Katanya, hidup di Jakarta susah. Lebih susah lagi kalau tinggal di daerah susah. Seperti Cilincing misalnya. Desa ini tetap saja jadi sahabat akrab sensus IDT, Inpres Desa Tertinggal. Setiap tahun! Seakan tidak pernah ada kapoknya menjadi desa miskin. Duh gusti!

 

Saya pulang kampung, ke Cilincing, untuk menjadi guru. Menjadi salah satu staff pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta.

 

Ternyata tidak mudah menjadi staff pengajar di perguruan tinggi negeri. Staff baru, harus menjalani beberapa tahun (percobaan) dalam rangka dinas mengajar. Pada tahun-tahun (percobaan) itu, si pengajar disebut sebagai staff sementara. Artinya simpel, penghasilan dan fasilitas tidak sama seperti staff tetap. Namun, pekerjaan (umumnya) dua kali staff tetap. Yaitu, pertama, harus mengajar para mahasiswa. Kedua, harus jadi asisten gelap staff tetap (istilahnya: kacung dosen senior).

 

Waktu itu, saya berfikir baik. Sebab toh mimpi saya masih tetap terkabulkan. Saling berbagi ilmu dengan anak muda generasi baru ini. Namun ketika uang tabungan sudah mulai menipis, disedot biaya hidup hari-hari Jakarta. Saya sadar, hidup tidak bisa hanya dengan mimpi.

 

Nugi, teman sekaligus tetangga saya, menawarkan solusi jitu. Mungkin bosan dengan curhatan saya akan kerasnya ibukota, suatu hari ia berkata “Bang, lo kan punya motor! Ngojek aja. Mau ga?”. Saya menjawabnya dengan senyum dan langsung mengiyakan usul gemilangnya itu. Toh ngojek itu halal. Bukan kriminal.

 

Akhirnya, sejak saat itu, saya menjalani kehidupan ganda. Pagi hari sampai sore, menjadi dosen. Malamnya menjadi tukang ojek. Mangkal di pintu masuk komplek perumahan karyawan. Mirip Batman. Bedanya, saya masih tahu diri, tidak memperlihatkan kancut kepada publik seperti Batman lakukan.

 

Inilah sepenggal kisah ketika saya menjadi tukang ojek.

Sebuah dunia, yang saya lihat ketika bulan bertahta tengah malam. Ketika manusia-manusia lain tertidur lelap di pembaringan. Dunia di mana terlihat wajah-wajah kuyu menahan kantuk untuk tetap bertahan hidup.

Sebuah dunia… di mata seorang tukang ojek.

 

 

 

Sistematika perojekan (artinya: dunia ojek. Hehe) sebenarnya sederhana. Diantaranya adalah, siapa yang lebih dulu mangkal, dialah yang akan mendapatkan konsumen lebih dahulu. Semuanya berbaris rapi. Yang lebih lama mangkal, akan ada di urutan paling depan.

 

Ada aturan main dalam dunia perojekan. Pertama, jangan berebut ‘sewa’ dan ‘sewa tetap’. Sewa itu artinya siapa saja yang menggunakan jasa ojek. Sedangkan ‘sewa tetap’ artinya konsumen setia tukang ojek tertentu. Kedua, sesama tukang ojek tidak boleh memanggil ‘Jek’ kepada tukang ojek lainnya. Sebab nanti malah bikin bingung apabila ngobrol di pangkalan ojek.

 

Hari ketiga saya mangkal, sepi banget. Para ojeker’s (artinya: tukang ojek. Hehe) ramai-ramai main gaple. Malam semakin larut. Pukul 02.00 saya baru di urutan pertama. Sebuah angkutan malam berhenti di di pangkalan. Seorang wanita turun dan langsung menghampiri pangkalan ojek.

Lalu tawar menawar terjadilah.

 

+ “Kemana, Neng?”
– “Jalan kedondong. Berapa?”
+ “Lima ribu ya Neng?”
– “Mahal amat. Tiga ribu ya?”
+ “Yah, Neng. Bensin aja udah lima ribu seliternya”
– “Ke jalan kedondong kan ga menghabiskan seliter bensin. Empat ribu deh”

 

Helm saya bergoyang, mengangguk pertanda setuju. Walaupun dalam hati sedikit sedih, lima jam menunggu sewa, beli bensin seliter saja tidak bisa. Tapi biarlah, anggap saja dinamika. Saya lalu memberi helm kepada sewa penglaris ini.

 

Wanita muda itu melepas topi. Rambut panjangnya tergerai. Harumnya merayap perlahan di udara.

 

Darah saya berdesir. Wanita muda ini saya kenal. Ia bernama Rahayu. Salah seorang mahasiswi saya di kelas multimedia.

