(*Atas nama penghormatan dan penghargaan terhadap hak privasi, beberapa nama pelaku pada tulisan panjang ini bukanlah nama sebenarnya. Satu lagi, terimakasih atas doanya sehingga tidak perlu dilakukan tindakan operasi dari dokter terhadap saya*)

Saya akan bercerita pada rentang jarak-jarak waktu yang berbeda. Agar tidak membuat rumit anda, para pembaca blog nan terhormat, ijinkanlah saya memberi tag judul berhuruf tebal pada setiap cerita.

Oktober 1997

Teman-teman saya dari Cilincing suka sekali datang ke Depok. Ke Kukusan Beji, tempat kost saya. Kadang-kadang, mereka juga mampir ke sekolah saya, yang terletak tidak jauh dari kost-an. Mereka suka datang ke Depok karena Depok pada masa ini cukup teduh dan menyenangkan. Kalau malam, bisa tidur pakai sarung, karena suhu jadi lebih sejuk.

Maka itu, teman-teman saya, suka datang ke Depok. Ke kost saya.

Nah, namanya juga anak Cilincing, anak kampung nelayan. Kalau sudah kumpul, kelakuannya yaa ndeso semua. Bener-bener kampungan deh. Sejujurnya, termasuk saya juga sih. Tapi saya kan sudah jadi bagian dari komunitas Depok. Maka, atas nama gengsi akademisi Depok, kampungan ála Cilincing saya tekan kuat-kuat (walaupun ternyata gagal, hehe).

Contoh betapa kampungannya anak-anak Cilincing adalah ketika suatu hari mereka ramai-ramai datang ke Depok.

Saya lihat, banyak juga yang datang. Ada Odoy, Jumari, Aris Kisut, Utu, Rahmat, Sape’i, Uki, Udin Petot, Uung, Mat Bondan, Dayat bahkan hingga si Gugun, adik saya. Buset dah, banyak banget! Udah gitu, bawa kamera poket pula. Rencananya mau foto-foto di sekolah saya. Sebab sekolahan saya banyak pohonnya. Di Cilincing sudah jarang pepohonan.

Dan yang menyebalkan, mereka semua minta diajak jalan-jalan melihat sekolah saya naik bus gratis. Artinya cuma satu, saya harus jadi guide seharian dan harus mbayarin mereka makan kalo laper. Duh gusti!

Tapi namanya juga temen, akhirnya, jadi juga kami jalan-jalan naik bus. Dan semuanya berjalan lancar-lancar saja. Muka saya yang tadinya tertekuk akhirnya bisa berganti dengan ketawa-ketiwi lagi bersama mereka.

Namanya juga temen, harus solider.

Hingga akhirnya ketika dari dalam bus si Uung teriak, “Wooii ada artiss! Bang arip.. Bangg..! Ada artis lagi jalan kaki, Bang! Pir… Sopiir.. brenti, Pir! Kiri.. kiri…”.

Seketika, semua penghuni dalam bus melihat ke arah Uung. Muka saya merah padam. Karena mereka juga meliat ke arah saya. Malu euy. Sebab bus ini kan bus sekolah, tidak bisa berhenti sembarangan. Bus hanya berhenti pada halte-halte tertentu. Dan tidak bisa teriak-teriak begitu saja di dalam angkutan umum ini.

Tapi tidak demikian dengan anak-anak Cilincing. Mereka teriak-teriak kegirangan di dalam bus, “Horee! Horee! Ada artis! Temennya arip artis! Horee!”.

Dan daripada bertambah malu, saya bersama mereka turun di halte terdekat. Dan teman-teman Cilincing saya itu lantas lari berhamburan menghampiri sang artis muda nan manis tersebut.

Artis ini seorang gadis jelita. Ia tercatat sebagai salah satu pelajar di sekolah saya. Sinetronnya yang dibintanginya menceritakan komunitas masyarakat pinggiran, meledak dengan sukses. Bahkan kalau tidak salah akan dibuat sekuelnya. Dan jujur saja, saya sama sekali tidak kenal dengan beliau secara personal.

