(Seharusnya saya ganti tag blog saya menjadi “BANGAIP: cerita-cerita jadul (mantan) anak muda Cilincing”. Abis ceritanya jadul mulu. Diprotes ama banyak orang. Tetep aja maksa cerita jadul. Haduh! Baydewey penonton… Ini cerita jadul yang diilhami setelah pulang tahlilan tadi malem.)

Saya, Sanip dan Aceng, selain bertetangga kami juga sekolah di SMA yang sama. Seperti halnya lulusan baru lainnya, di pundak kami terpampang beban-beban tersendiri, diantaranya adalah orangtua kami yang jelas-jelas mengharapkan anaknya cari sekolah atau cari kerja. Malu atuh jadi pengangguran, kata Pak RW dalam pidato desa.

Baru saja lulus SMA, kami jelas-jelas kebingungan. ABG, bau kencur, bloon akibat pengetahuan minim mengenai orientasi pekerjaan dan sekolah di masa depan. Mau jadi apaan? Masak menambah pengangguran baru Cilincing? Nanti ujung-ujungnya jadi preman atau maling. Mirip-mirip senior-senior kami.

Berhubung kami orangnya cuek, maka kami lebih memilih nongkrong-nongkrong saja di pinggir jalan. Setiap malem, main remi dan menyanyikan lagu-lagu cinta Black Brothers, diantaranya ‘Kisah Seorang Pramuria’, lagu wajib anak tongkrongan.

Emaknya Sanip adalah orang yang paling marah melihat kondisi kami saat itu.”Eh bocah-bocah… Edan pada lo yee… Sekolah kagak, kerja kagak, mao jadi apa lo pada! Sanip pulang lo. Jangan nongkrong ama begundal-begundal kagak jelas masa depannya. Ayo pulang!”, omel Emaknya Sanip pada suatu malam.

Sanip, walaupun anak kampung, bacaannya Kahlil Gibran. Kali ini ia melawan emaknya. “Mak, aye pan udah gede. Aye emang terlahir dari rahimmu. Tapi aye pan adalah anak panah yang meluncur sendiri. Dirimu bagaikan busur. Sementara diriku adalah anak panahnya. Biarkanlah diriku meluncur bebas”. Buset dah! Sanip melawan Emaknya dengan menyitir kalimat Kahlil Gibran.

Emaknya Sanip jelas marah, “Eh gemblung! Lo kata apa? Abong-abong baru lulus SMA lo udah berani-beraninya ngomongin rahim gue didepan temen-temen lo. Doraka lo… Dosaaa… Dosaaa…!” Emaknya Sanip ngangkat sarung, lalu menjewer Sanip. Sanip pulang dengan terpaksa.

Besoknya, kami semua mendengar bahwa Sanip dijodohkan dengan Minah. Anaknya Bu Sirol, pedagang nasi uduk dekat Pasar Jongkok.

Saya dan Aceng ke rumah Sanip, konfirmasi. Sanip membenarkan isu tersebut. Emaknya menjodohkannya dengan Minah, katanya ‘agar ada peningkatan idup’. Sanip sih setuju-setuju saja. Abis Minah montok banget. Maklum kembang desa. Sanip bagaikan ketiban duren jatuh ketika dijodohkan dengan Minah.

Karena Sanip mulai program peningkatan hidup. Maka saya dan Aceng ikut-ikutan program tersebut. Saya ikut UMPTN. Sementara Aceng, ngelamar kerja jadi pekerja rigging, penambangan minyak lepas pantai. Tapi diantara kami, Sanip yang lebih dulu sukses. Ia diterima di sebuah instansi angkatan bersenjata Indonesia. Mungkin akibat doa Emaknya (dan mungkin akibat Sanip yang malu ama calon mertuanya kalo nggak punya kerjaan).

Sanip akhirnya mengikuti pendidikan bersenjatanya. Emaknya Sanip bangga sekali. Setiap bertemu ibu-ibu lainnya di pasar (atau di arisan, atau di pengajian musola), beliau selalu berkata, “Iye nih, si Sanip mah sekarang udah jadi orang bener. Sekarang anak aye jadi kiminir”.

Apabila orang-orang bertanya, apa artinya kiminir. Emaknya Sanip berkata “Buset dah, itu tuh, masa lo kagak tau. Kiminir itu ABRI yang berenang-berenang. Kiminir itu dulunya KKO tau!”
(*Maap, para anggota marinir yang baca tulisan ini. Kiminir maksud sebenarnya adalah marinir. Emaknya Sanip lidahnya memang lidah betawi. Maklum aja yee*)

Dalam pendidikannya, Sanip jelas-jelas kangen terhadap Minah, wanita impiannya. Setiap minggu, ia tidak pernah absen mengirim surat cinta kepada Minah. Ini kutipan surat cintanya;

“Minah, dirimu walaupun jauh di mata tetap dekat di hati. Diriku selalu merindukanmu, bidadariku. Nafasmu selalu abadi di jantungku. Namamu bagaikan lagu setiap malam mengiringi mimpi indahku. Apabila dapat bicara, awan dan hujan pasti berkata kepadamu, mengirimkan suara rindu dalam hatiku…”

