(*Atas nama penghormatan dan penghargaan terhadap hak privasi, beberapa nama pelaku pada tulisan panjang ini bukanlah nama sebenarnya. Satu lagi, terimakasih atas doanya sehingga tidak perlu dilakukan tindakan operasi dari dokter terhadap saya*)
Saya akan bercerita pada rentang jarak-jarak waktu yang berbeda. Agar tidak membuat rumit anda, para pembaca blog nan terhormat, ijinkanlah saya memberi tag judul berhuruf tebal pada setiap cerita.
Oktober 1997
Teman-teman saya dari Cilincing suka sekali datang ke Depok. Ke Kukusan Beji, tempat kost saya. Kadang-kadang, mereka juga mampir ke sekolah saya, yang terletak tidak jauh dari kost-an. Mereka suka datang ke Depok karena Depok pada masa ini cukup teduh dan menyenangkan. Kalau malam, bisa tidur pakai sarung, karena suhu jadi lebih sejuk.
Maka itu, teman-teman saya, suka datang ke Depok. Ke kost saya.
Nah, namanya juga anak Cilincing, anak kampung nelayan. Kalau sudah kumpul, kelakuannya yaa ndeso semua. Bener-bener kampungan deh. Sejujurnya, termasuk saya juga sih. Tapi saya kan sudah jadi bagian dari komunitas Depok. Maka, atas nama gengsi akademisi Depok, kampungan ála Cilincing saya tekan kuat-kuat (walaupun ternyata gagal, hehe).
Contoh betapa kampungannya anak-anak Cilincing adalah ketika suatu hari mereka ramai-ramai datang ke Depok.
Saya lihat, banyak juga yang datang. Ada Odoy, Jumari, Aris Kisut, Utu, Rahmat, Sape’i, Uki, Udin Petot, Uung, Mat Bondan, Dayat bahkan hingga si Gugun, adik saya. Buset dah, banyak banget! Udah gitu, bawa kamera poket pula. Rencananya mau foto-foto di sekolah saya. Sebab sekolahan saya banyak pohonnya. Di Cilincing sudah jarang pepohonan.
Dan yang menyebalkan, mereka semua minta diajak jalan-jalan melihat sekolah saya naik bus gratis. Artinya cuma satu, saya harus jadi guide seharian dan harus mbayarin mereka makan kalo laper. Duh gusti!
Tapi namanya juga temen, akhirnya, jadi juga kami jalan-jalan naik bus. Dan semuanya berjalan lancar-lancar saja. Muka saya yang tadinya tertekuk akhirnya bisa berganti dengan ketawa-ketiwi lagi bersama mereka.
Namanya juga temen, harus solider.
Hingga akhirnya ketika dari dalam bus si Uung teriak, “Wooii ada artiss! Bang arip.. Bangg..! Ada artis lagi jalan kaki, Bang! Pir… Sopiir.. brenti, Pir! Kiri.. kiri…”.
Seketika, semua penghuni dalam bus melihat ke arah Uung. Muka saya merah padam. Karena mereka juga meliat ke arah saya. Malu euy. Sebab bus ini kan bus sekolah, tidak bisa berhenti sembarangan. Bus hanya berhenti pada halte-halte tertentu. Dan tidak bisa teriak-teriak begitu saja di dalam angkutan umum ini.
Tapi tidak demikian dengan anak-anak Cilincing. Mereka teriak-teriak kegirangan di dalam bus, “Horee! Horee! Ada artis! Temennya arip artis! Horee!”.
Dan daripada bertambah malu, saya bersama mereka turun di halte terdekat. Dan teman-teman Cilincing saya itu lantas lari berhamburan menghampiri sang artis muda nan manis tersebut.
Artis ini seorang gadis jelita. Ia tercatat sebagai salah satu pelajar di sekolah saya. Sinetronnya yang dibintanginya menceritakan komunitas masyarakat pinggiran, meledak dengan sukses. Bahkan kalau tidak salah akan dibuat sekuelnya. Dan jujur saja, saya sama sekali tidak kenal dengan beliau secara personal.
Mbak Artis itu terlihat kebingungan melihat serombongan pemuda tidak dikenal bertampang kriminil mengitarinya sambil cengar-cengir nggak jelas. Semuanya mengajak salaman. Ia bertambah kebingungan. Bahkan Udin Petot sampe cium tangan segala kepada si Mbak Artis. Wah saya bener-bener malu.
Daripada malu tambah parah, saya maju memberanikan diri (walaupun sebenernya malu dan gugup luar biasa). “Mbak, nama saya arip. Ini temen-temen saya dari Cilincing. Mereka ini fans-nya Mbak. Mereka mau kenalan sama Mbak”.
Saya diam sejenak. Rojak membisiki sesuatu ke kuping saya. Lalu saya melanjutkan perkenalan saya pada mbak tersebut sesuai pesan sponsor dari Rojak, “Mereka mau poto-poto sama si Mbak, boleh Mbak?”
Mbak Artis itu tersenyum manis. Lalu mengangguk mengiyakan. Anak-anak Cilincing bersorak gembira.
Dan anak-anak Cilincing ini rupanya benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas berfoto dengan selebriti. Jumari pose dengan dua jari membentuk huruf V, style turis jepang. Uki pose dengan tiga jari, mirip anak metal. Rahmat pose sambil memegang pohon, mirip artis pelem India. Utu yang sangar dan gondrong bergaya ála artis cilik Meisye, menempelkan dua jari telunjuk ke pipi kiri kanan. Sementara Sape’i, Aris Kisut, Gugun, Mat Bondan dan Dayat jongkok sambil berangkulan satu sama lain mirip anggota klub sepakbola. Si Mbak Artis berdiri di tengah-tengah mereka, nahan ketawa.
Yang paling parah, siapa lagi kalo bukan Udin Petot. Sebelum pose, dia bahkan minta spidol dan kertas pada saya. Di kertas itu, ia tulis dengan huruf kapital besar-besar ‘CHINTAMI ATMANEGARA LOVES UDIN’. Lalu kertas itu ia berikan pada si Mbak Artis. Dan ia langsung lari ke belakang Mbak Artis. Pose mesra dengan kepala mendekati kepala si Mbak Artis.
