tertulis. Tapi dianut oleh sebagian besar wanita di Indonesia, yaitu “Aku tak rela jikalau aku dimadu”
Jangankan wanita, waria saja tidak rela dimadu (*mohon pembaca waria mengkonfirmasi kebenaran teori ini*).
Coba anda bayangkan, jika suatu hari Sang Bapak tiba-tiba pamitan pada istrinya, “Mbune, aku kok yaa kepingin macul lagi di sawah sebelah yang mbecek mblebes. Hmhh… begini… Maksudku, janda sebelah rumah kita itu kasihan yaa. Bagimana kalau aku kawini?”
Lalu Sang Ibu, berteriak histeris, “Ooh Mamah Ooh Papah! Pakne, betapa teganya dirimu… Sungguh teganya… Teganya… Teganya… Ooohhh, kepada diriku. Dulu kau berlutut di kakiku, tuk mengharapkan cintaku. Tapi kini… Setelah aku mbrojoli tujuh bocah dan durenku sudah ngglewer-nggelewer. Ahhh, kau berpaling kepadanya“.
Lalu, Sang Ibu tentu saja sakit hati. Patah arang.
Dan kelebihannya Ibu-ibu dibandingkan makhluk lainnya adalah, solidaritas mereka tinggi dalam menyampaikan kabar antar tetangga. Dan jelas akan membuat popularitas Sang Bapak yang berpoligami langsung turun drastis di tingkat RT/RW.
B. Poligami tidak populer di kalangan Bapak-bapak
Begini, jika ada seorang suami yang melakukan poligami, biasanya ia akan cerita ke temannya. Teman yang dipercaya. Biasanya laki-laki juga. Jarang seorang suami berpoligami cerita-cerita bahwa ia berpoligami pada teman wanitanya. Kenapa? Jawabannya ada poin A diatas. Hehe.
Ketika Sang Suami ini cerita pada temannya, akan terjadi hukum aksi reaksi.
Dan reaksi yang akan terjadi adalah;
– Teman yang diceritakan cuek saja.
– Teman yang diceritakan antipati.
– Teman yang diceritakan ternyata juga kepingin kawin lagi.
Kalau hanya cuek dan antipati, yaa tidak masalah. Tapi bagaimana kalau sang teman, yang juga sesama pria, ikut-ikut mencari lahan sawah mbecek mbelebes (*iih, apa sih arti mbecek mbelebes?*). Maaf, begini maksud saya, gimana kalau sang teman ikut serta berburu harta karun yang tidak di dalam tanah, yaitu memburu istri baru?
Konsekuensinya ada dua. Pertama, kalau sang teman sukses, maka Sang Suami yang berpoligami pertama kali, akan dianggap merusak rumah tangga orang lain. Ini berdasarkan versi keluarga sang teman tentunya. Terutama, istri tua sang teman.
Kedua, kalau tidak sukses, ada konsuekensi tambahan. Sang teman akan iri pada suami yang sukses berpoligami. Setiap ia mendengar Sang Suami yang berpoligami, cerita-soal-adegan-suami-istrinya, timbullah kecemburan di dada.
Cemburu, dapat mengakibatkan tidak populer.
Wanita cemburu pada wanita lain, itu biasa.
Wanita cemburu pada pria, itu juga wajar saja.
Tapi kalau pria cemburu pada pria… Aowww?
C. Poligami tidak populer di kalangan anak-anak
Selama ini, orang selalu menganggap urusan poligami hanya menyangkut masalah selangkangan kering yang haus dahaga. Itu tidak sepenuhnya benar.
Aksi poligami, apabila dilakukan oleh seorang kepala keluarga yang mempunyai anak, berpengaruh besar pada psikologis anak.
Contohnya; Anak yang orangtuanya berpoligami (atau berpoliandri) akan menerima pendapat masyarakat yang berbeda. Mulai dari reaksi temannya yang bertanya-tanya. Atau ketika ia main ke rumah temannya lalu diinterogasi ibu sang teman. Atau melihat mamanya, sang istri tua, jadi sering melamun.
Apabila dilakukan oleh tokoh masyarakat, dampaknya bukan hanya pada sang tokoh. Melainkan juga pada keluarga sang tokoh. Pandangan publik yang menghakimi, juga di terima sebagai beban psikologis keluarga.
Jika Sang Suami berpoligami atau Sang Istri yang dimadu bisa menerima itu semua, bagaimana dengan reaksi anak?
Pengalaman dan beban yang diterima oleh anak pelaku poligami biasanya luput dari jangkauan. Beberapa orang anak, bahkan mengidap kebencian pada orangtuanya yang berpoligami (*dan dibawa terus hingga dewasa*). Karena reaksi tak adil masyarakat yang ternyata harus mereka tanggung.
Walaupun anak-anak bukan pelaku poligami, tetap saja poligami tidak populer di kalangan anak-anak.
Ok, cukup sekian dulu membahas popularitas poligami di kalangan suami, istri dan anak. Sekarang saya akan membahas soal popularitas politik di kalangan warga RI.
Kok yaa bisa-bisanya politik demokrasi di cap haram? Dan mengapa pula membicarakan politik itu tabu? Mari kita bahas dalam bagian ini;
2. Popularitas politik
Aristoteles, seorang filsuf Yunani, mengemukakan sebuah teori klasik yang menarik. Beliau bilang, ‘politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama’.
Pendapat ini, diamini oleh banyak orang-orang pintar setelah beliau. Diantaranya adalah Thomas Aquinas hingga dalam buku fiqih Bidayat Al-Mujtahid karya Ibnu Rasyid (Averroes).
Namun ditentang habis-habisan oleh Machiavelli dalam buku Il Principe (Sang Pangeran).
Machiavelli berpendapat, bahwa kekuasaan itu harus langgeng. Harus stabil. Ajek dan terjaga. Segala tindakan-tindakan untuk melindungi negara, betapapun kejamnya, dapat dibenarkan. Apa saja harus dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan. Dan Il Principe, sang pangeran penguasa, tidak boleh dibenci karena berbuat demikian.
Machiavelli, berkata begitu karena pengalaman. Apa adanya. Tidak dibuat-buat. Sebab awal-awal tahun 1500-an Firenze, Italia, masa ia hidup dan berkuasa, kekisruhan memang mewarnai monarki.
Ia tumbuh menjadi seorang politisi yang paling berpengaruh di Eropa setelah kekacauan di Firenze itu terlewati.
Dalam menjawab pertanyaan “whether it be better to be loved than feared or feared than loved?“, dicintai-atau-ditakuti, Machiavelli berpendapat bahwa seseorang pemimpin atau politisi tidak bisa memanggul kedua beban itu. Harus dipilih salah satu. Dan ditakuti adalah jawaban yang paling cocok untuk menjaga kekuasaan agar tetap langgeng dan stabil.
Republik Indonesia masa 1966-1998, adalah sebuah contoh kepemimpinan ala Machiavelli.
Pada masa tersebut, takut, adalah senjata utama untuk mempertahankan kekuasaan. Untuk membuat masyarakat menjadi takut, disebarkanlah teror kepada warga.
Bagimana teror itu bekerja;
– Pengulangan memori.
Setiap tahun, harus ada cara agar ingatan masyarakat tetap di jaga. Contohnya adalah film kekerasan berlumur darah pada bulan September. Pada benak orangtua, ditanamkan dogma, bahwa menyuruh anak-anak mereka menonton film kekerasan adalah sikap nasionalisme. Kebanggaan. Cinta negara.
– Militerisme.
Pada benak rakyat, ditanamkan sebuah ide bahwa rezim yang berkuasa di dukung oleh militer. Jadi, kalau rakyat macam-macam, maka mereka akan berhadapan dengan bedil dan peluru. Maka itu, cukup digelar parade senjata setiap tahun, maka pada benak warga akan tertanam 4M yaitu “Macam-macam? Mau Modar!”
– Demokrasi topeng.
