(Seharusnya saya ganti tag blog saya menjadi “BANGAIP: cerita-cerita jadul (mantan) anak muda Cilincing”. Abis ceritanya jadul mulu. Diprotes ama banyak orang. Tetep aja maksa cerita jadul. Haduh! Baydewey penonton… Ini cerita jadul yang diilhami setelah pulang tahlilan tadi malem.)
Saya, Sanip dan Aceng, selain bertetangga kami juga sekolah di SMA yang sama. Seperti halnya lulusan baru lainnya, di pundak kami terpampang beban-beban tersendiri, diantaranya adalah orangtua kami yang jelas-jelas mengharapkan anaknya cari sekolah atau cari kerja. Malu atuh jadi pengangguran, kata Pak RW dalam pidato desa.
Baru saja lulus SMA, kami jelas-jelas kebingungan. ABG, bau kencur, bloon akibat pengetahuan minim mengenai orientasi pekerjaan dan sekolah di masa depan. Mau jadi apaan? Masak menambah pengangguran baru Cilincing? Nanti ujung-ujungnya jadi preman atau maling. Mirip-mirip senior-senior kami.
Berhubung kami orangnya cuek, maka kami lebih memilih nongkrong-nongkrong saja di pinggir jalan. Setiap malem, main remi dan menyanyikan lagu-lagu cinta Black Brothers, diantaranya ‘Kisah Seorang Pramuria’, lagu wajib anak tongkrongan.
Emaknya Sanip adalah orang yang paling marah melihat kondisi kami saat itu.”Eh bocah-bocah… Edan pada lo yee… Sekolah kagak, kerja kagak, mao jadi apa lo pada! Sanip pulang lo. Jangan nongkrong ama begundal-begundal kagak jelas masa depannya. Ayo pulang!”, omel Emaknya Sanip pada suatu malam.
Sanip, walaupun anak kampung, bacaannya Kahlil Gibran. Kali ini ia melawan emaknya. “Mak, aye pan udah gede. Aye emang terlahir dari rahimmu. Tapi aye pan adalah anak panah yang meluncur sendiri. Dirimu bagaikan busur. Sementara diriku adalah anak panahnya. Biarkanlah diriku meluncur bebas”. Buset dah! Sanip melawan Emaknya dengan menyitir kalimat Kahlil Gibran.
Emaknya Sanip jelas marah, “Eh gemblung! Lo kata apa? Abong-abong baru lulus SMA lo udah berani-beraninya ngomongin rahim gue didepan temen-temen lo. Doraka lo… Dosaaa… Dosaaa…!” Emaknya Sanip ngangkat sarung, lalu menjewer Sanip. Sanip pulang dengan terpaksa.
Besoknya, kami semua mendengar bahwa Sanip dijodohkan dengan Minah. Anaknya Bu Sirol, pedagang nasi uduk dekat Pasar Jongkok.
Saya dan Aceng ke rumah Sanip, konfirmasi. Sanip membenarkan isu tersebut. Emaknya menjodohkannya dengan Minah, katanya ‘agar ada peningkatan idup’. Sanip sih setuju-setuju saja. Abis Minah montok banget. Maklum kembang desa. Sanip bagaikan ketiban duren jatuh ketika dijodohkan dengan Minah.
Karena Sanip mulai program peningkatan hidup. Maka saya dan Aceng ikut-ikutan program tersebut. Saya ikut UMPTN. Sementara Aceng, ngelamar kerja jadi pekerja rigging, penambangan minyak lepas pantai. Tapi diantara kami, Sanip yang lebih dulu sukses. Ia diterima di sebuah instansi angkatan bersenjata Indonesia. Mungkin akibat doa Emaknya (dan mungkin akibat Sanip yang malu ama calon mertuanya kalo nggak punya kerjaan).