Si Mbak Artis tambah bingung. Ia menengokkan kepala ke arah Udin Petot yang membalas tengokannya dengan senyuman mesra (yang bikin saya tambah malu). Si Mbak Artis berkata “Aduh mas, saya ini bukan Mbak Chintami Atmanegara. Saya Maudi”.
Udin Petot kebingungan. Matanya menatap si Mbak Artis dari ujung rambut ke ujung kaki. Anak-anak Cilincing lainnya sudah bete. Karena sudah gaya pose paling ‘oke’, tapi gara-gara Udin Petot, bibir mereka harus kaku nahan senyum.
Udin Petot lari ke arah saya yang jadi tukang potret.
– “Bang, kayaknya kita salah orang deh”
+ “Parah lo, Din. Itu kan Mbak Maudi Kusnaedi. Bukan Cintami”
– “Maudi tuh siapa, bang? Apa poto-potonya kita batalin aja, Bang. Kayaknya ini artis palsu nih”
+ “Kacau luh, men. Itu tuh si Jenab. Temennya Atun. Pacarnya si Doel anak sekolahan. Artis beneran tau”
– “Oh si Jenab. Itu mah gue kenal, Bang. Ya deh ga papa, biar bukan Cintami. Yang penting cakep”
Akhirnya sesi foto-foto itu usai sudah. Semua orang Cilincing bahagia. Mbak Artis itu sungguh ramah. Ia melayani fans-fans palsu kacangan dari Cilincing ini dengan hati yang tabah.
Hingga akhirnya, Mbak Artis harus masuk sekolah. Hari sudah sore, anak-anak Cilincing pulang kampung. Saya kembali lagi ke kost-an.
Hari yang bahagia.
Seminggu kemudian mereka datang lagi. Anak-anak Cilincing datang lagi. Saya tahu, pasti membawa hasil foto dengan Mbak Artis. Saya sudah menduga, pasti Udin Petot mau ketemu Mbak Artis lagi. Cari kesempatan, kalau-kalau sang selebriti belum punya pacar. Ia pasti mau ndaftar jadi pacar si Mbak Artis.
Ternyata saya salah.
Mereka datang membawa pesan buruk. Cilincing dalam perang antar gang. Gang yang dimaksud juga bukanlah gank dalam bahasa Inggris. Gang adalah seruas jalan kecil diantara rumah-rumah kumuh kecil padat di Jakarta. Benar-benar kecil. Lebarnya paling satu meter.
Sebenarnya, ini berita biasa saja. Perang antar warga antar adalah hal yang biasa di Cilincing. Alasannya beragam. Namun umumnya adalah karena rebutan wilayah kekuasaan parkir atau jatah keamanan pasar. Umumnya penyebab perang ini tidak lain karena masalah ekonomi.
Zaman lagi susah. Mau apa-apa susah. Semua butuh duit. Apa-apa mahal. Mau tidak mau, harus berebut lahan mencari makan.
Perang antar gang kali ini sungguh buruk, sebab adik saya, Gugun, terlibat perang tersebut. Bahkan ia hingga terluka cukup parah karena perang itu melibatkan senjata tajam. Sementara, kabar lebih buruk lagi, adik bungsu saya, gadis yang baru beranjak dewasa, diancam oleh gang lawan akan diperkosa.
Mau tidak mau saya harus pulang. Apapun yang terjadi. Saya harus pulang ke Cilincing. Bagi kami, anak-anak Cilincing, kehormatan adalah segalanya. Untuk menjunjung kehormatan, semua hutang harus dibayar. Hutang uang dibayar uang. Hutang darah dibayar darah. Kehormatan adalah segalanya.
Tiga hari setelah saya kembali ke Cilincing. Beredar kabar, bahwa pada hari kamis nanti, akan terjadi pertempuran besar-besaran dengan gang tetangga. Semua anak-anak muda di sekeliling gang saya sudah mengasah golok masing-masing. Beberapa senjata api genggam berjenis Colt atau FN hingga senapan pemburu babi bahkan sudah beredar diam-diam diantara kami.
Rabu pagi, 40 jam sebelum perang
Ibu duduk di teras rumah. Beliau tidak pergi mengajar seperti biasanya. Saya duduk di samping beliau. Beliau menunduk lesu. Lalu berbicara pada saya;
– “Ibu tahu, besok malam perang. Ibu lihat senjata di kolong ranjang kamu”
+ “Ehh.., Errhh…”
– “Sudah. Ngapain kamu ikut-ikutan. Besok kamu di rumah saja”
+ “Errh.., Errhh…”
– “Kamu denger Ibu?”
+ “Errhh… Iya saya ngerti, Bu. Tapi ibu kan perempuan. Ibu nggak ngerti apa yang sedang terjadi. Mereka udah nyakitin Gugun, Bu. Bahkan ngancem mao merkosa Ulfa segala. Saya kan laki-laki paling tua di keluarga ini. Saya malu kalau nggak ngapa-ngapain, Bu. Mau ditaro dimana muka saya. Mereka sudah utang darah sama keluarga kita. Utang darah harus dibayar darah”
– “Kalo gitu, kapan selesainya?”
+ “Maksud Ibu?”
– “Yaa kalo gitu kapan selesainya? Kamu mao ngebunuh anak kampung sebelah? Sukur kalo kamu dipenjara doang! Tapi gimana kalo kamu atau adik-adik kamu dibunuh mereka sebagai gantinya. Atau mereka malah membunuh ibu sebagai gantinya. Kamu mau begitu?”
+ “Yaa nggak gitu lah”
– “Trus apa? Logika kamu kan begitu? Apa kamu berani ngejamin mereka diem aja?”
+ “Saya laki-laki, Bu. Saya dilahirin Ibu bukan untuk jadi pengecut”
– “Ibu nggak minta kamu untuk jadi pengecut”
+ “Jadi apa yang Ibu minta?”
– “Ibu minta siang ini, kita semua sekeluarga berangkat ke Depok sampai perang ini selesai. Kalau kamu masih menghargai Ibu, kamu pasti nurut permintaan Ibu ini”
Saya menggigil mendengar permintaan Ibu. Pelan-pelan berlinang air mata. Ibu adalah orang yang saya cintai dah saya hargai. Amat sangat saya hargai. Namun, memenuhi permintaannya bagaikan membunuh seluruh kebanggaan laki-laki saya. Permintaan beliau, merenggut kehormatan saya sebagai laki-laki dari Cilincing. Pagi itu, saya luluh lantak tak bersisa.