Namanya demokrasi, yaa suara rakyat. Dan suara rakyat itu tidak selamanya merdu. Sebab memang tidak semua rakyat hidupnya bahagia. Maka itu, agar merdu, dibentuklah demokrasi topeng. Dimana pemilihan umum dilangsungkan setiap lima tahun, namun yang dipilih itu-itu juga orangnya. Apabila ada suara rakyat yang tidak merdu, dibungkam. Caranya; si empunya suara dibunuh atau dihilangkan.
– Bekerja sama dengan tokoh agama
Ini penting sekali. Untuk menguasai negara yang rakyatnya mayoritas relijius, harus menguasai kepala ajengan mereka. Mengapa? Gampang jawabnya, yaitu agar rakyat mudah dikendalikan.
Rakyat yang marah dan merasa kalah setelah tidak sanggup berhadapan dengan bedil dan peluru, akan mengadu pada guru agama mereka. Dan guru tersebut, sesuai dengan ajaran cinta kasih (yang dipolitisir), akan memberikan lebih dari sejuta pompa sabar. Agar rakyat tidak melawan penguasanya.
– Bisik-bisik
Ternyata gosip adalah isu ampuh untuk menjaga ketentraman warga. Maka itu, disebarkanlah bisik-bisik seperti di tahun 80-an, ‘Jangan tatoan. Mati kamu nanti‘. Atau bisa pula, ‘Jangan nyoblos partai anu, nanti dipecat‘. Atau bisa pula, ‘Jangan ngomongin politik pemerintah. Sudah hidup damai-damai saja. Yang penting bisa makan. Bisa bikin anak. Cukup‘
Setelah tahun 1998, dimana ada peristiwa luar biasa di Republik Indonesia tengah terjadi, kepemimpinan ala Machiavelli dipertanyakan. Apakah itu yang cocok buat warga republik tercinta?
Beberapa orang kebingungan. Ada yang merindukan pola lama, yang stabil di permukaan namun bergolak di dalam. Ada pula yang berkata terang-terangan, butuh format baru.
Namun yang pasti, akibat pengaruh teror itu belum hilang juga. Wajar saja. Ini yang disebut post-trauma pada korban.
Contoh; Simpanse yang bekerja di sirkus, dicambuki kalau salah dan diberi kacang kalau bisa salto bejingkrakan. Jika suatu hari ia dilepas di alam bebas, apa reaksinya? Jelas kebingungan. Padahal ia justru berada dalam habitat yang melahirkannya. Ini lah contoh nyata post-trauma pada korban.
Maka itu, ketika ada yang masih trauma bicara politik… Yaa, kita biarkan saja. Toh semua ini masih dalam proses. Umur Indonesia masih muda. Kemerdekaan yang diperoleh warga pada 21 Mei 1998 begitu banyak menguras jiwa, hati dan tenaga.
Maka itu, kita biarkan saja semua ini sekarang berproses.
Lalu, bagaimana dengan hate speech? Bagaimana dengan kebebasan berpendapat yang disalahgunakan? Jawabnya gampang; Kita biarkan saja masyarakat yang menilai. Hati-hati, warga itu tidak bodoh, loh. Siapa saja bebas berbicara, namun pasti nanti akan memikul akibatnya.
Bukankah ada sebuah masa, ketika setiap jiwa akan mempertanggungjawabkan perbuatannya?
Maret 11, 2008 at 4:24 pm
eh pertama yah
*lupa comment karena belom baca*
Maret 11, 2008 at 4:27 pm
hmmm ternyata menarik yah blogger politik..
ternyata menimbulkan pro kontra.. hehehehe
setidaknya kalo ga mao maen politik ngerti dikitlah tentang politik biar ga dibodohi sama politik hehehhehhe
—-
Usul yang baik, Alma
Maret 11, 2008 at 6:13 pm
Politik itu haram?. Aneh.
Bukankah Politik sangat alamiah, karena setip individu punya kepentingan dan kebutuhan untuk memenuhinya kemudian berubahlah dalam bentuk politik-politik, baik dalam level individu maupun sebagai warga negara.
Kesadaran Politik itu haram, lagi-lagi kalo menurut gw sih itu masih sisa-sisa produk Orde Baru semata, sisa amnesia sejarah yang masih kerap kali mempengaruhi cara pandang terhadap politik sebagai sesuatu yang tak bermoral, jahat, dsb (tapi belajarlah dari negara-negara lain, yang membangun politiknya menjadi sehat dan alat yang paling efektif dalam hidup bernegara kini).
Kalo gw sih percaya, kini, partai politik adalah cara beradab bagi manusia moderen dalam memperjuangakan hak, martabat, dan kesejahteraan bersama.
Apa mau terus menerus memaksakan kehendak pake senjata dan pake kekerasan terus? Mungkin ya? mungkin tidak.
Ip..Bikin partai beneran aja, kondisi udah kritis begini Euy, rakyat miskin tambah sengsara neeh, buang waktu ngurusin orang yang masih beranggapan politik itu haram, halah, kuno lah…
Oia numpang publikasi ya ( hehe) ini terinspirasi dari Partai Internet: http://andricahyadi.blogspot.com/2008/03/berkhayal-punya-partai.html
—-
Thanks Dri.
Kalau cuma satu dua sih gue biarin, Dri. Ini udah parah, email ampe puluhan. Diantaranya, ada bom email malah. Capek juga ngapusin satu-satu. Haha, maka itu bikin postingan curhat kayak gini. Hahaha.
Bikin partai? Haha, berani nya gue masih dalam taraf khayalan men. Haha.
Gue nunggu postingan soal Obama vs Hillary lagi nih. Kalian kan tetangga mereka. Jadi secara ad hominem, gue asumsikan kalian tahu lebih banyak telisik-telisik antara Republikan vs Demokratik. Hehehe
Maret 11, 2008 at 6:49 pm
“jadi politik itu halal apa haram?”
“lho, kan sudah dibilang. biar masyarakat yg menilai…”
“wooo… lha kalo sampeyan, kang? anggota masyarakat to? politik itu halal apa haram?”
“……”
“ayo ngopi nang warung ae. eh, wingi oleh ceperan piro?”
hehehe…
masyarakat maunya hidup damai, lancar cari sandang pangan.
(dan kopi)
😀
salut sama opininya mas.
—-
“ayo ngopi nang warung ae. eh, wingi oleh ceperan piro?”
Hahaha. Bukankah rahasia umum, banyak kasus yang melibatkan warung kopi sebagai awalnya? Hehehe
Maret 11, 2008 at 8:35 pm
*menunggu waria mengkonfirmasi teori Bangaip* 😆
Saya sendiri berpendapat kalau politik itu ilmu/seni untuk memperoleh kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu. Kalau didapat dengan cara yang “bobrok” maka hasilnya juga bobrok, dan kalau digunakan untuk hal-hal yang “busuk’ maka hasilnya juga “busuk”. Kata “Politik” sendiri itu netral atau tak bertendensi, penggunaan dan cara memperolehnya yang sering melenceng.
Tapi ini seperti dilema, bang. Ketika otoritarian dan kediktatoran justru membawa kesejahteraan. Banyak negara yang punya pemimpin “otoriter” tapi bisa membawa kesejahteraan. Sementara banyak juga negara demokrasi tapi selalu rusuh dan tidak sejahtera. Itu terkadang yang membuat demokrasi dipandang hina oleh banyak orang. Apalagi kalau nilai-nilai agama juga masuk didalamnya.
Jadi pertanyaannya jadi sulit : kalau otoritarianisme (agama, ideologi) bisa membawa kesejahteraan, maka bukankah demokrasi dan kebebasan hanya ilusi ? 🙂
Saya sendiri punya jawabannya, tapi nunggu Banaip dulu… 🙂
—-
Jawabannya, ada beberapa versi. Hehehe. Om Fertob silahkan memilih.