 

Jujur saja, dalam hati saya sempat khawatir, kalau-kalau si Rahayu ini akan buka-buka rahasia kehidupan ganda saya di kampus. Bisa-bisa saya diledek para mahasiswa. Dipanggil-panggil ‘Jak.. Jek..’ secara serampangan ketika mengajar.

 

Tapi biarlah. Biarlah si Rahayu ini akan ‘nyanyi’ di kampus, membeberkan identitas ganda saya. Biarlah para mahasiswa meledek saya dengan panggilan ‘Jak.. Jek..’. Biarlah rekan dosen lainnya melihat dengan tatapan sinis, seorang profesional yang melacurkan diri dari dunia akademisi demi bertahan hidup.

Biarlah.

Ojek bukan dosa.

 

Tapi nampaknya Rahayu tidak mengenali saya. Ia terlihat santai saja duduk di jok belakang. Mungkin karena saya yang memakai helm. Atau mungkin ia yang tidak peduli, siapa ojeknya, yang penting selamat sampai di rumah.

 

Akhirnya, malam itu, saya berhasil mengantarkan Rahayu dengan sukses. Esoknya di kampus, tidak ada mahasiswa yang cengar-cengir melihat saya sambil memanggil “Jek!”.

 

Rahayu tidak tahu identitas ganda saya.

 

Tiga hari kemudian, saya lihat Rahayu lagi. Turun dari angkutan malam. Ia menghampiri saya. Padahal saya tidak berada di urutan pertama. Nugi yang duduk di samping saya senyum dan berkata “Wah sekarang udah dapet sewa tetap nih, Bang”.

 

Waktu Rahayu menghampiri, dalam hati, saya deg-degan juga. Untung belum lepas helm. Sebab saya belum mau membongkar identitas ganda saya itu. Biarlah kehidupan ganda saya tetap menjadi misteri. Yaitu, misteri tukang ojek. Hehehe.

 

Saya menstarter motor. Tanpa diperintah, saya tahu, tujuan konsumen saya adalah Jalan Kedondong.

 

Sesampainya di tujuan. Ia memberikan helm saya balik dengan selembar uang dua puluh ribu. Saya merogoh dompet di saku belakang, mencari uang kembali. Hingga terdengar suaranya perlahan, “Nggak usah dibalikin, Pak”.

 

Dari balik helm, saya menatap ragu kepada Rahayu. Wah, besar sekali tip malam ini. Kemarin-kemarin nawar gila-gilaan. Hari ini kok ngasih tip gila-gilaan. Hingga akhirnya saya sadar, ia memanggil saya dengan sebutan “Pak”. Saya melepas helm. Melepas misteri tukang ojek.

 

– “Udah berapa lama ngojek, Pak?”
+ “Baru seminggu, Yu. Kok kamu tahu yang ngojek itu saya?”
– “Dari awal, udah curiga sih. Akhirnya kemarin saya ke parkiran dosen. Nanya satpam, pelat nomor motor bapak”

 

Saya senyum. Lalu permisi balik ke pangkalan.

 

Di pangkalan, saya bertemu Nugi. Lalu cerita bahwa seorang sewa memberikan uang tip yang cukup besar.

 

+ “Gi, alhamdulillah banget nih malem. Dapet tip 16 ribu”
– “Dari perempuan yang tadi itu, Bang?”
+ “Ho oh”
– “Wajar Bang. Dia mah penghasilannya emang gede”
+ “Emang kerja apaan dia, Gi?” (*kata saya pura-pura bego*)
– “Ayam kampus. Tuh anak penari striptis di Diskotik Sunter, Bang”
+ “Ah masa sih!” (*mata saya membelalak, tidak percaya*)
– “Biasanya mah dia nggak pake ojek, Bang. Pake sedan. Dianter bos-bos pulang ke kostannya”
+ “Tau dari mana?” (*saya masih ngotot, ga percaya*)
– “Pake mata kepala sendiri! Saya liat dia di Diskotik Sunter. Joget-joget telanjang!”.

 

Saya tidak melanjutkan debat saya dengan Nugi. Motor saya starter, pulang menuju rumah. Misteri tukang ojek ternyata tidak ada apa-apanya dibanding misteri tukang striptis.

 

Tapi biarlah semua itu tetap menjadi misteri. Saya tidak akan membuka misteri Rahayu yang mempunyai kehidupan ganda. Sebagai mahasiswi dan juga sebagai pemuas nafsu pria. Sebagaimana saya yakin Rahayu juga tidak akan membuka rahasia saya, sebagai dosen di pagi hari dan tukang ojek pada malamnya.

 

Adzan subuh berkumandang. Identitas ganda saya sebagai tukang ojek menghilang. Berganti menjadi identitas lainnya.