Sanip akhirnya mengikuti pendidikan bersenjatanya. Emaknya Sanip bangga sekali. Setiap bertemu ibu-ibu lainnya di pasar (atau di arisan, atau di pengajian musola), beliau selalu berkata, “Iye nih, si Sanip mah sekarang udah jadi orang bener. Sekarang anak aye jadi kiminir”.
Apabila orang-orang bertanya, apa artinya kiminir. Emaknya Sanip berkata “Buset dah, itu tuh, masa lo kagak tau. Kiminir itu ABRI yang berenang-berenang. Kiminir itu dulunya KKO tau!”
(*Maap, para anggota marinir yang baca tulisan ini. Kiminir maksud sebenarnya adalah marinir. Emaknya Sanip lidahnya memang lidah betawi. Maklum aja yee*)
Dalam pendidikannya, Sanip jelas-jelas kangen terhadap Minah, wanita impiannya. Setiap minggu, ia tidak pernah absen mengirim surat cinta kepada Minah. Ini kutipan surat cintanya;
“Minah, dirimu walaupun jauh di mata tetap dekat di hati. Diriku selalu merindukanmu, bidadariku. Nafasmu selalu abadi di jantungku. Namamu bagaikan lagu setiap malam mengiringi mimpi indahku. Apabila dapat bicara, awan dan hujan pasti berkata kepadamu, mengirimkan suara rindu dalam hatiku…”
Romantisme Sanip yang mengidolakan Kahlil Gibran dan Sapardi Djoko Damono, rupanya tidak lekang ditengah tempaan kerasnya pendidikan militer yang tengah ia jalani. Minah, sang kembang dusun, rupanya tidak kalah romantisnya. Ia menulis surat balasan kepada calon suaminya itu. Begini kutipannya;
“Bang Sanip. Andaikan dirimu tokoh wayang, pastilah kakanda Arjuna. Ngganteng, gagah perwira, dan dipuja wanita. Tapi jangan plarak-plirik yaa Bang. Jangan lupa karo inyong (‘kepada saya’, dalam bahasa Tegal), Bang. Teruslah maju Bang. Aku selalu menantikanmu, Kakandaku yang pemberani”.
Kisah cinta melalui berlembar-lembar kertas yang diperantarai Pak Pos ini nampaknya semakin hangat. Sebab Sanip menelepon saya yang sedang di Bandung. Ia berkata, apabila pendidikannya selesai, maka ia akan melepas masa lajangnya.
Sanip dan Minah, melalui surat-surat cinta bombastis, yang semakin panas dan tidak layak saya kutip dalam tulisan ini, mulai menyusun rencana pernikahan. Siapa saja yang diundang, berapa banyak makanan untuk resepsi, kartu undangan sampai tukang pantun, dibicarakan melalui surat-surat cinta.
Akhirnya didapatlah hari baik dan bulan baiknya. Pernikahan akan dilangsungkan sebulan setelah Sanip menyelesaikan pendidikan militernya. Ia akan naik pelaminan melawan Minah. Sanip sumringah. Minah gembira. Mertua Sanip, Bu Sirol, bangga dapet menantu seorang satria pembela negara. Pendeknya semua pihak bahagia deh. Emaknya Sanip sampe-sampe sujud sukur, anaknya mengikuti sunah rosul yang paling cihuy.
Sayang sekali, malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih. Seminggu setelah Sanip pulang kampung setelah menyelesaikan pendidikan militernya, ia mendapat panggilan tugas negara. Ia berkata pada Minah, “Min, Abang pegi yee. Abang pasti kembali. Trus kita kawin deh, Min. Jangan takut, di hati aye, hanya Minah seorang”.
Minah menunduk lesu. Kartu undangan telah disebar. Penghulu telah dihubungi. Katering ibu-ibu pengajian musolah sudah siap. Namun, Arjunanya harus pergi. Cinta dua merpati ini mengalami terjangan angin cobaan. Namun apa yang harus dilakukan selain pasrah dan berdoa semuanya baik-baik saja?