1. Versi Romo Mangun (JB Mangunwijaya)
Dalam ‘Puntung-Puntung Rara Mendut’, Romo Mangun bilang bahwa kemerdekaan sejati justru ada ketika seseorang/sesuatu berada diluar lingkup kekuasaan otoritarianisme (Beliau mencontohkan dengan hidup para troubadours)
(*pendapat yang mencengangkan dari seseorang yang dikenal amal dekat dengan gereja. 🙂 *)
2. Versi James Gomez
Dalam buku Internet Politics, Bapak Gomez dengan amat yakin mencontohkan bahwa otoritas internet yang ada di Singapura adalah palsu. Rakyat memang bisa menikmati fasilitas internet berkoneksi 100 mbps, namun ketika mereka hanya membuat poster digital, pemerintah ikut campur. Bahkan beliau sempat membuat pameo yang terkenal itu mengenai Singapur, “In the information age, survaillence is interactive” (Gomez, 2002).
3. Versi Otoritarian dibawah Militer
Di Myanmar saat ini atau Argentina ketika dibawah Videla, mau demokrasi atau junta… tetap saja tidak sejahtera.
4. Versi Otoritarian dibawah kendali agama
Kalau pun Vatikan bisa sukses, lebih merupakan karena bentuknya adalah negara khusus yang dijadikan konsensus oleh negara-negara di dunia. Di UEA, otoritarian menang, sebab rakyat dan oposan dibagikan uang minyak secara demokrasi.
Maap Om, jawabannya baru bisa empat poin. Mungkin ada pembaca yang mau menambahkan. Tapi, ahh, bukankah Om Fertob sudah tahu jawabannya. Hehehe 🙂
Maret 11, 2008 at 8:36 pm
tambahan :
jadi ingat salah seorang pemimpin kita yang mengatakan, demokrasi hanya alat, kesejahteraan yang terutama. dan demokrasi bisa disingkirkan kalau tidak membawa kesejahteraan.
cmiiw…
Maret 11, 2008 at 10:20 pm
Menurut saya nih, apapun bisa haram…tergantung niatnya. Kalo ada yg minta dalil, saya nggak punya.
Karena niat yg bisa tahu cuma Tuhan, saya cuma bisa bersandar kepada keyakinan saya.
Untuk Arif, saya percaya kalaupun memang niat berpolitik (nggak cuma berimajinasi) niatnya baik.
Untungnya kalo Arif berpolitik adalah, akan banyak yg mengawasi. Kenapa? Karena pembaca blognya banyak, dan umumnya pinter-pinter.
Kalopun setelah berpolitik blog ini ditutup, saya yakin orang-orang akan rame-rame menghujat Arif lewat internet kalo Arif berbuat nggak bener.
Kedepannya saya yakin orang akan semakin melek internet, jadi Arif akan makin bisa diawasi.
(*sayangnya itu masih imajinasi*) 🙂
—-
Whaha, saya belum niat nutup blog, Mas.
Maret 11, 2008 at 10:37 pm
wah bangaip makin hari makin dalem aja nih pembahasannya.. hehehehe.. 🙂
—-
Gara-gara makan siangnya ancur, Dho. Hehehe
Maret 12, 2008 at 1:21 am
maap OOT…
PROTES!!!
TULISANNYA TERLALU DALEM DAN TIDAK DAPAT DIMENGERTI OLEH ANAK KECIL SEPERTI SAYA…
lha wong kadang saya masih bingung ngartiin kata POLITIK itu sendiri…
Dulu Kala baca blognya kang Arip bisa menyegarkan pikiran lho…
tapi koq skarang semakin baca semakin mumet dan njelehi (membosankan)
jgn2 ada Udang di balik bakwan dengan Bang Arip ini???
saya hanya menggunakan ASAS PRADUGA TAK BERSALAH (Menduga-duga itu tidak bersalah, jadi kalo misalkan saya menduga-duga Bang Arif itu sedang berpoligami juga tidak bersalah. lha wong namanya asas PRADUGA TAK BERSALAH)
—-
Hehehe, Maap Mas kalau anda tidak mengerti. Silahkan berkunjung ke tetangga-tetangg sebelah saya. Saya yakin, disana banyak juga yang menyegarkan pikiran loh. Inspiratif.
Kalau mengenai asas praduga tak bersalah, saya jadi inget Geoge Orwell yang menulis tentang India (Reflections On Gandhi) dengan amat menarik sekali. Ia menggunakan ASAS BERSALAH HINGGA DITEMUKAN TAK BERSALAH.
Maret 12, 2008 at 3:53 am
ngomong apa yah?
tapi poligami mulai di populerkan (film) Ayat-2 Cinta Lho 🙂
salam ajah dari malang 🙂
hmcahyo.wordpress.com
—-
Salam kembali, Mas Cahyo
Maret 12, 2008 at 5:23 am
salam..
bang, inget kagak si peci miring pernah bilang: “perempuan haram jadi wapres!! ”
eh, ujug2 dah.. die malah jadi wapresnye 🙂
nyambung kagak yah?
*jangan ampe aye punye abang ikutan kjeblos..*
—-
Hahaha. Nyambung banget. Hahaha.
*Saya nggak berani bilang, kalau dia lah tokoh masyarakat pada tulisan kali ini. Sebab buktinya nggak ada sih. Tapi beberapa teman meyakinkan, bahwa tokoh itu adalah beliau*
Maret 12, 2008 at 5:26 am
iyo to !!!!!!!!
wis jelas ke mana mainstream nya bangaip
—-
Maaf, saya tidak mengerti.
Maret 12, 2008 at 5:28 am
Bingung ikut pelatihan calon ayah, trus maksa pembaca blognya ikut bingung dengan tema posting-postingnya, pasti begitu! *mode curiga ON*
Saya sedikit banyak mengenal politik khususnya politik di daerah saya, secara pernah jadi wartawan politik 4 tahun. Kesimpulan yang saya dapat apa? POLITIKUS YANG SAYA KENAL TIKUS SEMUA…
—–
Haha, mode curiganya dimatikan dulu sebentar, Mansup. Kalau nyala terus, nanti korslet. Hahaha.
Saya pribadi tidak bisa menyalahkan anda apabila menilai politikus yang anda kenal tikus semua. Kata beberapa orang teman yang kebetulan ada di posisi tertentu di kerajaan RI di daerah anda, mereka bilang begini “Semua orang maling disini. Yang jadi perbedaan, hasil jarahannya saja”.
Saya sedih sekali mendengar itu semua. Apalagi dari teman yang dulu saya anggap begitu kuat mempertahankan keyakinannya.
Maret 12, 2008 at 5:36 am
bangaip tikus apa bukan ????
—-
Maksudnya?
Maret 12, 2008 at 5:38 am
Sebuah jawaban yang bagus sekali bang, terutama utk yg bilang “demokrasi itu haram”. Itupun kalo yg bilang bukan “pembaca cepat” dan mencerna satu2 kalimat di postingan ini.
Bukankah Tuhan juga memberikan setiap ciptaanNya hak demokrasi?? hak utk menentukan jalan sendiri dan menanggung setiap konsekwensinya?? 🙂
—-
Kadang-kadang, banyak sekali ‘pembaca cepat’ disini, Mas. Ujung-ujungnya, saking marahnya, mereka malah ngebom email saya. Hahaha. Mau berteman dengan Amrozzi, nggak kesampaian beliau, jadi doyan ngebom email orang dengan hate speech.
Kadang saya juga bingung dengan mereka yang hobi melabelkan kafir dan sesat itu pada banyak orang. Kadang-kadang merasa Tuhan hanya milik mereka saja. Hehehe, menarik sekali.
Maret 12, 2008 at 5:50 am
udah dapet konfirmasi dari waria belom bang?
Rasanya ndak ada haram halal dipolitik bang, karna memang politik ndak kenal haram halal. Politik itu lebih ke menang kalah. Siapa menang dia kuasa, siapa kalah ya pulang aja sana hehehe..