Mbak Artis itu terlihat kebingungan melihat serombongan pemuda tidak dikenal bertampang kriminil mengitarinya sambil cengar-cengir nggak jelas. Semuanya mengajak salaman. Ia bertambah kebingungan. Bahkan Udin Petot sampe cium tangan segala kepada si Mbak Artis. Wah saya bener-bener malu.

Daripada malu tambah parah, saya maju memberanikan diri (walaupun sebenernya malu dan gugup luar biasa). “Mbak, nama saya arip. Ini temen-temen saya dari Cilincing. Mereka ini fans-nya Mbak. Mereka mau kenalan sama Mbak”.

Saya diam sejenak. Rojak membisiki sesuatu ke kuping saya. Lalu saya melanjutkan perkenalan saya pada mbak tersebut sesuai pesan sponsor dari Rojak, “Mereka mau poto-poto sama si Mbak, boleh Mbak?”

Mbak Artis itu tersenyum manis. Lalu mengangguk mengiyakan. Anak-anak Cilincing bersorak gembira.

Dan anak-anak Cilincing ini rupanya benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas berfoto dengan selebriti. Jumari pose dengan dua jari membentuk huruf V, style turis jepang. Uki pose dengan tiga jari, mirip anak metal. Rahmat pose sambil memegang pohon, mirip artis pelem India. Utu yang sangar dan gondrong bergaya ála artis cilik Meisye, menempelkan dua jari telunjuk ke pipi kiri kanan. Sementara Sape’i, Aris Kisut, Gugun, Mat Bondan dan Dayat jongkok sambil berangkulan satu sama lain mirip anggota klub sepakbola. Si Mbak Artis berdiri di tengah-tengah mereka, nahan ketawa.

Yang paling parah, siapa lagi kalo bukan Udin Petot. Sebelum pose, dia bahkan minta spidol dan kertas pada saya. Di kertas itu, ia tulis dengan huruf kapital besar-besar ‘CHINTAMI ATMANEGARA LOVES UDIN’. Lalu kertas itu ia berikan pada si Mbak Artis. Dan ia langsung lari ke belakang Mbak Artis. Pose mesra dengan kepala mendekati kepala si Mbak Artis.

Si Mbak Artis tambah bingung. Ia menengokkan kepala ke arah Udin Petot yang membalas tengokannya dengan senyuman mesra (yang bikin saya tambah malu). Si Mbak Artis berkata “Aduh mas, saya ini bukan Mbak Chintami Atmanegara. Saya Maudi”.

Udin Petot kebingungan. Matanya menatap si Mbak Artis dari ujung rambut ke ujung kaki. Anak-anak Cilincing lainnya sudah bete. Karena sudah gaya pose paling ‘oke’, tapi gara-gara Udin Petot, bibir mereka harus kaku nahan senyum.

Udin Petot lari ke arah saya yang jadi tukang potret.
– “Bang, kayaknya kita salah orang deh”
+ “Parah lo, Din. Itu kan Mbak Maudi Kusnaedi. Bukan Cintami”
– “Maudi tuh siapa, bang? Apa poto-potonya kita batalin aja, Bang. Kayaknya ini artis palsu nih”
+ “Kacau luh, men. Itu tuh si Jenab. Temennya Atun. Pacarnya si Doel anak sekolahan. Artis beneran tau”
– “Oh si Jenab. Itu mah gue kenal, Bang. Ya deh ga papa, biar bukan Cintami. Yang penting cakep”

Akhirnya sesi foto-foto itu usai sudah. Semua orang Cilincing bahagia. Mbak Artis itu sungguh ramah. Ia melayani fans-fans palsu kacangan dari Cilincing ini dengan hati yang tabah.

Hingga akhirnya, Mbak Artis harus masuk sekolah. Hari sudah sore, anak-anak Cilincing pulang kampung. Saya kembali lagi ke kost-an.

Hari yang bahagia.

Seminggu kemudian mereka datang lagi. Anak-anak Cilincing datang lagi. Saya tahu, pasti membawa hasil foto dengan Mbak Artis. Saya sudah menduga, pasti Udin Petot mau ketemu Mbak Artis lagi. Cari kesempatan, kalau-kalau sang selebriti belum punya pacar. Ia pasti mau ndaftar jadi pacar si Mbak Artis.

Ternyata saya salah.

