HOIIII PENONTOON… AYE BALIK LAGI EUYYY!!!

(Maap euy, ada postingan yang disandi. Akibat cerita jaman sekarang. Ada beberapa pihak yang ‘terluka’. Maaf yaa. Untuk yang belum baca, maap, kayaknya security clearance-nya nggak bisa dibagi-bagi euy. Hehehe. Ya sudahlah, cerita jadul lagi aja. Kembali ke khittah, hehe).

Hari minggu adalah hari yang tenang. Seperti biasanya, saya mah santai-santai saja. Di kebun belakang rumah, melihat pohon pisang yang sedang berbuah. Sambil minum orange jus. Mbaca novel Winnetou… Haduh, enak sekali.

Tiba-tiba, suara motor menggangu hari minggu pagi saya yang indah itu.

“Rip.. Ariip.. Riip”, suara sember di balik pagar, yang sudah sangat tidak asing untuk telinga saya itu berkumandang memecah pagi yang damai. Sebenarnya saya enggan membuka pagar. Namun karena ibu saya sudah membuka pagar untuk pemilik suara tersebut. Maka, saya terpaksa menyambutnya.

Aceng datang. Mukanya kusut. Pasti ada masalah. Tiba-tiba muka saya ikutan kusut. Sebab kalau Aceng ada masalah, saya biasanya ikut-ikutan bermasalah. Aduhh, hilanglah mood minggu pagi saya yang indah.

+ “Men.. men… gue ada masalah nih. Curhat dong”.
– “Males ahhh, gue lagi nyantai nih men”.
+ “Yee, elo mah. Dikit ajah dong men. Curhat dong”.
– “Males ahh, curhatan lo itu membawa petaka. Pegi sono jauh-jauh”.
+ “Men, serius nih. Ini masalah hidup mati nih. Soal si Tince pacar gue”.
– “Yaelah Ceng, ada masalah yang lebih penting daripada kisah cinta lo!”
+ “Ini serius men, si Tince bunting”
– “Masoloh…!! Serius lo? Siapa yang menghamili?”
+ “Gue, men”

Aceng tiba-tiba menunduk memelas. Matanya menghunjam bumi. Sudah nggak kuat lagi menatap wajah saya. Dan sayapun yang tadinya bermuka kusut… kali ini bertambah kusut.

Selain Sanip yang pergi dengan tragis. Aceng adalah salah seorang sahabat saya. Sejak lulus SMA, ia bekerja di rigging, penambangan minyak lepas pantai. Satu bulan bekerja, dua minggu libur. Artinya, ia ada in the middle of nowhere di tengah laut selama sebulan, setelah itu, selama dua minggu ia bebas pergi kemana saja.

Setiap bulan, selama dua minggu, Aceng pulang kampung. Setiap weekend, kami selalu bertemu. Aceng, sebagai pekerja rigging, gajinya besar. Paling besar diantara para pekerja di kampung kami, Cilincing. Dengan fasilitas tersebut, ia mampu menarik hati Tince, kembang desa Cilincing, peranakan Manado campur Solo.

Tince adalah benar-benar wanita yang mampu menarik setiap tatapan mata pria yang melihatnya. Bemper belakang maupun bemper depan sungguh luar biasa menonjol. Cantik klasik perempuan pribumi dengan kulit putih bersih serta proporsi pakaian yang selalu full pressed body. Membuat iman para laki-laki kadang-kadang goyah.

Tince, dalam bahasa Cilincing dikategorikan sebagai semok. Singkatan dari seksi sekaligus montok. Tidak ada bahasa yang mampu menggambarkan bodi Tince yang aduhai selain kalimat ‘semok’.

Aceng adalah laki-laki yang beruntung mendapatkan Tince. Walaupun teman-teman yang lain sudah memperingatkan, hati-hati berhubungan dengan wanita yang menjadi bahan imajinasi masturbasi pria, Aceng tidak peduli.

Kali ini… Aceng tidak lagi tidak peduli. Imajinasi liarnya sudah ditumpahkan dalam realita. Tince adalah objek pelampiasan semua mimpi-mimpi basah yang tidak tersalurkan. Dan kali ini… Tince hamil.