—-
Belum.. belum dapat konfirmasi. On Fertob juga nunggu tuh. Satu-satunya yang menyinggung soal waria, yaa Mbak Itikecil. Hehehe.
Soal politik, saya masih bingung sebenarnya soal kalah atau menang. Bukankah selalu ada penguasa dan oposan, yang posisinya harus berimbang?
Saya pikir, kalau kalah, maka mau tidak mau harus membantu yang berkuasa. Tentu saja bukan tunduk di kaki penguasa, melainkan jadi oposan. Jadi, kekuasaan selalu ada yang mengontrol.
Maret 12, 2008 at 10:48 am
bikin dech bang partai yg populer disemua kalangan 😀
—-
Wah nggak mampu saya, Mas. Hehehe.
Dan satu lagi, bikin partai populer itu susah sekali. Sejauh ini, belum ada satupun partai yang mampu mewakili semua kalangan. Tapi itu wajar sih. Sebab berat sekali memang mewakili banyak suara.
Haduh maap, saya OOT nih. Hehe.
Maret 12, 2008 at 11:01 am
jadi bangaip mau bikin partai populer ???
—-
Nggak Mas. Hehehe. Ada-ada aja. Hehehe
Maret 12, 2008 at 11:03 am
Saya sependapat dengan anda,saya tidak menyukai politi karena politik itu sangat kejam, hanya itu saja, komentar saya sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.
—-
Terimakasih sudah berpendapat, Mbak.
Akan lebih baik diberikan contoh kasus, agar kita sama-sama bisa menilainya dari masing-masing sudut pandang.
Maret 12, 2008 at 11:07 am
Beberapa orang kebingungan. Ada yang merindukan pola lama, yang stabil di permukaan namun bergolak di dalam. Ada pula yang berkata terang-terangan, butuh format baru.
bagi bangaip mungkin seperti itu.
bagi rakyat indonesia yg lagi kelaparan, belum tentu begitu. mungkin dulu lebih baik, gampang sandang pangan.
—-
Benar Mas. Pendapat saya ini memang amat subjektif sekali. Dan terimakasih, sudah berbagi.
Maret 12, 2008 at 11:32 am
itu yang bilang politik haram belum selesai ngomong pasti… yang haram itu kan politik uang, pembunuhan politik, politik adu domba dll
bukankah politik sama seperti pisau, bisa untuk motong buah, bisa untuk motong leher.
bukankah Nabi Muhammad juga berpolitik… buktmnya dia mengirim surat diplomasi ke raja2 lain saat itu, bukankah itu juga politik….
tapi… ahhh, siapalah awak ini ngomongin apa yang benar apa yang salah… biarlah mereka yang lebih pitar dari awak yang berpikir bagi mereka sendiri, mana yang benar mana yang salah…
—–
Tapi ini bagus loh, Mas Ndarualqaz. Komentar ini kan juga berbagi. Jadi kita semua bisa tahu mengenai pendapat masing-masing orang.
Maret 12, 2008 at 11:34 am
menghindar dari politik dan poligami agar dicintai rakyat ?
typical indonesia banget tuch
*apa yach bahasa indonesia nya typical*
—-
Berdasarkan KBBI Daring, Tipikal = ‘Khas’
Maret 12, 2008 at 1:41 pm
aduh.. pembahasannya berat nian euy.. :p intinya gini aja, HIDUP POLIANDRI.. hihihi
*kaburr*
—-
Mbak, cerita-cerita dong soal ‘membagi kekasih’-nya (*kalau ada, hehe*)
Maret 12, 2008 at 2:34 pm
Rakyat Indonesia sekarang menderita, untuk memperbaiki keadaan perlu pemimpin yang bijak yang dipilih melalui jalan politik juga,
poligami itu saya ndak setuju, soalnya menyakitkan hati, dimadu itu rasanya kek diracun.
—-
Wah, bahasanya menarik sekali. Dimadu bagaikan diracun. Wah top banget bahasanya.
Maret 13, 2008 at 2:18 am
Berpolitik itu suatu hal yang wajar, sangat wajar ….
Seorang pedagang yang menawarkan berang dagangannya kepada calon pembeli menurut saya sudah ‘berpolitik’…
Menyampaikan ide – ide absurd nya bang Aitop melalui media blog ini juga sudah bisa dikatakan berpolitik…
‘Berpolitik’ pada hatekadnya adalah sesuatu cara seseorang untuk meyakinkan orang lain untuk mengikuti idenya…
*termasuk mbok pemilik warteg pertigaan Cilincing untuk mereduksi utangnya, atau bahkan menghapus utangnya*
betul ngga bang Aitop ?, hidup bang Aitop !
—-
Paragraf pertama, Hugo Chavez banget, Bang Rere. Hehe.
Soal warteg, whahaha… Pokoknya saya kalau pulang kampung, yaa pasti saya bayar utang saya. Hahaha
Maret 13, 2008 at 2:34 am
bikin blog itu ada resiko nya . dihujat atau dipuji itu biasa. kok bangaip jadi paranoid? ha…ha…ha… tutup aja you punya blog, kalo takut di cerca. masak pren gue, yg gak tau apa
apa lu komplain. ha…ha…… mencret….. ha…..ha….. gombal lu………
Maret 13, 2008 at 4:58 am
OOT, bukankah waria itu kalo cemburu lebih gawat dari perempuan?
saya sendiri termasuk orang yang sebal dengan politik karena saya merasa politics suck!!!
tapi setiap orang kan bebas untuk berpolitik. soal hate speech itu saya merasa itu bukan lagi kebebasan berbicara bang. bukankah kebebasan kita itu dibatasi juga dengan haknya orang lain?
—-
Soal hate speech itu juga lagi digodok akhir-akhir ini (*terutama soal kasus film ‘fitna’-nya Geertz*). Saya setuju, kalau memang mengganggu kebebasan orang lain yaa bukan demokrasi lagi.
Kalau soal waria… Haha, ahli waria belum datang nih ke TKP. Haha
Maret 13, 2008 at 6:02 am
politik haram? lha padahal posting aja itu juga berpolitik je…:p
—-
Kalau teorinya Soekarno, menulis untuk publik itu sudah setengah berpolitik . Kalau sudah dibaca publik, artinya sudah total berpolitik. Hehehe
Maret 13, 2008 at 6:33 am
politik itu ada karena ada kehidupan…
—-
Kehidupan itu ada karena? 🙂
Maret 13, 2008 at 6:34 am
Sepertinya Bang Aip masi 2 lemper ni buat makan siang. Tapi gpp-lah biar makin produktip 😉
—-
Ada niat mau nyumbang tempe goreng buat makan siang saya? Hihihi
Maret 13, 2008 at 7:28 am
Bang Aip .. justru postingan ini yang lebih ‘berbahaya’ dibandingkan postingan Bang Aip sebelumnya itu. Kalo yang kemaren itu saya tahu cuma khayalan. Masa orang berkhayal untuk berpolitik aja ga boleh.
Tapi kalo yang ini, hmmm .. jangan2 bang Aip benaran nih mau ikut mencalonkan diri buat 2009 .. hahaha .. sengaja postingan yang lucu dulu, yang buat pancingan untuk postingan ini hahaha .. Loh, saya ga nuduh loh. Cuma menganalisa aja bang. Gpp kan bang???
Siapa tahu partai internet bisa menang. Saya minta bang Aip perjuangkan akses sepuasnya 24 jam internet cuma Rp.600 *ikut iklan salah satu operator selular yang bisa nelpon sepuasnya* .. keren tuh bang. Rp.600 gitu loh 🙂
Eh .. tapi jangan ding. Ga jadi .. ntar kalo 250 juta penduduk Indonesia online mulu .. siapa dong yang jagain Indonesia bang?? yang belanja ke pasar?? yang masak?? yang nyuci?? yang … yang .. belom lagi, nanti ga ada yang baca koran, beli buku, nonton TV .. jangan deh. Ga usah aja bang.