Akhirnya, Sanip pergi. Tugas pertama. Tugas terberat. Ia harus ke Aceh. Terjun ke medan pertempuran. Berada di garis depan. Tugas yang berat. Namun sebagai abdi negara, Sanip menerimanya dengan tabah.
Walaupun berada di garis depan. Sanip tetap lah prajurit romantis. Ia tetap menghujani Minah dengan surat-surat cintanya. Diantaranya adalah;
“Minah, Aceh ini sungguh indah tiada tara. Sayang sekali abang harus pegi dimari gara-gara perang. Andai kagak ada perang, pasti ini daerah bulan madu kita yang paling indah. Minah, rinduku padamu, bagaikan ombak lautan Aceh yang tiada berhenti…”
Demikianlah surat-surat itu berlangsung. Sedemikian panas. Sedemikian romantis. Sedemikian indah jalinan kata-kata. Hingga hanya prangko dan amplop adalah saksi cinta mereka.
Hingga suatu hari… Sebuah mobil kijang berplat militer berhenti di depan rumahnya Sanip. Minah yang sedang menjemur pakaian berlari menuju rumahnya Sanip. Dengan wajah ceria tiada tara. menyambut sang kekasih tercinta.
Dari mobil itu, muncul seorang laki-laki gagah perkasa berseragam dinas lapangan. Emaknya Sanip yang sedang menyapu pekarangan terkaget-kaget melihat lelaki yang belum pernah dilihatnya itu.
Minah melihat. Laki-laki itu bukan Sanip. Sebab tanda pangkatnya lebih tinggi daripada Sanip yang masih Sersan Dua. Ia membawa sebuah bendera merah putih. Menyodorkan bendera tersebut dengan takzim sambil berkata-kata kepada Emaknya Sanip.
Emaknya Sanip jatuh terduduk. Lelaki itu mengabarkan, anaknya tewas diseberang lautan. Minah tidak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Airmatanya meleleh di pipinya yang tersorot panas sinar matahari siang Cilincing.
(Tadi malam, tahlilan, untuk semua prajurit TNI maupun prajurit AGAM yang meninggal dalam kontak senjata di Aceh. Semoga arwah mereka damai disisi-Nya. Semoga perdamaian ini tetap ada. Semoga perang berhenti di Indonesia. Karena sudah terlalu banyak menelan korban).
Maret 7, 2007 at 1:21 am
Sementara para jendral dan panglima itu hidup bermewah-mewah, rakyat kecil, tentara kecil, serdadu bawahan saja yang harus jadi tumbal!
Masihkah ada alasan untuk berperang?
* Kecele.. gara-gara babi ngepet, saya kira ceritanya bakal bikin nyengir lagi, gak taunya…*
Semoga perang seporadis di Maluku, Papua dan Poso segera usai dengan tuntas. Semoga anak-anak baru generasi saat ini tidak harus ikut Wajib Militer yang bodoh itu.
Maret 7, 2007 at 1:23 am
Innalillahi wainnalillahi rajiun, semoga amal mereka menjadi penerang jalannya. Semoga kedamaian di bumi ini, meski ga mungkin selama manusia punya nafsu…so sad..:(
Terimakasih atas doanya Bu Dokter.
Maret 7, 2007 at 2:34 am
aduh, sedih…gak bisa komen selain itu krn ini sambil dengerin berita Garuda meledak di Adisucipto,hampir semua terbakar.
Innalillahi. Saya juga kaget. Sebab beberapa hari yang lalu masih ketemu bapak Dien Syamsuddin di sebuah pertemuan. Katanya beliau juga jadi korban di pesawat garuda itu (kata detik dot com). Tapi alhamdulillah beliau selamat.
Maret 7, 2007 at 2:35 am
jadi teringat wejangan kangmas ndoro kakung, selalu ada kejutan di balik tikungan!!