Aceng laki-laki yang bertanggung jawab. Ok, sedikit penakut memang. Sebab ngapain juga ia mengajak saya untuk menemaninya menemui orangtua Tince? Kalo emang lelaki, kalo emang jantan, jalan aja sendiri! Namun sebagai teman, saya menuruti juga ajakan itu.

Saya dan Aceng naik motor menuju rumah Tince. Dan sampailah kami di sebuah rumah dengan pekarangan yang luas. Rumahnya Tince.

TING TONG… Bel saya pencet. Seraut wajah keras berkumis baplang, mirip tokoh Pak Raden dalam pelem Unyil muncul.

+ “Selamat siang Om Robert”.
– “Selamat siang Arif… Loh itu si aceng, ngapain di luar pager. Ayo masuk!”
+ “Engg… Enggg… Begini Om. Saya nganterin Aceng…”
– “Iya silahkan masuk. Hoi Ceng! Sini masuk. Jangan di pagar saja!”

Aceng datang tergopoh-gopoh. Wajahnya terus-terusan menunduk. Kami duduk di sofa ruang tamu. Mamanya Tince datang membawa minuman dan kue-kue kecil. Lalu memanggil Tince yang segera datang. Saya dan Aceng, tidak berani menyenggol makanan dan minuman itu. Walaupun pengen banget. Tapi hati kecil kami sungguh sedang sengsara.

Saya memulai percakapan. Sebab tidak ada tanda-tanda sedikitpun Aceng mau buka suara. Kurang ajar nih anak. Saya dijadikan tumbal. Saya pun buka suara.

+ “Begini Om Robert… Tante Lusi… Ini soal Aceng”
– “Oh ya.., loh kok kamu yang bicara, kenapa bukan Aceng”
+ “Iya sih, bener juga… Ceng… Ceng… Lo dong yang ngomomng!”
– “Iya Aceng, ayo kamu bicara saja. Santai, tarik napas dulu”
+ “Ceng, ngomong dong lo… Yee, jangan diem aje kayak ayam kena tetelo”

Aceng akhirnya mengangkat wajah. Suaranya berat, mirip dukun yang sedang kemasukan arwah gentayangan, “Ooomm… Tante… ini.. anu… anu.. eeehhh.. ini.. anu… Tince hamil”

Tante Lusi, mamanya Tince, terpekik kaget. Tanggannya menutup mulut. Shock mendengar kabar tersebut. Papanya Tince, Om Robert, tiba-tiba berdiri. Muka yang tadinya keras itu makin bertambah keras. Matanya merah menahan marah. Tangannya terkepal.

Dengan suara menggelegar, Om Robert berkata kepada Aceng “Bajingan kamu Aceng! Belum nikah sudah berani-beraninya menghamili anak saya!”

Aceng menunduk tidak berani menatap wajah Om Robert. Lalu berkata lirih “Bukan saya Om. Tapi Arip yang melakukannya!”

Astopirloh! Ya oloh… Saya dijadikan tumbal! Bajingan si Aceng.

Om Robert mengalihkan wajah sadisnya ke arah saya.
Astaga. Mati gue!

Tante Lusi makin kaget bukan kepalang. Ia berfikir anaknya selingkuh dengan saya. Atau melakukan pesta orgy, sebuah pesta sex gila-gilaan bersama saya dan Aceng.

Om Robert matanya tajam seperti pedang. Pelan-pelan memalingkan wajah, lalu bertanya kepada Tince, “Siapa yang menghamili kamu?”. Tince tidak berani menjawab apa-apa. Jari telunjuknya pelan-pelan teracung… ke arah Aceng.

Saya bernapas lega. Tapi tidak lama.

Om Robert kembali bertanya kepada Tince, “Siapa diantara kunyuk-kunyuk ini yang pernah menyentuh kamu?” (*Ya oloh, selain dijadikan tumbal, saya juga dijadikan kunyuk rupanya*).