Tapi, sebagai anak. Saya penuhi permintaan beliau.
Berat. Sebab orang se-Cilincing pasti akan menuduh saya pengecut. Dan mengemban stigma pengecut di Cilincing itu sungguh berat.
Tapi saya penuhi jua permintaan Ibu.
Tak peduli tatapan bingung sahabat-sahabat saya. Saya angkut beberapa barang berharga ke dalam mobil angkot yang kami sewa untuk ke Depok. Pagi itu sungguh panas. Namun hati saya membeku. Saya papah Gugun ke dalam angkot. Memasukkan tas berisi baju-baju, dokumen-dokumen penting serta tivi.
Pagi itu, saya bersama keluarga meninggalkan Cilincing untuk sementara. Kami mengungsi ke Depok dengan mobil angkot. Menuju kost saya. Saya duduk di depan, di samping pak supir. Dari kaca spion, terlihat wajah kecewa teman-teman Cilincing saya. Yaa, saya tahu apa yang ada di benak mereka. Dan ego laki-laki saya pun semakin luluh lantak tak bersisa.
Esoknya, hari kamis, terjadi pertempuran seru di Cilincing
Tiga hari kemudian, Udin Petot menjemput kami di Depok. Ia menceritakan bahwa ia selamat karena ia dimasukkan dalam penjara selama tiga hari atas permintaan ayahnya. Jumari selamat karena dilarang bertempur oleh istrinya yang hamil muda. Sape’i selamat karena lari ke Bali.
Ia menceritkan pula kisah tragis, bahwa Dayat dikeluarkan dari kesatuannya dan lalu diadili (*Dayat bekerja di sebuah instansi militer*) karena membacok kepala seorang polisi yang melerai perkelahian itu hingga tewas. Utu dan yang lainnya lari buron sebagai resedivis ke Sumatera karena membunuh anak seorang perwira tinggi yang terlibat dalam perkelahian massal. Aris Kisut masuk penjara. Rahmat tangannya buntung ditebas parang lawan. Uung tewas dengan muka hancur karena terkena peluru senapan pemburu babi.
Mendengar cerita itu, saya menatap Ibu. Saya tidak berkata apa-apa. Seakan waktu berhenti bergerak.
Begitu banyak yang ingin saya sampaikan. Tapi lidah terasa kelu.
——————-The End? Ahh kata siapa?———————
30 September 2005, suatu siang di Bali
Hari ini, hari sabtu. Weekend euy! Dan saya suka hari sabtu di Bali. Menyenangkan. Sebab saya bisa jalan-jalan keliling Bali dengan motor bebek, irit bensin, murah meriah, ramah lingkungan. Hari sabtu di Bali jauh lebih menyenangkan daripada di negara nun jauh dari Indonesia, tempat tingal saya beberapa tahun belakangan ini (*ini subjektif sekali, hehe*).
Karena hobi saya surfing, maka sabtu ini saya ke Dreamland, sambil nenteng-nenteng papan surf di motor.
Oh ya, Dreamland sendiri adalah nama pantai, salah satu surga olahraga surfing dunia yang terletak di selatan Bali. Para surfer dari penjuru dunia berdatangan ke lokasi selancar ini. Dreamland letaknya diantara pantai Kuta dan Nusa Dua. Kalau naik motor, sekitar hampir setengah jam dari rumah saya di Pantai Sanur.
Dreamland itu pantai yang indah. Saya suka memandang matahari terbenam dari pantai ini. Langit berwarna jingga ungu biru dan begitu bercahaya menakjubkan memukau mata yang melihatnya. Matahari senja bagaikan bola api raksasa yang pelan-pelan ditelan samudra luas. Pantulan cahanyanya membentang di laut. Ombak berkejaran bagaikan bibir-bibir emas yang saling berpagutan.
Sayang sekali saya lapar. Dan sialnya, saya hanya mau makan plecing kangkung.
Dan lalu saya pun ke Jimbaran, sebuah pantai di sebelah Dreamland. Sebab disana katanya ada warung plecing kangkung yang enak. Kangkungnya segar dan sambal nya juga sungguh lezat. Cocok sekali dimakan bersama nasi panas dan minum teh anget. Muantaf surataf.
Saya duduk di warung paling pojok. Matahari sudah terbenam, namun semburat jingga masih tersisa di batas cakrawala. Hari belum begitu gelap. Seorang pelayan warung datang;
– “Pesan apa, Pak?”
+ “Plecing kangkung… Nasi putih… Teh anget… Loh! Astopirloh! I! Pe’i!”
– “Ya oloooh rip. Ini elo rip!”
+ “Iya ‘ i… ini gue”
Ternyata pelayan warung itu Sape’i, sahabat saya dari Cilincing. Wahh, kami langsung pelukan kayak di pelem-pelem. Maklum, udah lama nggak ketemu. Sejak malam berkubang darah di Cilincing delapan tahun lalu, saya tidak pernah bertemu Sape’i lagi.
Malam itu, saya habiskan dengan kangen-kangenan dengan Sape’i. Bahkan saya tunggu Sape’i hingga tengah malam. Sampai ia selesai kerja.
Sape’i ternyata sudah menikah dengan perempuan Bali. Mereka dianugrahi tiga anak lucu-lucu dan cerdas. Saya berkunjung ke rumahnya malam itu. Benar-benar takjub melihat Sape’i yang baru. Sape’i yang berperan sebagai ayah dan suami yang bertanggung jawab.
Malam itu, sudah terlampau larut. Saya nggak enak mengganggu terlalu lama di rumah Sape’i. Saya pamit pulang. Saya berjanji, besok sore, minggu sore, saya akan datang ke pantai jimbaran. Sape’i mulai bekerja jam enam sore. Saya janji bertemu Sape’i dan keluarga sebelum pukul enam sore.
Hari Minggu, satu hari setelah bertemu Sape’i
Sial sekali. Hari minggu, saya sakit perut. Kebanyakan makan sambel pelecing kangkung. Bolak-balik harus ke wese.
Jam 12 siang, saya SMS Sape’i dan keluarganya. Minta maaf. Karena hari itu membatalkan janji. Sape’i membalas sambil ketawa-tawa. Ia bilang tidak apa-apa. Sebab walaupun saya tidak datang ia dan istrinya tetap akan ada di warung tersebut. Rekreasi sebelum bekerja.