Perang memang ga pernah ada gunanya, seadainya memang damai itu ada, setipa orang hidup dengan jujur, apa adanya..alangkah indahnya hidup ini ya bang…
Bener Neng. Indah euyyy…
Maret 7, 2007 at 3:29 am
🙂
Maret 7, 2007 at 4:09 am
Innalillahi wainnaillaihi rajiun…
Terharu… *hiks*
iya bener, rata-rata yang jadi korban adalah tentara kecil… jarang terdengar deh orang berpangkat jadi korban!
Kalo aku ngebayangin gimana kalo jadi minah??
Iya… rakyat selalu jadi korban. Sebentar lagi ada WAMIL (Wajib Militer), rakyat lagi pasti yang jadi korban. Ada undang-undang perburuhan baru, rakyat lagi yang jadi korban. Perpanjangan direksi/kontrak Exxon dan Freeport, rakyat lagi yang jadi korban. Pemilu para jawara jual bacot, rakyat lagi yang jadi korban.
Rakyat selalu jadi korban.
(*Perihh*)
Maret 7, 2007 at 4:53 am
waduhh, ngerem mendadak nih! kirain endingnya lucu juga, hikss…jadi inget om se-batalyon babe yg juga meninggal di timor dan ga’ ketauan jasadnya.
semoga Tuhan menyambut kedatangan mereka dengan suka cita, seperti juga Tuhan menyambut korban-korban bencana di Indonesia (setelah tanah longsor&gempa, sekarang kecelakaan pesawat lagi&lagi)
Maap yaa kalo ngerem mendadak!
Maret 7, 2007 at 5:40 am
kasian si minah 😦
Iya. Minah tiga hari nggak makan setelah peristiwa itu. Trus nggak ngomong selama tiga bulan. Hatinya benar-benar terluka.
Maret 7, 2007 at 6:52 am
Turut berduka cita atas tewasnya sanip-sanip yang lain,
Kepada para jenderal yang sepatunya belum pernah menginjak medan perang,
hentikan peperangan dengan saudara sendiri.
Mina gmana? dah ada yang nggantiin belon? he…he…he..
Udah.. udahhh…
Maret 7, 2007 at 6:54 am
trus si minah kawin ma sape bang?
Ama padli, penganter pizza hut yang dines di kalimantan. Sekarang udah punya anak dua. Pas banjir kemaren, anaknya yang bontot, cacingan.
Maret 7, 2007 at 7:37 am
kayaknya bersambung nih, si aceng belum dicritain tuh
Ini nihh, tiap dateng maonya bersambung ajee… hehe
Maret 7, 2007 at 8:20 am
untung sanip..bukan sanny.. *halaahh*
Sanny paan tuh? Merek tipi?
Maret 7, 2007 at 9:51 am
bang, gimane kalo ente bikin buku aje..
nih blog di bukukan aje, kayak tinneke carmen getooh…
ntar di kata pengantar ditulis juga nama aye..biar ikutan ngetop…
xixixixixixi
Hehehe… Emang penerbit Jogja ada yang mao, Dit? Hehehe. Baydewey, saya maonya Carmen Electra, bukan tinneke Carmen. Hehehe
Maret 7, 2007 at 10:20 am
😦
kisah yang mengharukan…
Iya mas halludba. Ayo jangan terharu saja. Ayo kita hentikan perang. Minimal menulis pesan perdamaian untuk Poso yang meledak terus.
Maret 7, 2007 at 10:35 am
Setuju sama didit, buku sampean kalau model seperti ini kemudian masuk di perpustakaan sekolah lebih asyik dan bisa memberikan apresiasi untuk siswa (setingkat SMA) untuk bisa belajar kehidupan lebih banyak. bagaimana kang?
Hehehe… Waduh, makin banyak saja yang nyuruh ditulis ke buku. Pak Guru, selain bahasa saya tidak bagus, penerbit juga belum melirik blog ini. Hehehe.