Mereka datang membawa pesan buruk. Cilincing dalam perang antar gang. Gang yang dimaksud juga bukanlah gank dalam bahasa Inggris. Gang adalah seruas jalan kecil diantara rumah-rumah kumuh kecil padat di Jakarta. Benar-benar kecil. Lebarnya paling satu meter.

Sebenarnya, ini berita biasa saja. Perang antar warga antar adalah hal yang biasa di Cilincing. Alasannya beragam. Namun umumnya adalah karena rebutan wilayah kekuasaan parkir atau jatah keamanan pasar. Umumnya penyebab perang ini tidak lain karena masalah ekonomi.

Zaman lagi susah. Mau apa-apa susah. Semua butuh duit. Apa-apa mahal. Mau tidak mau, harus berebut lahan mencari makan.

Perang antar gang kali ini sungguh buruk, sebab adik saya, Gugun, terlibat perang tersebut. Bahkan ia hingga terluka cukup parah karena perang itu melibatkan senjata tajam. Sementara, kabar lebih buruk lagi, adik bungsu saya, gadis yang baru beranjak dewasa, diancam oleh gang lawan akan diperkosa.

Mau tidak mau saya harus pulang. Apapun yang terjadi. Saya harus pulang ke Cilincing. Bagi kami, anak-anak Cilincing, kehormatan adalah segalanya. Untuk menjunjung kehormatan, semua hutang harus dibayar. Hutang uang dibayar uang. Hutang darah dibayar darah. Kehormatan adalah segalanya.

Tiga hari setelah saya kembali ke Cilincing. Beredar kabar, bahwa pada hari kamis nanti, akan terjadi pertempuran besar-besaran dengan gang tetangga. Semua anak-anak muda di sekeliling gang saya sudah mengasah golok masing-masing. Beberapa senjata api genggam berjenis Colt atau FN hingga senapan pemburu babi bahkan sudah beredar diam-diam diantara kami.

Rabu pagi, 40 jam sebelum perang

Ibu duduk di teras rumah. Beliau tidak pergi mengajar seperti biasanya. Saya duduk di samping beliau. Beliau menunduk lesu. Lalu berbicara pada saya;
– “Ibu tahu, besok malam perang. Ibu lihat senjata di kolong ranjang kamu”
+ “Ehh.., Errhh…”
– “Sudah. Ngapain kamu ikut-ikutan. Besok kamu di rumah saja”
+ “Errh.., Errhh…”
– “Kamu denger Ibu?”
+ “Errhh… Iya saya ngerti, Bu. Tapi ibu kan perempuan. Ibu nggak ngerti apa yang sedang terjadi. Mereka udah nyakitin Gugun, Bu. Bahkan ngancem mao merkosa Ulfa segala. Saya kan laki-laki paling tua di keluarga ini. Saya malu kalau nggak ngapa-ngapain, Bu. Mau ditaro dimana muka saya. Mereka sudah utang darah sama keluarga kita. Utang darah harus dibayar darah”
– “Kalo gitu, kapan selesainya?”
+ “Maksud Ibu?”
– “Yaa kalo gitu kapan selesainya? Kamu mao ngebunuh anak kampung sebelah? Sukur kalo kamu dipenjara doang! Tapi gimana kalo kamu atau adik-adik kamu dibunuh mereka sebagai gantinya. Atau mereka malah membunuh ibu sebagai gantinya. Kamu mau begitu?”
+ “Yaa nggak gitu lah”
– “Trus apa? Logika kamu kan begitu? Apa kamu berani ngejamin mereka diem aja?”
+ “Saya laki-laki, Bu. Saya dilahirin Ibu bukan untuk jadi pengecut”
– “Ibu nggak minta kamu untuk jadi pengecut”
+ “Jadi apa yang Ibu minta?”
– “Ibu minta siang ini, kita semua sekeluarga berangkat ke Depok sampai perang ini selesai. Kalau kamu masih menghargai Ibu, kamu pasti nurut permintaan Ibu ini”

Saya menggigil mendengar permintaan Ibu. Pelan-pelan berlinang air mata. Ibu adalah orang yang saya cintai dah saya hargai. Amat sangat saya hargai. Namun, memenuhi permintaannya bagaikan membunuh seluruh kebanggaan laki-laki saya. Permintaan beliau, merenggut kehormatan saya sebagai laki-laki dari Cilincing. Pagi itu, saya luluh lantak tak bersisa.