Saya tidak bisa tertawa. Sebentar-sebentar harus ke wese. Rasanya badan makin mengkerut saja.
Pukul 9 malam, berita di televisi mengabarkan terjadi pemboman di Bali. Saya kaget luar biasa. Dan semakin kaget ketika mengetahui bahwa salah satu titik pemboman itu ada di Jimbaran.
Astaga! Bukankah Sape’i ada disana?
Sakit perut saya tiba-tiba sirna.
Lima belas menit kemudian saya berhasil mengontak salah satu mahasiswa saya yang baik hati. Ia akan mengantarkan saya ke Jimbaran dengan motor untuk mengetahui situasi Sape’i. Sayang sekali, jalan menuju Jimbaran di blok polisi.
Kami lalu menuju Rumah Sakit Umum Daerah Sanglah yang ada di tengah kota Denpasar. Mencoba mengecek korban jiwa yang meninggal bernama Sape’i.
Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa bernama Sape’i.
Malam bertambah gelap. Kondisi ruangan gawat darurat RSUD Sanglah sungguh sibuk. Baik di sayap lokal maupun di paviliun internasional rumah sakit itu sungguh sibuk. Saya tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berdoa dan pulang ke rumah. Berdoa, semoga banyak manusia yang terselamatkan jiwanya.
Besoknya, saya minta cuti dari kantor. Saya ke rumah Sape’i. Memastikan semuanya baik-baik saja. Dan saya pikir semuanya pasti akan baik-baik saja.
Ternyata saya salah.
Banyak orang berkumpul di rumah Sape’i. Berita duka. Istri Sape’i, Rina, meninggal dunia. Ia salah satu korban jiwa dalam ledakan itu. Sape’i sendiri kakinya hancur terkena serpihan bom. Ia masih ada di rumah sakit. Anak-anak mereka selamat, dan ada di rumah kakeknya, di rumah ayah Rina.
Saya melarikan motor ke rumah sakit seperti orang kesetanan. Di jalan, airmata saya sudah mulai merembes membasahi helm. Dan begitu sampai di samping ranjang Sape’i yang membujur tak sadarkan diri di rumah sakit, saya menangis tersedu-sedu.
Kaki kanan Sape’i buntung hingga selutut. Ada perban berbalut darah. Sape’i, sahabat saya, ayah dari tiga anak, suami yang baik dan setia, terbujur disana. Sambil memegang tangannya, saya menangis seperti gila. Bertanya pada tuhan apa yang sedang terjadi.
Saya tak siap melihat kenyataan ini.
Perawat datang. Memapah saya ke ruangan lain. Pelan-pelan dunia seakan menghitam.
Saya jatuh pingsan.
————————————————
Pertengahan Oktober 2007
Telpon berdering di meja sebelah ranjang saya. Sebenarnya dilarang membawa telpon ke rumah sakit. Tapi karena saya pasien nakal. Saya cuek saja. Hehe.
Saya lirik layar, uh… nomor dari Indonesia. Siapa yang menelpon saya dari Indonesia?
+ “Selamat pagi waktu setempat. Ini Arif”
– “Rip… Ya olooh. Rip. Ini Pe’i. Sape’i”
+ “Astapirlooh. Lo ‘i? Masaolooh… Apa kabar lo ‘i?”
– “Gua sehat, Rip. Kata orang-orang lo sakit, Rip. Moga-moga lo cepet sembuh, Rip. Biar bisa pulang kampung”
+ “‘I, lo dimana sekarang?”
– “Gua masih di Denpasar, Rip. Gue udah kerja sekarang. Ada bantuan buat keluarga korban. Gua buka usaha kerajinan tangan. Alhamdulillah, bisa ngasih makan anak-anak gua”
+ “Sukur deh ‘i. Oh ya ‘i, gue juga minta maap, ga bisa di Bali lama-lama waktu itu. Gue harus balik lagi kesini, men”
– “Nggak apa-apa, Rip. Gua sih bisa denger suara lo udah seneng banget”
+ “Gue juga ‘i. Oh ya ‘i. Gue turut berduka cita atas bini lo, men” (*bini=istri*)
– “Ya emang berat sih, Rip. Gua sempet stress. Tapi mao gimana lagi. Anak-anak gua masih butuh bapaknya. Gua kaga boleh stress lama-lama. Sebab insaoloh pasti ada hikmahnya. Oloh kaga buta, Rip. Insaoloh kita pasti ditulung”
Airmata saya sudah mulai merembes lagi. Sape’i, sahabat saya sungguh luar biasa. Saya coba mengalihkan pembicaraan. Saya malu, berbincang sambil terisak-isak.
+ “‘I… Gue baca di koran. Yang ngebom bini lo bakal dihukum mati, men. Alhamdulillah, biar mati dah tuh orang. Idup juga percuma tuh orang, cuman nyusahin orang banyak aja”
– “…”
+ “Moga-moga tuh orang mampus. Trus masuk neraka yang paling bawah”
– “…”
+ “I’… ‘i… Lo masih ada? ‘I, lo masih ndenger gue?”
– “Iya, Rip. Gua masih ada. Cuman… Cuman…”
+ “Ada apa ‘i? Maap kalo gue nyinggung-nyinggung lagi”
– “Gini Rip. Ngebunuh tuh orang sakit bukan malah bikin bener kelakuannya. Tapi malah bikin dia jadi pahlawan di mata temen-temennya yang juga sakit. Orang sakit harusnya disembuhin, bukan dibunuh. Kalo sembuh, dia bisa bilang ama temen-temannya bahwa mereka itu salah”
+ “Tapi ‘i… Bini lo kan meninggal, men. Lo sendiri jadi susah begerak. Dan bukan cuman itu aja ‘i. Banyak orang yang idupnya susah gara-gara tuh orang”
– “Rip, utang darah nggak bisa dibayar darah”
Saya tidak bisa meneruskan pembicaran. Lidah saya begitu kelu. Pagi ini tiba-tiba begitu menjadi dingin.
Sape’i diam di belahan dunia sana. Ia sahabat yang luar biasa… Seorang sahabat yang sabar mendengarkan sahabatnya menangis tersedu-sedu melalui telepon.