Maret 7, 2007 at 11:58 am
Iya, setuju… 😥
Kata Kapten Tsubasa,
Walaupun Indonesia tetap bakal tergilas, sih. 🙄
-komik jadul, hehehe… (tetap nggak mau kalah sama si penulis blog yang doyan cerita jadul 😀 ) –
Yang nulis jadul, yang komen juga jadul. Kayaknya bener deh, tag blog ini harus dirubah. Hehehe.
BTW saya tetap selalu
pesimisoptimis dengan PERSIJAKUT (PERsatuan SIpakbola JAKarta UTara) akan menjadi juara piala Champion (*minimal tarkam*)Maret 7, 2007 at 1:34 pm
Ada gak kisah tentang Balada Cinta Jenderal Sarap
Maksudnya yang gugur
mati mengenaskanseperti itu adalah sang jenderal, bukannya bawahan2 seperti bang Sanip.Aku jadi penasaran, Bang Arif ini pakar sastra, pakar teknologi, pakar grafis atau pakar apa ya?
Kayaknya Bang Arif ini bener2 gado2 ya..mbok bagi2 😀
Jangan penasaran King. Kalo penasaran, nanti kamu bisa bikin lagu, rambutnya kribo, membuat grup ben namanya Soneta Grup, trus doyan kawin. Bahaya! Jangan sampe penasaran! Sebab saya emang bukan pakar. Hehehe.
Maret 7, 2007 at 1:47 pm
aduh kasihan si minah, tp lebih kasihan lagi klo udah jadi kawin.
jadulannya kog ada2 aja, bang arip(ikutan manggil bang..) ini emang pande cerita, btw skr lagi dimana?
Iya, banyak orang yang bingung, cerita saya aneh-aneh. Jangankan situ, saya juga bingung, Mbak Kenny. Tapi kalo di cilincing (cerita saya) mah ga ada apa-apanya. Temen-temen saya, cerita (pengalamannya) lebih aneh-aneh lagi. Misalnya si Uung, tetangga saya, direkrut jadi bajak laut. Aneh kan!
BTW, sekarang lagi muter-muter ajah. Maklum, tukang kridit… hehe
Maret 7, 2007 at 2:23 pm
hmmm..jadi pengen nangis neh..I Hate War…perang itu disebabkan karena kita haus kekuasaan…karena kita serakah.,Damailah Negeriku..
Iya euy… Damai di bumi.. damai di hati. Ayo jangan menangis. Ayo kita jaga perdamaian selalu.
Maret 7, 2007 at 3:40 pm
Sanip wafat bukan karena apa-apa dan tidak untuk siapa-siapa?. Sanip kembali kepadaNya, dan Minah kembali pada pilihan-pilihan yang mungkin belum diketahuinya. Salam utk ketabahan Minah ya….
Insaoloh kalo ketemu Minah akan saya sampein Pak. BTW, Segala yang bernyawa pasti akan kembali kepada penciptanya.
Maret 8, 2007 at 4:02 am
Sanny ..calon pendamping hidupkuh 😛
eh beneran nieh mas arif ..dibuku-in aj bagus loh cerita2nya 😀
Ceilee.. suit-suit… undang-undang yaaa kalo merit. Aniwey, makasih usulnya. Belum dilirik penerbit euy. Hehehe.
Maret 8, 2007 at 5:54 am
hmm… ceritanyah menarik!
trus.. si aceng apa kabar tuh? ko ga diceritain lagih? apa endingnya si minah nikah ma si aceng? :p
Nggak, Minah kawin ama padli. Aceng kawin ama rina, anak pandeglang.