—-
Hahaha, bisa aja Mas Eby. Saya nggak mencalonkan diri, Mas Eby. Hahaha.
Soal internet murah, wah nampaknya kita masih harus banyak berkhayal Mas Eby. Tadi baru saja dapat bocoran, internet cepat (pita lebar) sebentar lagi masuk ke polosok-pelosok. Tapi internet murah… Hmhh, nampaknya belum bisa.
Maret 13, 2008 at 8:14 am
Rupa-rupanya, banyak orang yang tidak suka saya menulis tulisan yang berbau politis. Banyak orang yang tidak suka politik. Katanya beberapa gelintir pengirim email, ‘Politik itu haram!’.
kalo emang ngomongin politik ya ora opo opo, tapi jangan munafik gitu.
pura2 kaget, secara kayak orang blo’on
(sampean jengkel ye – biasa biasalah…)
Maret 13, 2008 at 8:22 am
ngomongin politik ya
ha……ha……..ha……..
Maret 13, 2008 at 8:22 am
ha………..
ha………..
ha………..
Maret 13, 2008 at 8:23 am
ha………ha………
Maret 13, 2008 at 8:23 am
ha….
Maret 13, 2008 at 8:24 am
ha.
Maret 13, 2008 at 8:24 am
……zzzzz
Maret 13, 2008 at 8:48 am
……zzzzzzzz
Maret 13, 2008 at 8:48 am
zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz
Maret 13, 2008 at 8:49 am
cape ah……
Maret 13, 2008 at 8:50 am
daaaaaaa…….. bang sepeda merah putih
Maret 13, 2008 at 9:10 am
Saya sependapat dengan oom fer, politik itu ada di posisi netral. Cuma pelaksanaan lah yang bisa membuatnya jadi ‘bersih’ atau ‘kotor’. 😛
Jadi kepikiran terus pertanyaan dosen saya yang sampai sekarang kami2 ini mahasiswa pemalas belum juga dapat jawabannya: “bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap politik adalah barang kotor..”
Haiyah…
*saya coblos ntar bang*
*kabur*
—-
“bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap politik adalah barang kotor..”
Itu berat banget, Mas Gun. Terutama untuk expertise yang mau Mas Gun ambil, Hubungan Internasional. Sebab mazhab politik Hub.Int. RI itu bebas aktif. Contoh: Di satu sisi, ada upaya penekanan terhadap kondisi perbaikan terhadap Palestina. Di sisi lain, RI impor bahan industri agraris dan perlengkapan militer dari Israel. Di satu sisi, kita benci produk RRC yang mudah rusak, di sisi lain konsumerisme masyarakat terhadap barang murah RRC itu cukup tinggi.
Dua tahun lalu (2006), sempat dibicarakan mengenai konsep bebas aktif yang semestinya cocok dengan keinginan warga RI. Namun itu ditentang. Entah kenapa. Yang menentang bahkan masyarakat sendiri.
Nampaknya, memang ada anggota masyarakat yang menyukai konsep bahwa politik itu kotor. Entah kenapa.
Maret 13, 2008 at 10:07 am
*liat komeng joni*
nyampah jon?? ah sekedar pengecut..
Maret 13, 2008 at 10:12 am
saya juga coblos bang !!!!!!
Maret 13, 2008 at 10:12 am
kabur ……..
Maret 13, 2008 at 10:13 am
?????????
Maret 13, 2008 at 10:15 am
bukan pengecut, tapi ada yg kebakaran jenggot atas komen saya yg biasa biasa, dan gak mutu. aneh……aneh……
Maret 13, 2008 at 10:17 am
brainstorm antek nya juga
ha….ha…….
Maret 13, 2008 at 10:18 am
nyampah………..nyampah…………..
pemulung kali ye
—-
Wahh, saya yang kebingungan nih disini. Di satu sisi, saya ndak bisa bilang sama publik bahwa anda sudah membanjiri inbox saya dengan bom email berisi sampah dan hate speech. Karena saya sama sekali tidak punya bukti yang mampu dipertunjukkan di depan publik. Di sisi lain, setelah keluhan saya diterima secara baik-baik oleh host ISP bapak, eeh, bapak malah mempertunjukkan perilaku yang kurang bijak.
Pak, segala komentar dalam blog ini tidak saya moderasi maupun edit. Bapak bersedia menuangkan opini bapak pada publik (anonymous maupun onymous). Silahkan saja. Tapi kalau menyampah seperti ini, saya dapat mengkategorikan bapak sebagai spammer. Dan selayaknya kebijakan terhadap Spammer yaa ada dua; Pertama dilaporkan ke ISP Host, yang kedua IP addresnya akan dimasukkan dalam list Akismet.
Semoga kita sama-sama bisa belajar kebaikan dari kondisi ini.
Maret 13, 2008 at 10:19 am
ha……ha………..ha………….
Maret 13, 2008 at 10:36 am
Kenapa sih kok jadi di-hubung-hubung-in politik ama haram atawa halal? Aneh bener…
Kalau begitu seharus-nya militer yang ber-potensi ke-keras-an, dan yang ber-bau ke-uang-an yang ber-potensi penggelapan juga harus-nya haram dong 😦
Biarin aja bang mereka ber-koar-koar seperti itu, bukan-kah ini juga adalah bagian pem-belajar-an bagi kita semua? 🙂
—-
Bener mas, jadi pembelajaran bersama. Terimakasih atas idenya
Maret 13, 2008 at 9:52 pm
awkawaowkaowka… sabar ya bang….
saya curiga ama si ‘joni’
jgn2 die spam gara2 kalah populer ama abang..
trus jadi sirik gitu dah..
akwoawoakw
—-
Biar sajalah, Mas. Yang penting sudah dibilang secara baik-baik.
Kalau beliau komentar secara bijak, yaa dijawab dengan selayaknya.
Maret 13, 2008 at 10:47 pm
tau ngga bang kapan Om Machiavelli nulis “sang pangeran” ?
ketika dia sudah turun dari pemerintahan, pulang kampung, hidup bahagia bersama istri dan anak2 nya yang udahlama ditinggalkan karena berpolitik sekian tahun …
—-
Setahu saya, Machiavelli menikah dengan kekuasaan deh. 🙂
Maret 14, 2008 at 12:51 pm
Di salah satu budaya suku bangsa yg ada di Indonesia, ada 2 parameter kesuksesan hidup:
1. Udah naik haji, lebih dari 1 kali, dan mampu menunjukkan dampak positif kehajiannya ke masyarakat.
2. Udah punya istri, lebih dari 1 orang, dan mampu menjaga keluarga besarnya rukun dan sejahtera.
Org (dalam hal ini laki2) dianggap sukses dunia akhirat kalo mampu memenuhi 2 kriteria di atas. Dia juga dianggap sukses secara materi (harta) dan immateri (jiwa) kalo mampu memenuhi 2 kriteria di atas. Org2 yg dianggap sukses tsb biasanya kemudian (di)jadi(kan) tokoh masyarakat.
Menilik mahalnya ongkos naik haji dan susahnya membina keluarga poligami, saya bisa memahami dan bahkan mungkin sepakat dgn kriteria sukses dari suku bangsa tsb.
Mudah2-an saya sukses. 😀
—-
Hahaha…. Bukannya itu ada di beberapa suku lainnya di RI juga? Atau jangan-jangan, di semua suku di RI. Hahaha
BTW, kalau saya doakan sukses. Kita berdua bisa dikemplangi istri sampeyan, Mas. Hehe
Maret 14, 2008 at 2:20 pm
waduh bang, maaf saya nggak suka politik. 😦
malah kalau bisa sebisa mungkin menghindari politik. repot.
—-
Nggak apa-apa Chika. Yang penting, kamu masih suka menulis.