Tapi, sebagai anak. Saya penuhi permintaan beliau.
Berat. Sebab orang se-Cilincing pasti akan menuduh saya pengecut. Dan mengemban stigma pengecut di Cilincing itu sungguh berat.
Tapi saya penuhi jua permintaan Ibu.

Tak peduli tatapan bingung sahabat-sahabat saya. Saya angkut beberapa barang berharga ke dalam mobil angkot yang kami sewa untuk ke Depok. Pagi itu sungguh panas. Namun hati saya membeku. Saya papah Gugun ke dalam angkot. Memasukkan tas berisi baju-baju, dokumen-dokumen penting serta tivi.

Pagi itu, saya bersama keluarga meninggalkan Cilincing untuk sementara. Kami mengungsi ke Depok dengan mobil angkot. Menuju kost saya. Saya duduk di depan, di samping pak supir. Dari kaca spion, terlihat wajah kecewa teman-teman Cilincing saya. Yaa, saya tahu apa yang ada di benak mereka. Dan ego laki-laki saya pun semakin luluh lantak tak bersisa.

Esoknya, hari kamis, terjadi pertempuran seru di Cilincing

Tiga hari kemudian, Udin Petot menjemput kami di Depok. Ia menceritakan bahwa ia selamat karena ia dimasukkan dalam penjara selama tiga hari atas permintaan ayahnya. Jumari selamat karena dilarang bertempur oleh istrinya yang hamil muda. Sape’i selamat karena lari ke Bali.

Ia menceritkan pula kisah tragis, bahwa Dayat dikeluarkan dari kesatuannya dan lalu diadili (*Dayat bekerja di sebuah instansi militer*) karena membacok kepala seorang polisi yang melerai perkelahian itu hingga tewas. Utu dan yang lainnya lari buron sebagai resedivis ke Sumatera karena membunuh anak seorang perwira tinggi yang terlibat dalam perkelahian massal. Aris Kisut masuk penjara. Rahmat tangannya buntung ditebas parang lawan. Uung tewas dengan muka hancur karena terkena peluru senapan pemburu babi.

Mendengar cerita itu, saya menatap Ibu. Saya tidak berkata apa-apa. Seakan waktu berhenti bergerak.

Begitu banyak yang ingin saya sampaikan. Tapi lidah terasa kelu.

——————-The End? Ahh kata siapa?———————

30 September 2005, suatu siang di Bali

Hari ini, hari sabtu. Weekend euy! Dan saya suka hari sabtu di Bali. Menyenangkan. Sebab saya bisa jalan-jalan keliling Bali dengan motor bebek, irit bensin, murah meriah, ramah lingkungan. Hari sabtu di Bali jauh lebih menyenangkan daripada di negara nun jauh dari Indonesia, tempat tingal saya beberapa tahun belakangan ini (*ini subjektif sekali, hehe*).

Karena hobi saya surfing, maka sabtu ini saya ke Dreamland, sambil nenteng-nenteng papan surf di motor.

Oh ya, Dreamland sendiri adalah nama pantai, salah satu surga olahraga surfing dunia yang terletak di selatan Bali. Para surfer dari penjuru dunia berdatangan ke lokasi selancar ini. Dreamland letaknya diantara pantai Kuta dan Nusa Dua. Kalau naik motor, sekitar hampir setengah jam dari rumah saya di Pantai Sanur.

Dreamland itu pantai yang indah. Saya suka memandang matahari terbenam dari pantai ini. Langit berwarna jingga ungu biru dan begitu bercahaya menakjubkan memukau mata yang melihatnya. Matahari senja bagaikan bola api raksasa yang pelan-pelan ditelan samudra luas. Pantulan cahanyanya membentang di laut. Ombak berkejaran bagaikan bibir-bibir emas yang saling berpagutan.

Sayang sekali saya lapar. Dan sialnya, saya hanya mau makan plecing kangkung.

Dan lalu saya pun ke Jimbaran, sebuah pantai di sebelah Dreamland. Sebab disana katanya ada warung plecing kangkung yang enak. Kangkungnya segar dan sambal nya juga sungguh lezat. Cocok sekali dimakan bersama nasi panas dan minum teh anget. Muantaf surataf.