Maret 8, 2007 at 5:58 am
dalam berjuang perlu pengorbanan tetapi pengorbanan yang di berikan cukup besar pada dampak yang ada. Ibu yg membesarkan serasa kehilangan, istri yang tercinta bagai kehilangan jiwa. Tetapi ingatlah saat pertama melepaskan anak, suami, abang dan lain untuk menjadi pembela negara semua berita tentang itu harus sudah siap di terima. Dalam hal lain Perjanjian usia yg telah di berikan Allah pada umatnya itu tidak akan bisa terlambat walaupun seditik. kesimpulan dari saya relakan sanif pergi, tetapi jangan salahkan sebabnya. karena itu sudah satu jalan yg di gariskan. walaupun sanif tidak menerjuni propesi itu dia akan tetap di panggil oleh Allah Swt. yg terpenting berikan do’a agar sanif bisa di terima amal ibadahnya …. Amin
Iya sih Mas, namanya maut, jodoh, rejeki… pasti ada yang ngatur. Sayang aja, Sanip harus jadi korban kepentingan. Beberapa teman saya yang di AGAM juga meninggal. Rasanya sedih sekali. Walaupun saya coba tabah-tabahkan… kadang-kadang suka nangis juga kalau ingat bahwa mereka sama-sama saudara saya. Namun dipaksa untuk saling membunuh.
Maret 8, 2007 at 7:33 am
DUKUNG PAK DHE ARIF NERBITIN BUKU!!
Masa’ tulisan bermutu ka’ gini ga ada penerbit yg nglirik sih, apa krn setting jadulnya dinilai ga sesuai dgn ABG saat ini. Secara! (bhs gaul saat ini) chicklit yg booming itu justru ceritanya ga brmutu.
Saya dpt buku versi gratisnya to pak??
Whehehe… ebooknya pasti gratis. Tapi tulisan di blog ini juga gratis kok. Hahaha. Selamat menikmati gratisan ini. Hehehe.
Maret 8, 2007 at 7:38 am
@ ndahmaldiniwati
Lho? Buku gratisnya Bang Aip ya di sini ini… di blog-nya gitu lho:mrgreen: . Kecuali pakai bayar internet sih 😛 .
Btw, seandainya jadi bikin buku, bakal ada ‘edisi khusus’-nya nggak ya? (maksudnya ada cerita yang nggak ditulis di blog, gitu… 😉 )
Waduh… ini udah pada serius nihh… hehehe
Maret 8, 2007 at 10:44 am
kasihan, tragis, jadi sedih…
Iya euy. Ayo jangan sedih. Ayo tetap jaga perdamaian. Minimal membantu agar perdamaian tetap terjaga. Aminn.
Maret 8, 2007 at 5:03 pm
Turut berduka cita…
Terimakasih.
Semoga dalam doanya, terselip doa untuk menghentikan gelar kekuatan militer di ambalat dan perpu wajib militer yang sama sekali tidak perlu.
Maret 8, 2007 at 5:10 pm
tulisan lo.. kaya andrea hirata.. cuma dalam gaya dan pengalaman yang berbeda *lah terus samanya dimana? ekekeekek*..
tapi gue udah nyangka.. lo pasti menukik di akhir cerita.. bener ajah.. hehehe.. maju terus rip!! gue setuju kalo lo bikin buku…
makasih aaqq. Sodaraan yaa ama AA gym?
Hehehe
Maret 8, 2007 at 6:04 pm
mungkin memang begitu ya yg namanya perang. pasti ada yg meninggal. nasib militer mmg begitu?
Sebenernya bukan perangnya atau karena apa… sih. Tapi untuk apa… Untuk apa Sanip meninggal?
BTW ini pertanyaan bagus. Sebab saat ini sedang digodok (oleh anggota dewan yang tercinta) peraturan yang memaksa para militer menggelar kekuatan di Ambalat.
Bagi saya itu bodoh. Gelar kekuatan? Emangnya kita kingkong!
Maka itu saya menulis cerita ini. Semoga ada pembaca tulisan ini yang sanggup mengubah ‘kekerasan’ militer menjadi perdamaian. Dan menghentikan gelar kekuatan, atau Perpu Wajib Militer yang hanya bikin utang tambah banyak pada LN
Maret 8, 2007 at 8:31 pm
jd.. sebenernya kenapa gam dan abri itu tidak berakhir2 perangnya? ‘secara’ dirimu pasti dapet cerita dari kedua belah pihak….