Itu cukup buat saya. Hehe
Maret 15, 2008 at 8:38 am
Wahh, saya yang kebingungan nih disini. Di satu sisi, saya ndak bisa bilang sama publik bahwa anda sudah membanjiri inbox saya dengan bom email berisi sampah dan hate speech. Karena saya sama sekali tidak punya bukti yang mampu dipertunjukkan di depan publik. Di sisi lain, setelah keluhan saya diterima secara baik-baik oleh host ISP bapak, eeh, bapak malah mempertunjukkan perilaku yang kurang bijak.
jangan bingung lah bang, biasa ajalah.
di dunia ini orang iseng dah bejibun, so what gitu loh
kalo ada papan tulis di jalanan (ruang publik) dan semua orang bebas mengakses,menulis,mengisi, dgn bebas maka secara orang (dgn gaya perilaku yg beraneka macam, dari yg sopan sampe yg gila & iseng)
maka adalah aneh bila sampean kaget.
tetapi ya sudahlah, nasi dah jadi bubur.
kalo di bilang saya kurang bijak, ya maap aja. malah saya menganggap diri sendiri : egois, seenak’e udele dewe, brekele, pemalas, tukang buka situs porno (miyabi idolaku, hidup miyabi!!!!), asbun, nyebelin (kata pren ku )dan banyak lagi…
kalo IP Addres ku mau di masukin list askimet, yo monggo….silahkan aja….
itu hak abang kok…apa dayaku…..
sedangkan di komplain ke provider internet (sudah di lakukan ) ya silahkan…….. meskipun sewajarnya diriku lah yg kudu di komplain untuk pertama kali.
—-
Pak, kalau anda menyadari blog itu adalah ruang publik. Saya amat gembira sekali. Berarti bapak sadar betul akan fungsi dan manfaat blog.
Tapi kalau semua orang bebas mengakses dengan seenaknya. Ini jadi pertanyaan saya pada anda:
1. Rumah ibadah, terminal, pasar juga ruang publik. Apakah anda sebagai publik, merasa bebas bersenggama disana kapan saja ketika anda mau?
2. Jalanan adalah milik umum. Apakah anda, sebagai bagian dari masyarakat umum bebas berak sembarangan di tengah jalan?
Kalau jawabannya ‘TIDAK’, saran saya, berhentilah abuse sarana publik. Jangan angkuh, Pak. Seakan ruang publik bebas anda sampahi secara sembarangan.
Kalau jawabannya ‘IYA’, saya turut berduka dengan problematika yang sedang anda alami. Saya berdoa semoga ada penyelesaian terbaik untuk anda.
Soal mengenai host ISP. Pak, sudahlah, jangan bawa-bawa mereka. Beberapa waktu lalu, anda klaim mereka sebagai teman anda. Lalu sekarang setelah spamming, mau bawa-bawa lagi nama mereka lagi.
Sudahlah Pak. Cukup. Mereka itu mungkin cari nafkah dengan kerja keras dan baik. Jangan coreng nama mereka dengan kelakuan anda ini.
Maret 15, 2008 at 2:41 pm
Sedikit komen ttg komen-nya bang Aip atas komen saudara itik kecil ttg ‘hate speech’. Khususnya ttg rencana pemutaran film ‘fitna’ dari Belanda.
Kalau memang definisi hate-speech itu sedang digodok, mungkin bisa juga diikutkan doktrin pada berbagai agama yang mengkafirkan pemeluk agama lain dan kaum atheis sebagai bagian dari ‘hate-speech’. Saya kira bila pandangan kritis, meski dengan akurasi yang bias, dari pihak atheis seperti film ini tidak dapat diterima. Maka pelbagai kutuk yang terlontar dalam doktrin-doktrin agama juga harus ditelaah kembali.
—-
Soal fitna-nya Geelderz… Saya pribadi mengkategorikannya sebagai Terorisme. Bukan sebagai hate speech maupun ‘blasphemy’, kutukan.
Sebab kalau ini ditujukan pada umat Yahudi, maka pasti akan langsung di cap anti-semit. Begitupun apabila ditujukan pada Scientology, pasti banyak yang ngamuk dan lalu dibredel.
Maret 15, 2008 at 2:54 pm
Tapi Bang. Bukankah hanya dengan kucuran darah, senjata. dan militerisme kita dahulu bisa menjadi macan Asia.
Sementara sekarang? Apa yang bisa didapatkan bangasa ini dengan modal demokrasi serba boleh seperti yang diterapkan sekarang?
Hanya ada keterpurukan dan korupsi yang makin merajalela… Gimana tuh Bang?
—-
Korsel dan Jepang jadi macan Asia tanpa perlu darah dan senjata, Rid. Tapi pakai otak. Kita bisa belajar dari mereka.
Maret 16, 2008 at 5:11 am
waktu orde baru nasib kami tidak beruntung,
pada saat orde baru lewat nasib tidak berpihak pada kami.
orde kapan dan apa yang membuat nasib kami beruntung dan berpihak pada kami?
—-
Tahun lalu, ada pembaca di sebuah koran di Indonesia. Ia menulis di surat pembaca begini;
“Ada tiga tipe orang Indonesia;
1. Orang yang ketika orba berkuasa, ia bahagia. Dan ketika orba jatuh ia tetap berbahagia.
2. Orang yang ketika orba berkuasa, ia bahagia. Namun ketika orba tumbang, ia menderita.
3. Orang yang ketika orba berkuasa atau tidak, tetap menderita.”
Kategori nomer tiga memang yang paling banyak. Tidak bisa disangkal. Diantaranya adalah buruh kecil, pegawai rendahan, hingga prajurit pion (yang kalau perang disuruh maju duluan).
Jawaban dari pertanyaan Mas Aji ini berat sekali. Saya pribadi tidak mampu menjawabnya. Saya harap mungkin ada komentator lain yang bisa menjawab.
Maret 17, 2008 at 6:47 am
Nulis apa aja khan terserah yang nulis, hehehe … lanjut aja nulis apa yang di pikirkan, masalah terpengaruh dan opini sih terserah yang mbaca, lagian mbaca disini gratis, gitu aja kok repot….
—-
Iya saya juga bingung, sudah dikasih mbaca gratisan, eeh malah disampahin. Hehehe. Manusia itu unik.
Maret 18, 2008 at 6:54 am
setuju….bang loper !!!!!!!!
hate speech ??????
dari sisi mana ????
kalo gak suka, ya dianggap hate speech
tapi kalo sejalan, ya di anggap bijak
obyektif sekali……..
—-
Pak… Ini definisi hate speech. Silahkan dibaca.
Sedangkan ini, definisi SPAM. Silahkan dibaca-baca.
Maret 19, 2008 at 10:04 pm
hayah, baru kali ini kang bang aip sampe balesin coment sepanjang ene…
beneran rekor,
saya jadi inget sama game online yg saya maenin (Rf online indonesia)
dimana saya menjadi semacam presiden di salah satu bangsanya…
tiap kalah perang pasti di caci
bahkan menang perang pun pasti ada yg iseng suka memprovokasi (dimaki2 di flood de el el)….
sudahlah bang aip, nda usah ditanggepin itu anak kemaren sore yg baru blajar spam…
kita yg baca koq jadi ikutan gemez…
tapi tq infona soal hate speech nih btw…
Maret 20, 2008 at 9:53 am
Ini joni sapa sih? kalo mau nyampah jangan sembarangan. Emang gak diajarin apa dari tk sama ibu guru “Jangan buang sampah sembarangan”? Kalo udah diajarin trus gak diamalkan, itu berarti situ menyepelekan intelektualitas situ sendiri.. Tapi biarin lah bang.. kesian dia.. kayaknya masa kecil dulu susah.
Ok, sampe mana sayah? oh iya mau komentar.. “Poligami gak populer di kalangan anak2”. Kenapa saya baru kepikiran ya? selama ini orang2 selalu fokus sama perasaan si istri, bukan anaknya. Kalo abang udah nonton berbagi suami karya nia dinata itu, mungkin ini yang dialami sama si Winky Wiryawan.
Kalo masalah politiknya saya kurang ngerti, tapi saya ngerti kalo bang aip cuma MENDESKRIPSIKAN, bukan mau bikin partai. Kalopun iya, so what gitu lho?! Gitu aja kok repot..