Oktober 26, 2007 at 8:30 pm
😥
Bang Aip selalu seperti ini…
kadang bikin saya malu sebagai bagian dari bangsa ini…
eniwei…makasih Bang Aip…
keep kontemplatif!
😉
Maafkan saya kalau saya membuat kamu malu, Siwi. Ndak ada niat sedikitpun untuk berbuat begitu. Maaf.
Sama-sama terimakasih juga.
Oktober 26, 2007 at 8:39 pm
Bang Aip sepertinya selalu ada di kejadaian kejadian penting negara kita?
ah, saya tunggu cerita berikutnya, Bang…
saya iri nih…Bang Aip yang kurang sehat saja bisa seproduktif ini…
salam buat Maudi, eh…Nyonya Arif Kurniawan…
moga Bang Aip makin sehat…
Amiiin…
Sudah disampaikan salam kepada beliau. Terimakasih atas doanya.
Oktober 26, 2007 at 8:41 pm
hebat.
bang aip selalu ada di setiap kejadian-kejadian sejarah di indonesia.
jadi penasaran ngapain di negeri jauh dari indonesia… ga mungkin kan cuma berobat doang.
btw, semoga cepet sembuh bang. gag usah lagi dirumah sakit yg dibatesin 15 menit doang internetnya. jadi bisa cerita lebih banyak lagi.
Alhamdulillah sudah pulang, Dats. Baru tadi pagi, 28 oktober. Terimakasih atas doanya. Saya ada di negeri jauh karena jatuh cinta, Dats. Paling utama, karena jatuh cinta pada Indonesia. Eh iya, makasih atas postingan soal TKI/TKW kamu. bagus banget postingan itu. Penting untuk diketahui calon TKI/TKW
Oktober 26, 2007 at 11:32 pm
Walaupun saya nggak punya blog, cerita spt inilah yg bikin saya cinta blogsphere…..
Terimakasih sudah mampir.
Oktober 27, 2007 at 12:30 am
hwaduh panjang banget critane, belum kelar bacanya
Maaf kalau kepanjangan untuk anda.
Oktober 27, 2007 at 2:20 am
Waahhh.. pagi-pagi dah dapet bacaan keren Hehe..
saya penghuni baru WP nih bang, salam kenal..
linknya aku add yah??
Salam kenal juga. Terimakasih sudah mampir.
Oktober 27, 2007 at 3:25 am
Huhuhuhuhu…..
*menangis tersedu-sedu*
Sini, selalu ada bahu untuk bersandar.
Oktober 27, 2007 at 4:49 am
Sebenarnya tidak ingin berkomentar apa-apa terhadap topik ini, terlalu banyak cerita, tangis, pembelokan fakta, kebenaran semu, kontroversi agama, dan semua hal yang tidak jelas, berkeliaran di benak cetek saya setiap kali memikirkannya.
Tapi tetap saja, rasanya tidak afdol kalau tidak mengabsenkan nama di posting Bang Aip.
Diperlukan keberanian yang jauh lebih besar untuk memaafkan bang.. Jauh lebih besar daripada untuk membalas dendam…
Terimakasih Mas Fadil. Kalimatnya bagus sekali.
Oktober 27, 2007 at 9:31 am
saya lama tidak nongol di blogsphore….. *sambil tersedu membaca ceritamu, rif*
dan, tanpa terasa, lidah saya berbisik, “hutang coment, dibayar coment*..
“Ha ha ha ha ha,” jauh di luar rumah seorang bocah tertawa. Saya lihat ke luar, ternyata bukan menertawakan saya. Bocah iu menertawakan temannya yang roboh belajar naik sepeda. *Apa hubungannya, ya?*
Hutang komen nggak udah dibayar komen, Kang Tajib. Kalau itu memang hukum blogsphere. Hukum itu tidak berlaku di blog saya ini. Komen saya nggak usah dibayar lah. Nanti saya disangka mau menyaingi World Bank. Hehehe.
Oktober 27, 2007 at 10:02 am
Waw……Speechless. Ceritanya menohok Hati.
Apalah arti sebuah komentar apabila tidak harus dibayar dengan komentar lagi. Tapi ah, sudahlah. Enggak penting.
Kok bisa bapak menjadi sesosok figur yang ada di setiap kejadian Nasional…?
Nggak semuanya, Debe. Tapi saya memang ada di beberapa peristiwa (yang dianggap) bersejarah. Semua itu kebetulan. Sama sekali nggak niat untuk ikut-ikutan, kecuali pada 1998 dan 2004, saya memang menghadirkan diri dengan sengaja.
Oktober 27, 2007 at 10:18 am
Seneng deh kalau tokohnya Udin Petot.
Oktober 27, 2007 at 10:37 am
Dear Bang Arif,
Bener banget…
BTW, ini kejadian beneran? Rasanya Bang Arif mengalami banyak sekali peristiwa luar biasa yang bersejarah.
Salut
Makasih sudah mampir, Mas Dewo. Untuk menjawab pertanyaannya, ada di halaman Arif Kurniawan di blog ini.
Oktober 27, 2007 at 10:47 am
Sayah ndak mempersoalkan keberadaan bang Aip di setiap peristiwa. Tetapi memang tukang bom sialan itu jangan dihukum mati.
Lebih baik dihukum penjara sampai mati.
Malu-maluin orang Islam ajah, bang…
Abis tu, ia tampak bangga pulak dengan kelakuannya. 😦
Ia tidak hanya memalukan umat Islam, mas Mbel. Melainkan juga memalukan seluruh umat beragama bahkan umat manusia. Kebanggan yang ia punya adalah wujud rasa sakit yang ia derita. Sudah saatnya memberitahu kepadanya bahwa ia sakit… Sakit parah. Kita punya kewajiban memberitahu, bahwa mereka sakit dan wajib diobati. Kalau sembuh, saya yakin mereka dapat menjadi orang yang berguna.
Oktober 27, 2007 at 11:42 am
Kayak di film-film!
Terimakasih sudah mampir, Mas Paijo.
Oktober 27, 2007 at 12:59 pm
Kenapa ya, Bang, aksi-aksi kekerasan masih saja terjadi? Apakah setiap persoalan mesti diselesaikan dengan *halah* cara kekerasan? Kenapa Suasana Cilincing ysng damai tiba2 berubah panas dan menegangkan? Yak, moga2 aja peradaban yang damai dan nyaman bisa segera terwujud di segenap tempat dan waktu.