Saya duduk di warung paling pojok. Matahari sudah terbenam, namun semburat jingga masih tersisa di batas cakrawala. Hari belum begitu gelap. Seorang pelayan warung datang;
– “Pesan apa, Pak?”
+ “Plecing kangkung… Nasi putih… Teh anget… Loh! Astopirloh! I! Pe’i!”
– “Ya oloooh rip. Ini elo rip!”
+ “Iya ‘ i… ini gue”

Ternyata pelayan warung itu Sape’i, sahabat saya dari Cilincing. Wahh, kami langsung pelukan kayak di pelem-pelem. Maklum, udah lama nggak ketemu. Sejak malam berkubang darah di Cilincing delapan tahun lalu, saya tidak pernah bertemu Sape’i lagi.

Malam itu, saya habiskan dengan kangen-kangenan dengan Sape’i. Bahkan saya tunggu Sape’i hingga tengah malam. Sampai ia selesai kerja.

Sape’i ternyata sudah menikah dengan perempuan Bali. Mereka dianugrahi tiga anak lucu-lucu dan cerdas. Saya berkunjung ke rumahnya malam itu. Benar-benar takjub melihat Sape’i yang baru. Sape’i yang berperan sebagai ayah dan suami yang bertanggung jawab.

Malam itu, sudah terlampau larut. Saya nggak enak mengganggu terlalu lama di rumah Sape’i. Saya pamit pulang. Saya berjanji, besok sore, minggu sore, saya akan datang ke pantai jimbaran. Sape’i mulai bekerja jam enam sore. Saya janji bertemu Sape’i dan keluarga sebelum pukul enam sore.

Hari Minggu, satu hari setelah bertemu Sape’i 

Sial sekali. Hari minggu, saya sakit perut. Kebanyakan makan sambel pelecing kangkung. Bolak-balik harus ke wese.

Jam 12 siang, saya SMS Sape’i dan keluarganya. Minta maaf. Karena hari itu membatalkan janji. Sape’i membalas sambil ketawa-tawa. Ia bilang tidak apa-apa. Sebab walaupun saya tidak datang ia dan istrinya tetap akan ada di warung tersebut. Rekreasi sebelum bekerja.

Saya tidak bisa tertawa. Sebentar-sebentar harus ke wese. Rasanya badan makin mengkerut saja.

Pukul 9 malam, berita di televisi mengabarkan terjadi pemboman di Bali. Saya kaget luar biasa. Dan semakin kaget ketika mengetahui bahwa salah satu titik pemboman itu ada di Jimbaran.

Astaga! Bukankah Sape’i ada disana?

Sakit perut saya tiba-tiba sirna.

Lima belas menit kemudian saya berhasil mengontak salah satu mahasiswa saya yang baik hati. Ia akan mengantarkan saya ke Jimbaran dengan motor untuk mengetahui situasi Sape’i. Sayang sekali, jalan menuju Jimbaran di blok polisi.

Kami lalu menuju Rumah Sakit Umum Daerah Sanglah yang ada di tengah kota Denpasar. Mencoba mengecek korban jiwa yang meninggal bernama Sape’i.

Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa bernama Sape’i.

Malam bertambah gelap. Kondisi ruangan gawat darurat RSUD Sanglah sungguh sibuk. Baik di sayap lokal maupun di paviliun internasional rumah sakit itu sungguh sibuk. Saya tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berdoa dan pulang ke rumah. Berdoa, semoga banyak manusia yang terselamatkan jiwanya.

Besoknya, saya minta cuti dari kantor. Saya ke rumah Sape’i. Memastikan semuanya baik-baik saja. Dan saya pikir semuanya pasti akan baik-baik saja.

Ternyata saya salah.

Banyak orang berkumpul di rumah Sape’i. Berita duka. Istri Sape’i, Rina, meninggal dunia. Ia salah satu korban jiwa dalam ledakan itu. Sape’i sendiri kakinya hancur terkena serpihan bom. Ia masih ada di rumah sakit. Anak-anak mereka selamat, dan ada di rumah kakeknya, di rumah ayah Rina.