Maret 20, 2008 at 9:55 am
Ini joni sapa sih? kalo mau nyampah jangan sembarangan. Emang gak diajarin apa dari tk sama ibu guru “Jangan buang sampah sembarangan”? Kalo udah diajarin trus gak diamalkan, itu berarti situ menyepelekan intelektualitas situ sendiri.. Tapi biarin lah bang.. kesian dia.. kayaknya masa kecil dulu susah.
Ok, sampe mana sayah? oh iya mau komentar.. “Poligami gak populer di kalangan anak2”. Kenapa saya baru kepikiran ya? selama ini orang2 selalu fokus sama perasaan si istri, bukan anaknya. Kalo abang udah nonton berbagi suami karya nia dinata itu, mungkin ini yang dialami sama si Winky Wiryawan.
Kalo masalah politiknya saya kurang ngerti, tapi saya ngerti kalo bang aip cuma MENDESKRIPSIKAN, bukan mau bikin partai. Kalopun iya, so what gitu lho?! Gitu aja kok repot..
Maret 21, 2008 at 3:15 am
Bang aip mungkin sudah nonton fitna-nya Geelderz ? Ditunggu ulasannya bang, katanya mau diputar via internet, tapi rasanya koneksi saya tak bakal mampu untuk mengunduh film ini.
Maret 23, 2008 at 10:02 am
Dunia ini lucu. Ada yang nulis politik kok diprotes. Yang nulis cerita saru malah disukai…
Politik haram karena semua politikus adalah tikus. Nggak hanya di Borneo di daerah mansup saja yang jadi tikus. Coba tanya Drajad Wibowo, dia habis berapa duit untuk bisa duduk di Senayan. Duit itu cukup loh untuk bikin satu gerai franchise Indomaret atau Alfamart.
Kalau nulis politik nggak apa-apa, Bang, saya suka membacanya. Kalau mau jadi politikus Senayan silakan jadi tikus dulu supaya punya modal.
Maret 31, 2008 at 8:34 am
wong londo njajah telu seket taon.
melawan ………
mau merdeka pula …….
tak gebuk kowe ………
tak entek’i ……….
aneh nya sekarang pengadilan HAM ada di den haag……………….
skr bikin ‘fitna’ pula,
weleh…weleh…
ada apa ini ? ? ?
April 6, 2008 at 9:55 pm
weleh weleh seru amatan euy dari poligami,politik,ampe nyampah. fuuuh
gile ampe bangaip dituduh orang politik maenstrim (ga kepikiran hahaha ampe cekikikan baca postingan ini. maap bangaip ane cuma kebayangin ketika bomal ma fuad ketemu ente kalo ente jadi politikus kawakan )
saya setuju banget yang mengarti politik dengan sederhana dan simpel. saya sendiri suka berpolitik. tapi ga suka banget politik partai, negara dan antar negara. kejam. makanya saya sebut politik kecil(itu mah bahasa saya pribadi). sekecil misalnya bagaimana meyakinkan dan ngajak temen temen buat ikutan berkarya mural dijalan dan mau patungan untuk beli catnya.
saya jadi ingat dulu ditegor ama camer gara-gara pake kaos hitam bertuliskan “PKI” warna putih. saya diomelin tapi ga ada semenit camer langsung cengar cengir geleng geleng. karena PKI nya Partai Kolor Ijo dengan gambar sempak, rante padi dan kapas karya sablonan anak anak propagraphic didisain seperti kaos kaos partai yang lg tren ketika itu.(hehehe tuh kan berpolitik)
pokoke saya dukung tulisan bangaip!
kalo bangaip mo maen partai beneran, bukannya ga mao dukung hanya aja ANEH BANGET huehehhehe
April 8, 2008 at 12:27 am
duh apa siey?? ga ngerti.. ini lagi ngomongin apa ya?? politik ada cacing pitanya ya, ko haram? ko heboh ya.. jadi pusing niy akyu, mana ga lulus lulus.. duhh ahh sial,
hihi..
*ngendap ngendap trus kabur*
April 17, 2008 at 1:39 am
orde kapan dan apa yang membuat nasib kami beruntung dan berpihak pada kami?
.
Orde Masyarakat Aktif & Tercerahkan (O.M.A.T 😀 )
.
Ini solusi yang paling jitu – jika masyarakat adalah aktivis & tercerahkan; maka tidak peduli mau pemerintah diktator/demokratis/khilafah/tirani/dst, tetap saja masyarakat akan makmur & sejahtera.
.
Secara ringkas; jangan cuma berpangku tangan. Bangkit bersama-sama, dan tentukan nasib kita sendiri.
April 17, 2008 at 1:46 am
malah kalau bisa sebisa mungkin menghindari politik. repot.
.
Betul.
.
Tapi jadinya ya kita kena libas melulu.
Jadi obyek penderita terus.
.
Mau ?
Mei 4, 2008 at 4:32 pm
bang ditunggu parpol aslinya ya!
kl bs adain internet gratis seluruh Indonesia 😀
Mei 7, 2008 at 4:26 am
membagi hidup? hihihi.. pernah sih, tapi ribet. ribet nya bertambah ketika udah pake perasaan, ke keduanya :p
Mei 8, 2008 at 5:16 am
SAYA CUMA KAMINO
salat keno, ora yo keno
pokoke mbela Bung Karno
salat keno, ora yo keno
sing penting mbelo Bung Karno.
(Salat boleh, tidak pun tak soal,
yang penting membela Bung Karno.)
Di tahun 1960-an, salawat Badar yang dikorup ini pernah
populer, termasuk di Bantul. Ini “ular” berkepala dua:
kultus pada Bung Karno dan ejekan buat kekuatan Islam.
Terutama, tentu saja, NU yang dianggap pemilik asli “lagu”
ini.
Bukan karena “pembajakan” lagu itu bila di ujung desa sana
lalu terjadi duel antara Pemuda Ansor dan Pemuda Rakyat atau
Marhaen. Saling ejek dan benturan fisik, sebagai akibatnya,
merupakan kelaziman waktu itu. Dan biarpun pahit, malah
harus diakui bahwa semua itu berfungsi sebagai gladi resik
buat menyambut “Bharatayudha” yang kelak meletus di tahun
1965.
Berita pemuda berjaket merah atau hitam roboh oleh pemuda
“kita” yang bersabuk jimat dari kiai di tahun 1960-an itu
bisa membangkitkan semangat “juang” dan kentalnya fanatisme
ideologi buat orang desa yang tak tahu arti politik
sekalipun. Sekurangnya jadi semacam penegasan akan betapa
benarnya pilihan ideologi yang kita ambil.
Coretan di tembok-tembok rumah, di pagar-pagar, dan juga
pada jembatan di ujung desa merupakan variasi lain dari
benturan ideologi waktu itu. Bila kita dapati pagi hari
tulisan “Marhaen Menang” atau “Hidup PKI”, esoknya pasti
sudah dijawab: “Islam Jaya” atau “Ganyang PKI”. Tapi bila
yang kita temui hanya “salawat”: “Hidup Bung Karno PBR
kita”, atau “Hidup Ganefo”, dus netral, semua kekuatan
politik yang ada di desa ayem saja.
Dengan mata seorang bocah yang belum lagi tamat SD, saya
menyaksikan suasana diam yang tegang. Guru-guru saya, pihak
Muhammadiyah yang mengharamkan segala jimat itu, diam-diam
juga pergi ke kiai minta “diisi” kadigdayan kanuragan.
Doktrin pokok: “Mintalah langsung kepada Allah, jangan lewat
perantara”, pernah tak berlaku. Perbedaan paham antara
Muhammadiyah dan NU dalam soal jimat, usali, witir, tarwih,
doa talkin praktis terlupakan selama menghadapi common
enemy.