OK, salam.
Cilincing itu penuh kekerasan, Pak Sawali. Dan saya memang dibesarkan dengan kondisi tersebut. Umumnya kekerasan itu dipicu oleh UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Terimakasih atas doanya, Pak.
Oktober 27, 2007 at 1:34 pm
selalu terpesona dan terduduk diam
😦
Alma, terimakasih sudah mampir.
Oktober 27, 2007 at 5:31 pm
ah ya..khas bang aip sangadh cerita ini. salute bang! eh, tafi emang bener ko’, fembalasan yang faling manis itu dengan memaafkan.
hmm..*termenung*
Aduh, kalimatnya bagus sekali, Mas Hoek. Amat bagus. Saya jadi ikut-ikut termenung.
Oktober 27, 2007 at 6:56 pm
hkkkk….. speechless bang
Oktober 27, 2007 at 11:56 pm
..emang niey jagonya,
hard,love and rock n rull story..
slalu menjadi underdog,
ga bosen tu om?
Nasib kali, Gun. Niat sih beda, tapi jalan takdir kan ga ada yang tau. Udah nasib, jadi ‘anjing kolong’. 🙂
Oktober 28, 2007 at 12:05 am
bangaiptop..
gmana kabar?
operasinya gmana?
sukses kan?
amienn..
oya..
hari baik bulan baik..
“mohon maaf lahir dan batin”
salam buat magriet..
Alhamdulillah ga jadi dioperasi, Gun. Tapi sampai bulan depan tanggal 20, tetep harus istirahat yang banyak. Maap lahir batin juga, euy. Insya Allah, kalo udah agak fit, minggu depan, proposal-proposal project revisi 2008-2009 sudah bisa aye approve. Akan segera dikirimkan ke Rawamangun. Kita bisa kerja lagi, euy. Hehehe
Oktober 28, 2007 at 6:32 am
Waduh bang, tokoh tokoh di cerita ini penuh dengan tokoh sufi, yang memberikan pengajaran bagaimana hidup yang bijaksanan itu. 😀
Dan semua tragedi itu ternyata berasal dari dendam, dan yang mengubah tragedi itu menjadi suka cita adalah kepasrahan kepada Dia dalam menghadapi tragedi itu.
Moga abang cepat sembuh, dan bisa berbagi cerita terus tentang hidup dan kehidupan.
Makasih atas doanya, Mas Dana. Alhamdulillah sudah sampai rumah pagi ini. Makasih atas urun rembuknya.
Oktober 28, 2007 at 6:35 am
Oh iya bang saya juga nulis tentang darah di bayar darah ini, silahkan lihat di :
Dan semoga kita terhindar dari lingkaran dendam yang tiada habisnya itu. 😀
Iya, saya setuju. Satu lagi, tulisannya anda bagus, Mas Dana.
Oktober 28, 2007 at 6:40 am
[…] juga cerita bang aib tentang darah di bayar darah, dan semoga lebih mengerti akan maksud dari artikel saya ini. […]
Oktober 28, 2007 at 3:01 pm
saya malu, bang. waktu kampung saya dibom 2x. 22nya saya lagi bersenang2 di jokja sambil kuliah… 😦
Jangan malu, Mas Joe. Sebab anda belajar tidak untuk sia-sia. Melainkan belajar untuk berbuat sesuatu untuk kampung anda.
Oktober 28, 2007 at 6:07 pm
bang arip selalu ada di setiap kejadian rasanya.. dah kyk wartawan.. hahaha. disengaja/tidak, kyknya Tuhan menempatkan bang arip untuk menjadi saksi …
gunanya ya untuk diceritakan kembali
*manggut-manggut sambil mikir*
… Iya yah.. Bener juga, Mbak Golda. Ngapain juga saya ada di beberapa tempat yang dianggap tidak wajar, kalau ndak ada tujuannya. Saya baru sadar. Wah, komennya pencerahan, euy.
Oktober 29, 2007 at 4:37 am
Tulisan Bang Aip selalu bagus dan selalu penting. Kok bisa ya seperti itu. Bener-bener salut Bang. Seperti yang golda bilang, Tuhan pasti ada maunya…
Saya turut prihatin buat semua kesedihan tokoh-tokoh dalam cerita abang.
Terimakasih atas belasungkawanya, Mas Chen.
Oktober 29, 2007 at 5:52 am
bang aip punya byk teman yg hebat…terutama udin petot dan sape’i ini 😛
Betul, Resta. Saya bersyukur punya teman seperti mereka.
Sebuah kebanggaan bisa kenal dengan orang-orang seperti mereka. (*walopun Udin Petot kadang-kadang ngeselinnya luar biasa*).
Mereka membaca blog ini juga. Mereka bilang, ‘Rip, bilangin tuh ama temen lo… Makasih yak! Sering-sering aja nulis soal gua. Supaya gua tambah terkenal.’
Hehehe.
Oktober 29, 2007 at 5:55 am
Astagfirullah. Ordered list ternyata tidak jalan. Maksudnya komennya begini:
1.Turut berduka cita
2.Hukuman mati atau apapun untuk pelaku. Yang penting pelaku dihukum
3.Salut buat rekannya Bang Arif. Jangan jangan tu orang adalah menantunya Haji Romli yang sudah beajar ilmu ikhlas. He he he.
4.Semoga sehat walafiat Bang Arif. dari jauh saya hanya bisa mendoakan dan berharap. Soalnya ga mungkin membesuk. he he he.
Bang, Sorry atas komen yang ngaco diatas. Dihapus aja Bang.
Terimakasih yaa, Rid. Tumben, kamu online? Gimana kabar kamu, Rid? Sehat? Oh ya, komen kamu yang kamu minta hapus, akan saya hapus.
Oktober 29, 2007 at 7:06 am
Asal Bang Arif tau aja,
tiap buka IE, saya selalu menyempatkan untuk klik blog Bank Arif sekedar cek untuk liat ada postingan baru atau enggak.
Di postingan ini, sepertinya saya ‘selisipan jalan’ sama Bang Arif, scara saya juga dulu pernah kerja daerah Priok (deket Cilincing,kan), pernah stuck di Depok, seminggu sebelum kejadian Bom Bali saya juga makan malam di Jimbaran.