Saya mau protes, tapi nggak berani. Tatapan mata saya tertuju pada jari Tince. Hanya kepada jari Tince. Sebab, salah tunjuk sedikit saja… Gawat urusannya, euy.

Pelan-pelan, Tince mengangkat tanggannya, telunjuknya teracung ke arah… Aceng lagi.

Alhamdulillah. Saya bebas dari fitnahan cabul bermoral rendah si Aceng.

Om Robert benar-benar dalam kondisi super marah.

Om Robert kalap, lalu menghampiri Aceng. Tangannya mencengkram kerah baju Aceng. Lalu Aceng diangkatnya tinggi-tinggi, diguncang-guncang, mirip uang logam di celengan yang sedang dikeluarkan paksa.

“BAJINGAN KAMU!!… Dasar pengecut! Kalian semuanya sama! Pengecut!”.
Aceng diam saja. Pasrah. Mirip kambing idul kurban yang akan dipotong.
Om Robert semakin marah, dianggapnya Aceng nyuekin dia. “Hey, jawab kamu, BANGSAT!”.

Om Robert semakin marah, melihat Aceng yang semakin menunduk. Tiba-tiba ia mengeluarkan kalimat aneh “Dasar kalian orang Islam pengecut. Urus dulu itu sandal yang hilang di masjid. Baru urus anak orang!”

Wah, saya yang tadinya kaget, makin bertambah kaget. Tante Lusi langsung angkat bicara, “Papa… Itu tidak adil. Apa hubungannya dengan Islam dan masjid?”. Lalu Tante Lusi dengan ramah bicara pada kami “Aceng… Arif… Kalian pulang saja dulu. Besok kami akan bertemu orang tua Aceng”.

Saya dan Aceng pergi dari rumah Tince. Secepat kilat. Takut bo!

Di jalan, Aceng menangis. Saya kesel banget dijadikan tumbal. Saya cuekin saja.

+ “Rip… maap men.. huhuhu… Gue kilap men.. huhu”
– “Lo gila yee… Udah ditolongin malah ngeberakin gue”
+ “Huhuhu.. maap men… huhuhu…sorii.. huhu”
– “Ya udahlah. Jangan nangis. Malu men, banyak orang tuh”
+ “Rip, …huhuhu…apakah salah gue beragama islam? …huhuhu”
– “Ceng, yang salah tuh selangkangan lo yang ugal-ugalan!”
+ “Iye men, huhuhu… gue lupa make kondom… huhuhu.. abis enak sih.. huhu”
– “Ceng, shut up deh lo. Capek gue nih. Gue mao pulang”
+ “Rip… huhuhu… terus gimana dong ngomong ke ortu gue?… Huhuuu..”

Astaga… Si Aceng meminta saya ke rumahnya. Gawat, Haji Sodik, bapaknya Aceng, jauh lebih sadis daripada Om Robert. Tapi, karena Aceng tangisnya semakin keras. Saya memenuhi juga ajakan itu. Malu juga euy. Orang-orang yang lalu lalang di jalan menatap saya dengan tatapan mata menuduh. Seakan Aceng adalah korban kejahatan asusila saya. Duh gusti!

Benar saja, sesampainya di rumah Haji Sodik. Aceng langsung berlari menubruk kaki ibunya yang sedang membetulkan konde. Sujud simpuh di kaki wanita yang melahirkannya.

+ “Huhuhu… Maak… Maak… Aceng dosa maaak!”
– “Masolooh, ada apa ceng. Ya oloh, konde gue ampe jatoh. Tolong pungut dong Ceng”
+ “Maakk.. Maak… Anakmu sengsara, eh engkau malah ngurusin konde..huhuhu”
– “Ada apa sih Ceng?”
+ “Maakkk… huhuhu… Aye lupa make kondom… huhuhu”
– “Yaelah namanya lupa kan sipat manusia. Eh, kondom emangnya apa sih, Ceng?”