Rapat raksasa pun disimak. Tiap orang lalu peka terhadap
perbedaan warna jaket. Dan tiap-tiap “yang bukan kita”
dicurigai. Tak peduli bahwa itu menyangkut tetangga sebelah.
Pemuda, atau bocah yang “tak sabar” menunggu dewasa, ingin
tampil heroik. Begitu juga Kang Kamino. Anak mbah Wongso
Dadung yang buta huruf ini pun tak mau ketinggalan. Ia
terpesona oleh palu arit: lambang PKI, yang adalah barang
kongkret buat orang macam dia. Harus diakui memang, PKI
tangkas merumuskan ide-ide abstrak ke dalam bahasa Kang
Kamino. Bermula dari gurauan bahwa “wong tani” pegangannya
harus palu dan arit, dan bukan Lintang Rembulan (bintang
bulan, Masyumi) atau gambar Jagat Lintang Sanga (bola dunia
berbintang sembilan, NU) karena petani bekerja dengan arit,
ia berubah makin sinis pada Islam akibat “pergaulan bebas”
dengan PKI.
Setelah makin aktif menghadiri rapat dan main ketoprak
(Lekra), ia ganti nama menjadi Kaminonov. Edan. Selanjutnya
blak-blakan ia membuka diri sebagai kaum salat keno ora yo
keno. Ia juga jadi terampil mengejek lawan sebagai kaum
nggoiril (dari kata ghairil … dalam surat Al Fatihah).
Kami pun “mengintip”. Kang Kaminonov jarang di rumah,
akhirnya. Kalau pulang selalu bersama empat atau lima
kamerad lain. Anak mbah Wongso Dadung ini sudah jadi orang
penting rupanya. Konon, pernah suatu hari ia kedapatan
bicara tentang pembagian sawah dan rencana aksi sepihak.
Tapi, sawah belum lagi dibagi, Gestapu meletus. Islam
bangkit. Perang sabil diteriakkan. Di berbagai daerah
kemarahan tak terkendalikan. PKI disembelih.
Namun, segala puji hanya bagi-Mu, darah tak menetes di desa
saya. Pak Lurah, biarpun pernah diancam PKI, melindungi
mereka. Prinsipnya semua saudara. Lagi pula, PKI di desa
saya cuma golongan cepethe. Pak Lurah sering bilang, mereka
cuma ikut-ikutan. Sebagian hanya senang karena tiap rapat
ada makan. Tahu apa mereka tentang politik?
Benar juga. Digertak petugas untuk wajib lapor pun mereka
sudah menggigil. Betul, ada di antara mereka yang fanatik,
tapi untuk mati demi partai orang masih mikir. Maka
Kaminonov pun mengaku, akhirnya mendengar suara daun gugur
pun dia kaget. Dikiranya sepatu tentara.
Pendeknya musuh telah tak berdaya. Tokoh-tokoh tua bilang,
perang tak layak lagi diteruskan. Petuahnya, “Islam itu
selamat dan menyelamatkan”. Dan tiap khotbah, Pak Lurah
berseru “Kita memang punya hukum qisas: bunuh balas bunuh.
Tapi memberi maaf itu lebih satria …”.
Tuhan tiba-tiba menjadi kongkret. Termasuk buat Kaminonov.
Haji Thohir yang “sepuh” itu rajin mengajarinya ngaji. Ia
merawat rohani “si anak hilang” yang telah kembali. Maka,
tak lupa tiap pengajian usai, ia ulang petuahnya: “Lembaran
yang sudah dibaca ditutup. Begitu juga masa lalumu.”
Kaminonov tunduk sambil lirih mengucap: “Nggih, nggih, Pak
Kaji, insya Allah.” Fasih dia. Dan bila orang menyindir nama
Rusianya, ia cuma senyum. Jawabnya: “Lembaran lama sudah
ditutup. Saya cuma Kamino …”
—————
Mohammad Sobary, Tempo 6 Oktober 1990
Mei 8, 2008 at 5:31 am
Seorang guru mistik, setelah ia mencapai pengetahuan yang serba rahasia mengenai kebenaran sejati, yaitu pengetahuan yang hanya dapat dicapai oleh segelintir manusia, ia bermukim di Basrah.
Di sana ia memulai sebuah usaha dan dalam beberapa tahun saja telah memperoleh kemajuan.
Pada suatu hari seorang guru sufi yang telah mengenalnya beberapa tahun yang lalu, namun masih berada di atas jalan yang ditempuh oleh para pencari kebenaran, singgah di tempat kediamannya.
“Betapa gundah hatiku menyaksikan engkau yang telah meninggalkan pencarian dan jalan kaum mistik,” berkata sang guru sufi. Pedagang yang arif bijaksana itu hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa.
Sang guru sufi kemudian meneruskan perjalanan dan didalam wejangan-wejangannya dikemudian hari ia sering kisahkan, betapa seseorang bekas sufi yang kemudian beralih kepada cita-cita yang rendah dalam dunia perdagangan karena ia tampaknya tak memiliki tekad yang perlu untuk menyelesaikan perjalanan.
Tetapi sang guru sufi pengelana ini akhirnya bertemu dengan Khaidir, sang penunjuk jalan rahasia. Si guru sufi memohon kepada Khaidir untuk mengantarkannya kepada guru arif bijaksana pada zaman itu, yang akan memberkahi terang ke dalam hatinya.
Khaidir berkata:
“Jumpailah seseorang pedagang anu, duduklah di kakinya, dan laksanakanlah kerja kasar yang disuruhnya”.
Sang guru sufi tidak habis pikir, iapun berkata dengan tergagap:
“Tetapi betapa mungkin bahwa pedagang itu adalah salah seorang dari manusia-manusia terpilih, apalagi sebagai guru agung zaman kini?”
Khaidir menjawab:
“Karena ketika ia mendapatkan terang ia pun telah berhasil memperoleh pengetahuan duniawi. Untuk pertama kali ia rnenyadari bahwa sikap manusia suci menarik orang-orang tamak yang berpura-pura mencari pengetahuan spirituil dan menolak orang-orang tulus yang tidak takjub kepada penampilan lahiriah. Aku telah menunjukkan kepadanya betapa guru-guru yang saleh dapat ditenggelamkan oleh pengikut-pengikutnya. Maka ia memberi pengajaran dengan diam-diam dan bagi orang-orang yang dangkal penglihatan ia hanyalah seorang pedagang biasa.”
Mei 8, 2008 at 5:33 am
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
“Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, …”
Nasrudin menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”
Hakim mencoba bertaktik, “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?”
Nasrudin menjawab seketika, “Tentu, saya memilih kekayaan.”
Hakim membalas sinis, “Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”
Nasrudin balik bertanya, “Kalau pilihan Anda sendiri?”
Hakim menjawab tegas, “Tentu, saya memilih kebijaksanaan.”
Dan Nasrudin menutup, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”
Mei 10, 2008 at 12:19 am
[…] belum punya itikad baik dalam membangun negara, apalagi mencerdaskan kehidupan bangsa, Bahkan roda politik pun kacau balau. Lah sekolah aja makin mahal. Aparat hukum? Ini apalagi.. udah keterlaluan ini, […]
Juni 16, 2008 at 8:53 am
kalau sering dibanjiri hate speech gitu, didiemin atau dibales bang? maaf kalo pertanyaannya kurang cerdas, terkadang saya bingung, lebih baik diam untuk menjaga dari perpecahan tapi kesannya jadi pengecut atau dibalas untuk bertahan? sedangkan kalau balas2an akhirnya debat ga jelas…
thx before ya bang 🙂
Oktober 30, 2009 at 9:17 pm
Salam Kenal…
Indonesia Page – All About Indonesia
The Adsense Site – Guide to Online Adsense Earning
Januari 26, 2010 at 12:23 am
say.. skrg ini aku tinggal di Arab Saudi,disana ada berbagai macem bentuk manusia yang suka berpoligami bahkan lebih dari dua…………mau tahu ceritanya? balas jika menurut anda menarik,oke boos