Terimakasih sudah mampir, Mbak. Oh ya, loh kita kok banyak kemiripan yaa? Saya sampai senyam-senyum sendirian.
Oktober 29, 2007 at 7:29 am
jadi menurut bang aip, taat kepada ibu waktu itu sebagai penyelamat atau memang harus taat sama ibu? **makasih ilhamnya**
Dua-duanya jawaban yang benar, mas Iway.
Oktober 29, 2007 at 10:20 am
pertama saya ingin mengucapkn maaf lahir batin kpd BangAip.Maaf br smpt slaturahmi,maklum br sj hdup lg.
Kalau dikaitkn dgn tulisn Oom Dana,berarti Sapei lbh memilih utk memaafkn drpd mmbalas.Dia rela meninggalkn dharma sbg ksatria,bgtu jg dgn ketaatan BangAip pd ibunda.
Btp tdk mdh mengalahkn ego diri dan merelakan utk melepaskn kebanggaan dan ambisi diri.Skrg bgmn dgn para ‘kasta ksatria’ disana,maukah mereka rela melepaskn dhrma ksatria mereka dm dharma yg lbh bsar?
Waduh King, jangan tanya ke saya. Saya ini kalo punya kasta, maka kasta saya adalah kasta sudra. Huehehe.
Oktober 29, 2007 at 10:39 am
gak bisa ngomong apa-apa lagi bang, susah menjadi orang seperti sape’i bang…kalau kita disakiti, kita ingin orang yang menyakiti kita itu lebih merasa sakit lagi…dan kalau bisa seperti sape’i itu hebat banget…
salam buat temannya itu bang, kagum sama ketabahannya =)
Akan saya sampaikan salamnya, Mbak Mei. Terimakasih yaa atas dukungannya.
Oktober 29, 2007 at 10:56 am
keren juga ya, bang aip selalu ada di setiap kejadian penting bangsa ini, anyway semoga cepet sembuh, salam buat temen2 bang aip yang masih jadi residivis, kehilangan anggota badan, kehilangan keluarga, dll demi kehormatan cilincing
btw, orangtua saya tinggal di ciledug bang aip, dulu waktu saya kecil emang banyak tuh puun kecapi, sekarang gak tau, udah 7 taon kagak nginjek indonesiah
Mas Umar, terimakasih atas doanya. Oh ya, setahu saya di Ciledug masih banyak kecapi. Terakhir kali saya mampir ke Kreo itu sekitar 5 tahun lalu. Dan setiap hari, metik rambutan, kecapi, cempedak, mangga kebembem dan buah-buahan lainnya. Insya Allah, nanti kita bisa ketemu sama-sama di Ciledug, Mas. 😀
Oktober 29, 2007 at 12:15 pm
Mema’afkan memang bagus dan perlu. Tapi mema’afkan saja gak cukup. Bener kata Sape’i: “sembuhkan mereka yg sakit”. Itu menurut saya lebih penting daripada sekedar mema’afkan (saja), apalagi kalo yg bersangkutan gak sadar kalo dirinya sedang sakit.
Nice post, bang! 🙂
Terimakasih sudah mampir, Mas. Memafkan memang penting. Tapi menyembuhkan itu lebih penting. Tapi pertama yang harus diberitahu bahwa para pelaku ini sakit, adalah masyarakat. Sebab banyak anggota masyarakat yang percaya bahwa para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap manusia lainnya atas nama reliji/tuhan adalah hal yang membanggakan. Dan itu berbahaya sekali. Maka itu, masyarakat harus diberitahu, bahwa kekejian terhadap manusia adalah sebuah penyakit. Apapun namanya… Apapun alasannya…
Oktober 30, 2007 at 4:23 pm
Cara nyembuhin-nya gimana dong?
bang aip emang paling bisa kalo ndongeng…
btw,saya bisa minta fotonya Maudy?
Kalau foto Maudy, googling juga banyak, kok.
Cara menyembuhkan pelaku kejahatan atas kemanusiaan atas nama agama/tuhan;
1. Setahu saya, pertama, masyarakat harus diyakinkan bahwa pelaku kejahatan atas kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama itu adalah manusia sakit.
2. Kalau masyarakat sudah mengerti, maka masyarakat akan membantu proses pencegahan terjangkitinya dan penyembuhan penyakit tersebut.
3. Karena ini penyakit kejiwaan, maka ahli penyakit jiwa lah yang paling mampu mengerti psikologis pelaku kejahatan ini.
4. Dalam proses penanganan penyembuhan pada pelaku kejahatan, masyarakat seharusnya membantu. Jadi psikolog/psikiater tidak bekerja sendirian. Sebab kalau masyarakat masih percaya bahwa kejahatan atas kemanusiaan atas nama agama dan tuhan adalah hal yang sah, maka proses ini tidak akan berjalan.
Ucapan saya ini kelihatannya memang mudah saja. Tapi percayalah, ini sungguh berat. Sebab para pemuka-pemuka agama kadang-kadang menganggap bahwa kejahatan atas kemanusiaan atas nama reliji/agama adalah sah-sah saja. Dan para pemuka agama ini, sialnya, menyilaukan masyarakat dengan fatwa-fatwa mereka.
Yang paling susah, itu langkah #1. Kalau bagian pertama bisa dilakukan, Insya Allah proses penyembuhan dapat berlangsung mudah.
Oh ya, selain itu percayalah, bahwa dongengan saya terlalu menakutkan dan menyedihkan untuk hanya jadi sekedar dongeng. Tulisan ini bukan cuma dongeng. Sebab beberapa anggota keluarga serta teman saya yang menderita dan meninggal dunia, bukanlah dongeng yang layak dijual dalam sebuah postingan blog.
Oktober 30, 2007 at 6:25 pm
Postingan menarik bang, saya dapat melihat salah satu peristiwa penting dari sudut yang berbeda. Yang bisa saya petik, ternyata berpikir dengan hati bisa memberi solusi yang lebih bijaksana dan damai bagi semua pihak. Saya yakin, kita semua ingin seperti itu, dan bersedia belajar untuk itu.
Salam kenal bang, lagi belajar nge-blog juga nih 🙂
Salam kenal juga, mas Tiyo. Saya juga lagi belajar, kok. Sama-sama belajar deh kita.