Sekarang sudah. Tapi saya nggak bisa membeberkannya di muka publik. Mengenai hal itu Otto kumis (Otto Syamsuddin Ishak) sudah menuliskannya. (*lalu ia dikejar-kejar pembunuh misterius sejak menuliskan masalah itu, hehe*)
Maret 9, 2007 at 12:23 am
duh, ceritanya sedih :-(. padahal pengen nanya, gimana bisa dapet kutipan surat2 cinta-nya, secara surat cinta kan biasanya private and confidential ;-).
Oh iya lupa ngasih tau.. saya editornya. Hehehe. Sanipp (alm) biasanya ngirim surat ke saya dulu. Terus saya perbaiki ejaannya atau kalo kurang romantis (hehe). Lalu saya kirimkan lagi ke mabesnya. Trus dari sana, si Sanip baru ngirim ke minah. Hehehe. Gitu ceritanya, Mbak.
Maret 9, 2007 at 1:25 am
Ini cerita kapan yah ?? soalnya ada bahasa jadul2 nya, he he he,
perlu menyesuaikan diri dulu nih,
Waktu belum ada perdamaian antara RI dengan GAM
Maret 9, 2007 at 2:09 am
Minah tabahkan dirimu… lebih baik jd janda sebelum nikah drpd janda setelah nikah.
Minah sudah bahagia sekarang dengan kedua anaknya dan suaminya yang tercinta. Biarlah dia tetap berbahagia.
Maret 9, 2007 at 3:14 am
eh minta alamat nya si minah dong….
Knapa, napsu yaaa?
😀
Maret 10, 2007 at 1:33 pm
sanip meninggal membela negara….
Minah ditinggal semoga menjadi dewasa dan dapat hikmahnya….
selalu di “dor” di ending neh mas….
Kasian kalo di ‘dor’ di awal. Itu namanya ejakulasi dini.
😀
Maret 10, 2007 at 6:43 pm
yaaaa…minah..minah….harusnya dulu kawin ama bang aip aja kekkekkek
Sayang itu tidak terjadi… Sebab Bang Aip nya juga harus pergi membela negara… dengan memacari gadis-gadis Bandung. (*Halah!*)
hehehe
Maret 11, 2007 at 9:31 am
Cerita-ceritanya menarik.
Pak Arif, salam kenal ya. Minta ijin blognya saya taut.
Terimakasih.
Terimakasih sudah mampir. Silahkan saja Pak, silahkan di taut. Ga perlu ijin juga gapapa kok. Tapi kayaknya si bapak teh orangnya sopan yaa… Seneng saya ketemu orang yang sopan. hehe
Maret 11, 2007 at 10:43 am
“Kata mereka daun hijau bisa membuat damai, tapi terjadi ladang perang diatas kebun ganja, beli peluru di jawa produksinya pindad, prajurit TNI mati, kena peluru teman sendiri”
Petikan dari lyric lagu slank.
Turut berbela sungkawa atas gugurnya semua prajurit TNI di Atjeh
Maret 11, 2007 at 1:52 pm
kisah cinta yang ironis….
Makasih udah mampir. Hehehe, menang lomba blog yaa mas. Hehehe
Maret 11, 2007 at 6:12 pm
kalau si aceng ada ceritanya ? terusin dong..
Ada… Jangan sekarang ahh… Nggak enak…, belom minta ijin ama si pemilik cerita (maksudnya; si Aceng)
Maret 11, 2007 at 10:08 pm
Kalo dipikir-pirkir, yang jadi panglima, jenderal, et cetera ga usah maju di garus depan waktu perang tiba tapi sebelum mereka naik pangkat, juga harus ke medan tempurkan?