Saya melarikan motor ke rumah sakit seperti orang kesetanan. Di jalan, airmata saya sudah mulai merembes membasahi helm. Dan begitu sampai di samping ranjang Sape’i yang membujur tak sadarkan diri di rumah sakit, saya menangis tersedu-sedu.

Kaki kanan Sape’i buntung hingga selutut. Ada perban berbalut darah. Sape’i, sahabat saya, ayah dari tiga anak, suami yang baik dan setia, terbujur disana. Sambil memegang tangannya, saya menangis seperti gila. Bertanya pada tuhan apa yang sedang terjadi.

Saya tak siap melihat kenyataan ini.

Perawat datang. Memapah saya ke ruangan lain. Pelan-pelan dunia seakan menghitam.
Saya jatuh pingsan.

————————————————

Pertengahan Oktober 2007

Telpon berdering di meja sebelah ranjang saya. Sebenarnya dilarang membawa telpon ke rumah sakit. Tapi karena saya pasien nakal. Saya cuek saja. Hehe.

Saya lirik layar, uh… nomor dari Indonesia. Siapa yang menelpon saya dari Indonesia?

+ “Selamat pagi waktu setempat. Ini Arif”
– “Rip… Ya olooh. Rip. Ini Pe’i. Sape’i”
+ “Astapirlooh. Lo ‘i? Masaolooh… Apa kabar lo ‘i?”
– “Gua sehat, Rip. Kata orang-orang lo sakit, Rip. Moga-moga lo cepet sembuh, Rip. Biar bisa pulang kampung”
+ “‘I, lo dimana sekarang?”
– “Gua masih di Denpasar, Rip. Gue udah kerja sekarang. Ada bantuan buat keluarga korban. Gua buka usaha kerajinan tangan. Alhamdulillah, bisa ngasih makan anak-anak gua”
+ “Sukur deh ‘i. Oh ya ‘i, gue juga minta maap, ga bisa di Bali lama-lama waktu itu. Gue harus balik lagi kesini, men”
– “Nggak apa-apa, Rip. Gua sih bisa denger suara lo udah seneng banget”
+ “Gue juga ‘i. Oh ya ‘i. Gue turut berduka cita atas bini lo, men” (*bini=istri*)
– “Ya emang berat sih, Rip. Gua sempet stress. Tapi mao gimana lagi. Anak-anak gua masih butuh bapaknya. Gua kaga boleh stress lama-lama. Sebab insaoloh pasti ada hikmahnya. Oloh kaga buta, Rip. Insaoloh kita pasti ditulung”

Airmata saya sudah mulai merembes lagi. Sape’i, sahabat saya sungguh luar biasa. Saya coba mengalihkan pembicaraan. Saya malu, berbincang sambil terisak-isak.

+ “‘I… Gue baca di koran. Yang ngebom bini lo bakal dihukum mati, men. Alhamdulillah, biar mati dah tuh orang. Idup juga percuma tuh orang, cuman nyusahin orang banyak aja”
– “…”
+ “Moga-moga tuh orang mampus. Trus masuk neraka yang paling bawah”
– “…”
+ “I’… ‘i… Lo masih ada? ‘I, lo masih ndenger gue?”
– “Iya, Rip. Gua masih ada. Cuman… Cuman…”
+ “Ada apa ‘i? Maap kalo gue nyinggung-nyinggung lagi”
– “Gini Rip. Ngebunuh tuh orang sakit bukan malah bikin bener kelakuannya. Tapi malah bikin dia jadi pahlawan di mata temen-temennya yang juga sakit. Orang sakit harusnya disembuhin, bukan dibunuh. Kalo sembuh, dia bisa bilang ama temen-temannya bahwa mereka itu salah”
+ “Tapi ‘i… Bini lo kan meninggal, men. Lo sendiri jadi susah begerak. Dan bukan cuman itu aja ‘i. Banyak orang yang idupnya susah gara-gara tuh orang”
– “Rip, utang darah nggak bisa dibayar darah”

Saya tidak bisa meneruskan pembicaran. Lidah saya begitu kelu. Pagi ini tiba-tiba begitu menjadi dingin.

Sape’i diam di belahan dunia sana. Ia sahabat yang luar biasa… Seorang sahabat yang sabar mendengarkan sahabatnya menangis tersedu-sedu melalui telepon.