Saya datang secepat mungkin. Menjelaskan pada Ibunya Aceng, kejadian runyam yang menimpa puteranya. Ibunya Aceng shock. Bukan karena ia sekarang mengetahui apa gunanya kondom, melainkan karena kelakuan anak yang disayanginya itu.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Rupanya Haji Sodik, bapaknya Aceng mendengar percakapan kami. Ia muncul dari balik kamar dengan golok di tangan. Saya segera mengamankan Aceng yang nampaknya akan menjadi korban kebrutalan bapaknya. Ibunya Aceng memeluk Bapaknya Aceng sambil menangis, mencegah tragedi berdarah.

+ “ANAK JADAAHHH…. ANAAK IBLISSS… SINI LOOO!!!”
– “Ba… huhuhu.. Baba… maapin aye Ba… huhuhu!
+ “UDAH GUE BILANG, TUH ANAK KAN ANAK SRETEN. KAPIIIRRR!!!”
– “Tapi… huhuhu… tapi… aye cinta ama Tince, Ba”
+ “MAKAN TUH CINTA!! SEKARANG APA MAO LOO ANAK SUNDEL!!”
– “Aye minta dikawinin ama Tince, Ba. Lamarin dong, Ba… Mak?… huhu”

Haji Sodik luluh hatinya. Melihat anaknya jatuh tertelungkup di tanah. Airmata Aceng berlinang-linang. Luluh hati orang tua yang menjadi ulama sesepuh kampung ini melihat anaknya bertubi-tubi mencium kakinya. Airmata dan ingus Aceng berleleran di sandalnya.

Terjadilah percakapan hati ke hati antara ayah dengan putera kesayangannya. Antara laki-laki dengan seorang laki-laki.
Ini percakapannya:

“Ceng… Dia kan orang sreten. Lo ngarti kagak? Lo kan orang Islam, mana bisa kawin ama orang sreten? Nanti anak lo gimana? Pada kapir semuanya, ngikut-ngikut emaknya? Ceng, kalo lo kawin ama si Tince, tujuh turunan kita bakalan malu”.

“Ba… Aye cinta ama Tince. Demi Tuhan aye cinta ama tuh kesayangan aye. Nanti kalo aye punya anak, pasti aye ajarin jadi orang bener, Ba… Mak. Nggak mungkin aya ajarin jadi maling, bandit, apalagi jadi koruptor. Pasti aye ajarin jadi orang bener, Ba… ”

“Ceng, kawin antar agama itu harom. Bukan cuman agama ajah yang bilang begitu. Ama negara juga kagak boleh. Kagak sah nikah lo kalo kawin ama si Tince”

“Ba… itu kan bisa-bisanya pemerintah aje. Dulu aje Jamal Mirdad bisa kawin ama Lidya Kandau. Masa aye nggak boleh ama si Tince?”

“Ceng, ampe kiamat juga nggak bakal gue ridoin kalo lo masih ama si Tince”. Haji Sodik, bapaknya Aceng berbalik. Hatinya luka, anaknya tidak mendengarkan perkataannya. Harga dirinya sebagai seorang ayah dan seorang sesepuh kampung terkoyak-koyak.

Aceng menangis tersedu-sedu. Ayah, tempatnya berlindung, memalingkan muka dari cita-cintanya. Ayah, sosok tegar tempatnya mengadu, tidak merestui jalan hidupnya.

Saya tidak mampu bicara apa-apa. Selain mengucapkan permisi, pamit pulang ke rumah. Hari minggu saya tiba-tiba penuh kabut gelap.

Hari berganti hari. Aceng harus kembali ke pekerjaannya yang sepi. Bertarung mencari nafkah bersama angin dan debur laut Karimun Jawa. Cintanya hilang seperti buih di pasir pantai cilincing.

Sedangkan Tince… Gadis manis kembang desa yang seksi, harus menyerah kalah atas keputusan ayahnya. Ia harus pergi, berimigrasi ke sebuah negeri yang jauh. Meninggalkan Cilincing, meninggalkan kisah cintanya yang lebih miris daripada kisah cinta film India.

Sementara sang bayi… Terpaksa diaborsi.
Pembunuhan itu dilakukan atas nama tuhan.