Jadi, apakah ini yang namanya Tuhan berada disisi mereka?
najisssssss…..ngggak fair bangettttt.
Siapa yang nggak fair? Panglima? …Hidup? …atau Tuhan?
Hehehe
Maret 12, 2007 at 1:37 am
Btw, cerita2 jadulnya bermanfaat dan asyik dibaca bang. Wah jadi penasaran, si abang kerja apaan sekarang bang ? *haduh bahasanya jadi ikutan betawi
Makasih yaa udah mampir. Sekarang kerja jadi tukang kridit, doyan muter-muter. Hehehe.
Maret 12, 2007 at 3:04 am
wah sedih banget ceritanya. kisah nyata ini?
He-eh. Nyata dan menyedihkan.
Maret 12, 2007 at 7:19 pm
“mengejutkan, seperti biasa…dan kali ini mengharukan.”
– joesatch, mahasiswa biasa
Gawat niih, para seleb blog sudah mulai memberikan komen mirip komen pada buku di blog ini. Apakah ini berarti saya harus nulis buku? (*mulai ngelus-ngelus jenggot. pura-pura mikir*)
Maret 13, 2007 at 11:37 am
seperti mengalami sendiri. pertama saya tertawa ketika membaca awal cerita, tetapi kemudian dahi saya mengkeret mengkeret di akhir cerita. Gaya tulisan “ke-aku-an” anda mengingatkan saya pada seorang cerpenis, Hamsad Rangkuti
sastrawan idola saya. dan sepertinya anda harus sesegera mungkin menulis buku cerpen, biar saya gak harus konek kalau pengenmbaca tulisan anda.Keep Writing Spirit
Ampun deh, disamain ama Hamsad Rangkuti nan sastrawan itu. Emang blog saya ini karya sastra yaa?
(*bengong… belom sadar*)
Maret 14, 2007 at 6:36 am
Siap-siap ketawa, eh taunya malah sedih…
Kasian ya bang…
Gimana kalo kita bikin gerakan, Selamatkan Prajurit??
*Gerakan mulu…*
Kalo bisa mah, tingkatkan gaji dan kesejahteraan prajurit. Yang pangkatnya masih cecere diperhatikan juga. Kalo bisa disekolahin lagi. Biar ga asal-asalan kalo nyuruh nembak musuh. (*ceile, sok tau banget saya nih*)
Maret 14, 2007 at 2:48 pm
Numpang nimbrung nih Mas…
“Setiap malem, main remi dan menyanyikan lagu-lagu cinta Black Brothers, diantaranya ‘Kisah Seorang Pramuria’, lagu wajib anak tongkrongan.”
Waduh, udah berani ngomongin saya ya? ^_^ V
.
Hm, itulah resikonya Mas… Btw, kalo lagi tugas begitu ga boleh kawin? Pake telekonferens juga ga boleh ya? Masuknya mungkin ke fiqih kontemporer…
.
Trus sekarang statusnya Minah bagaimana?Pake telekonfrens boleh kok. Beberapa calon perwira bahkan memanfaatkan sarana itu secara lebih baik.
Status Minah… Bahagia dengan dua orang anak.
Maret 15, 2007 at 12:05 pm
kalau balada cinta bang aip kapan siap tayang?
Waduh kamu Nto. Pertanyaannya berbahaya sekali.
😀
April 4, 2007 at 1:44 pm
[…] Sanip yang pergi dengan tragis. Aceng adalah salah seorang sahabat saya. Sejak lulus SMA, ia bekerja di […]
April 21, 2007 at 2:49 pm
manthap bang ceritanya
Juni 6, 2007 at 3:41 pm
[…] betapa berharganya sehelai nyawa. Kebetulan sebagian dari mereka semua sudah bernasip seperti Sersan Sanip, sudah beristirahat di rumah persinggahan menunggu datangnya hari […]
Juni 15, 2007 at 12:40 pm
Irosnis sekali…..