Oktober 31, 2007 at 11:19 am
hikkss,,, pengen nangis, bang…
postingannya bagus banget…
aku jd belajar banyak sama sape’i,,
Alhamdulillah kalau bisa belajar, Mbak. Sama-sama belajar kita. Terimakasih sudah mampir.
November 1, 2007 at 8:44 am
serem dan bikin nyesek. hehhhhhh…..:(
Maap mbok kalau nyesek. Maap, saya nggak ada niat jahat mosting yang serem-serem.
November 1, 2007 at 5:03 pm
wah-wah…. si Sape’i itu hebat sekali ya bang?
heran, darimana dia belajar untuk begitu berjiwa besar?
Saya juga bingung. Sejak pindah ke Bali Sape’i lebih mengerti akan makna hidup. Mengagumkan. Setidaknya, mengagumkan bagi saya.
November 4, 2007 at 6:38 pm
Salam kenal, RETORIKA aka INDOBIKERS, mampir mas.
Ibu temen smu saya juga jadi korban pas kejadian tahun 2002. Kebetulan ibunya dia bule yang ngajar part timer di AIS bali. Setelah kejadian itu mereka sekeluarga pulang ke australia, sampe sekarang saya nggak pernah dengar kabarnya lagi
ini ada link di wordpress, tentang pristiwa bom bali anehnya banyak menganggap si pembom – amrozi cs sebagai pahlawan.
————————————————
http://infojihad.wordpress.com/2007/10/31/hakim-sekuler-pemberi-vonis-mati-amrozi-mati-lebih-dahulu/
————————————————
halah, biarpun penyakit ada beberapa penyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga perlu di Amputasi agar tidak menjalar. Masih banyak orang baik jiwa dan pikiranya yang perlu disembuhkan. Pembom seperti mereka lebih baik di abaikan saja, untuk apa demi menyembuh segelintir pembunuh kita harus menghabiskan biaya dan waktu. Sebaiknya jika ingin menolong ya orang yang memang sakit sebenarnya. Amrozi Cs memang perlu di AMPUTASI sepenuhnya karena mereka memang terlalu berbahya dan penyakit pada mereka adalah MENULAR, jadi sebaiknya di AMPUTASI. MERDEKAAAA !!!
Terimakasih sudah mampir, Mas.
Amputasi? Maksudnya membunuh pembunuh?
November 6, 2007 at 12:18 pm
Aih… inilah salah satu kepuasaan setelah saya balik blogging lagi, baca ceritanya bang aip..
*hapus aer mata sambil buang ingus keras2*
Mungkin maksud lain dari pemberian hukuman mati itu, ya buat nakut-nakutin para bakal amrozi. Sebuah pemikiran yang sakit dari orang yang sehat.
Sayangnya, pemikiran sakit seperti itu masih mendominasi di kampung kita, Nott.
November 6, 2007 at 2:43 pm
@ Arifkurniawan
Yoi! Seperti sampah atau makanan yang sudah membusuk, tidak akan terasa enak walau dimasak berkali kali. Tetapi jika dibiarkan akan menjadi bau dan sumber penyakit harus dibuang! Simple kan?
Maap Mas Ahmad, saya ndak mengerti analoginya. Maklum, wong ndeso nih. Hehehe
November 8, 2007 at 8:04 am
Bang.. sebenarnya mau komen yg “buka2an” itu. aku udah baca tapi belum sempet komen, tapi karena udah pake pasword yg aku gak tau apaan, aku komen disini aja deh. Gak papa kan sedikit OOT? Hemph.. dulu nih bang, pas pertama2 baca tulisan2 bang arip, saya nyangka bang arif itu umur 30an lebih, masa muda berantakan, tapi sekarang hidupnya mulai disusun dengan baik secara perlahan2. Muke lumayan, tapi rambut ga gondrong (soalnya belom pernah liat postingan ttg bang aip dibilang mirip once). Alhamdulillah yang namanya bang arip nemu kerjaan bener sehingga bisa lala lili sampe ke luar Indonesa. Ternyata ada juga yg bisa diarepin dari doi yang masa masa muda di cilincingnya itu ngocol berat.
Gila banget ya bang judgement dari seorang mahasiswi yang dari kemaren minta tulung ini itu ama bang arip. Ternyata setelah liat posting ini (eike mah udah tau umurnya Bang Arif dari penelitian.. hehe..), senyum saya merekah dan ngerasa ikut bahagia dengan kebahagiaan bang Arif. Yakinlah sumpah bang, saya ngerasa jadi bagian dari kebahagiaan abang. Set dah, Bang Arif diberkahi bang, banyak yg cinte ama abang, dan kalo ada yg benci, gak ditanggepin dengan negatif sama abang. Saya yang masih rookie dalam dunia perbloggeran ini belajar banyak dari Abang. Belajar lebih “ngasih” ke sekitar dan belajar “sopan santun” dalam dunia blog ini. Sekali lagi makasih dan selamat bang!!! Salam buat teman2, keluarga dan “calon keluarga”. 😉
Makasi Tiw. Makasih atas doanya. Katika saya down. Saya baca komen kamu ini. Amat menghibur hati. Terimakasih yaa.
November 8, 2007 at 6:00 pm
bang aip…ngeri banget yah ceritanya..
tapi…saya jadi terharu banget neh…
*sambil menangis tersedu-sedu*
blog-nya bagus ooiii….
numpang mampir yang bang…
🙂
Terimakasih sudah mampir. Silahkan mampir-mampir, pintu selalu terbuka untuk anda, Felix.
November 22, 2007 at 10:50 am
kuereeeennnnnnnnn . .. . . .banget ceritanya
Tidk perlu sibuk cari buku cerita klo mau mendongeng buat anak cucu nih . .
Iya, kalo buat anak kecil, cerita yang agak ‘nyrempet bahaya’ disensor. Hehehe.
November 22, 2007 at 4:28 pm
Ah, terlalu. Ditakut-takuti dengan kematian. Jadi mirip ceramah agama aja, ditakut-takutin 😆
Juli 10, 2008 at 11:02 am
Jadi sedih.
Oktober 30, 2009 at 9:14 pm
Salam Kenal…
Indonesia Page – All About Indonesia
The Adsense Site – Guide to Online Adsense Earning
September 7, 2010 at 11:47 am
subhanallah,… sy salut ame pmikiran tmen bangaip bang pe i.. slm knal lg ni bang dr aye… amp