Romantisme Sanip yang mengidolakan Kahlil Gibran dan Sapardi Djoko Damono, rupanya tidak lekang ditengah tempaan kerasnya pendidikan militer yang tengah ia jalani. Minah, sang kembang dusun, rupanya tidak kalah romantisnya. Ia menulis surat balasan kepada calon suaminya itu. Begini kutipannya;

“Bang Sanip. Andaikan dirimu tokoh wayang, pastilah kakanda Arjuna. Ngganteng, gagah perwira, dan dipuja wanita. Tapi jangan plarak-plirik yaa Bang. Jangan lupa karo inyong (‘kepada saya’, dalam bahasa Tegal), Bang. Teruslah maju Bang. Aku selalu menantikanmu, Kakandaku yang pemberani”.

Kisah cinta melalui berlembar-lembar kertas yang diperantarai Pak Pos ini nampaknya semakin hangat. Sebab Sanip menelepon saya yang sedang di Bandung. Ia berkata, apabila pendidikannya selesai, maka ia akan melepas masa lajangnya.

Sanip dan Minah, melalui surat-surat cinta bombastis, yang semakin panas dan tidak layak saya kutip dalam tulisan ini, mulai menyusun rencana pernikahan. Siapa saja yang diundang, berapa banyak makanan untuk resepsi, kartu undangan sampai tukang pantun, dibicarakan melalui surat-surat cinta.

Akhirnya didapatlah hari baik dan bulan baiknya. Pernikahan akan dilangsungkan sebulan setelah Sanip menyelesaikan pendidikan militernya. Ia akan naik pelaminan melawan Minah. Sanip sumringah. Minah gembira. Mertua Sanip, Bu Sirol, bangga dapet menantu seorang satria pembela negara. Pendeknya semua pihak bahagia deh. Emaknya Sanip sampe-sampe sujud sukur, anaknya mengikuti sunah rosul yang paling cihuy.

Sayang sekali, malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih. Seminggu setelah Sanip pulang kampung setelah menyelesaikan pendidikan militernya, ia mendapat panggilan tugas negara. Ia berkata pada Minah, “Min, Abang pegi yee. Abang pasti kembali. Trus kita kawin deh, Min. Jangan takut, di hati aye, hanya Minah seorang”.

Minah menunduk lesu. Kartu undangan telah disebar. Penghulu telah dihubungi. Katering ibu-ibu pengajian musolah sudah siap. Namun, Arjunanya harus pergi. Cinta dua merpati ini mengalami terjangan angin cobaan. Namun apa yang harus dilakukan selain pasrah dan berdoa semuanya baik-baik saja?

Akhirnya, Sanip pergi. Tugas pertama. Tugas terberat. Ia harus ke Aceh. Terjun ke medan pertempuran. Berada di garis depan. Tugas yang berat. Namun sebagai abdi negara, Sanip menerimanya dengan tabah.

Walaupun berada di garis depan. Sanip tetap lah prajurit romantis. Ia tetap menghujani Minah dengan surat-surat cintanya. Diantaranya adalah;
“Minah, Aceh ini sungguh indah tiada tara. Sayang sekali abang harus pegi dimari gara-gara perang. Andai kagak ada perang, pasti ini daerah bulan madu kita yang paling indah. Minah, rinduku padamu, bagaikan ombak lautan Aceh yang tiada berhenti…”

Demikianlah surat-surat itu berlangsung. Sedemikian panas. Sedemikian romantis. Sedemikian indah jalinan kata-kata. Hingga hanya prangko dan amplop adalah saksi cinta mereka.

Hingga suatu hari… Sebuah mobil kijang berplat militer berhenti di depan rumahnya Sanip. Minah yang sedang menjemur pakaian berlari menuju rumahnya Sanip. Dengan wajah ceria tiada tara. menyambut sang kekasih tercinta.
Dari mobil itu, muncul seorang laki-laki gagah perkasa berseragam dinas lapangan. Emaknya Sanip yang sedang menyapu pekarangan terkaget-kaget melihat lelaki yang belum pernah dilihatnya itu.

Minah melihat. Laki-laki itu bukan Sanip. Sebab tanda pangkatnya lebih tinggi daripada Sanip yang masih Sersan Dua. Ia membawa sebuah bendera merah putih. Menyodorkan bendera tersebut dengan takzim sambil berkata-kata kepada Emaknya Sanip.

Emaknya Sanip jatuh terduduk. Lelaki itu mengabarkan, anaknya tewas diseberang lautan. Minah tidak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Airmatanya meleleh di pipinya yang tersorot panas sinar matahari siang Cilincing.

(Tadi malam, tahlilan, untuk semua prajurit TNI maupun prajurit AGAM yang meninggal dalam kontak senjata di Aceh. Semoga arwah mereka damai disisi-Nya. Semoga perdamaian ini tetap ada. Semoga perang berhenti di Indonesia. Karena sudah terlalu banyak menelan korban).