Waktu kartunisasi tokoh agama dan film yang kemungkinan besar akan memicu umat beragama tertentu marah bereaksi, akan beredar, saya amat tertarik sekali.

Personifikasi tokoh suci serta visualisasi mereka (dan ajarannya) dalam film itu memang selalu menarik. Entah bagi yang percaya maupun tidak, selalu menarik.

Tapi percayalah, saya tidak akan membahas pro-kontra film atau visualisasi tokoh-tokoh suci. Jujur saja saya tertarik memang membicarakannya. Sebagaimana setiap orang suka makan masakan hangat. Namun sayang sekali, saya paksa diri untuk tidak membicarakannya.

Kenapa?

Takut ahh. Jujur saja nih, ilmu saya sedikit. Kalau ilmu sedikit apa-apa serba tanggung. Serba salah. Mau bilang itu salah, bilang ini, juga salah. Makanya, sebelum bilang sesuatu, yaa membaca dulu. Ikhtiar dahulu. Agar salahnya tidak kebablasan di depan publik dunia maupun akhirat. Hehe.

Tadinya saya mau bilang pada publik, kalau situ tidak suka yaa jangan dipaksa.

Kalau tahu bahwa ada tulisan, gambaran atau film yang memicu konflik, yaa jangan ditonton. Kalau pun terpaksa harus melihat, yaa tahan emosinya. Kalau pun terpaksa harus emosi, keluarkanlah dengan cara yang baik, misalnya dengan nasihat. Nah kalau yang dinasihati tidak mau mendengar, yaa sabar, jangan pakai cara kekerasan.

Kita kan orangnya cinta damai, hehe. Kalau kata penikmat reggae, “Peace man“.

Karena kita cinta damai, tapi mau protes. Yaa pakai nasihat untuk protes. Maka itu kalaupun ternyata yang diberi nasihat tidak mau dengar, yaa boikot lah satu-satunya jalan bagi wong cilik macam kita untuk menasihati para penggede.

Bukankah Gandhi dapat meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Inggris di India dengan boikot melalui Ahimsa.

Tapi mau ngomong begitu, saya ndak berani yaa. Ilmu saya sedikit. Kalau ilmu sedikit, yaa sebaiknya mulut jangan sembarangan diumbar. Salah-salah, menjirat leher sendiri.

Daripada menghabiskan nyawa gara-gara lidah tidak terkontrol, lebih baik membahas yang lain saja. Dan karena saya memang akhir-akhir ini menyukai film, yaa bahas film saja.

Kali ini saya akan membahas film-film apa saja yang memvisualisasikan isme-isme dan mendapat sambutan hangat di masyarakat.

Apa saja film tersebut;

1. The Ten Commandement

Ini film yang menceritakan kisah Moses (atau Nabi Musa, bagi beberapa orang di belahan dunia lainnya). Film ini diangkat dalam beberapa versi.

Versi kedua, versi yang paling banyak dianugrahi penghargaan Oscar. Yaitu The Ten Commandments yang dibuat tahun 1956. Dibintangi oleh aktor plontos Yul Brynner sebagai Rameses (alias Firaun, bagi beberapa orang di belahan dunia lainnya).

Versi pertamanya sendiri dibuat tahun 1923, dalam film bisu. Menarik sekali, membicarakan sepuluh perintah tuhan dalam kondisi gagu.

Versi selanjutnya, dirilis tahun enam tahun sesudah versi kedua keluar, di bioskop-bioskop Paris. Judulnya Le Diable et les dix commandements. Versi ini tidak terlalu bergaung di publik Hollywood. Tapi di Eropa, film ini boleh dikategorikan sebagai sukses luar biasa.

Filmnya sendiri ‘agak nakal’, menceritakan ketika setan menitis ke tubuh wanita seksi (dan lalu menggoda manusia agar melanggar sepuluh perintah tuhan, …eheemm).

Setelah itu, tidak ada lagi versi The Ten Commandement yang punya ingatan kuat di hadapan publik. Baik versi musikal tahun 2006 hingga parodi dan kartunnya pun, yang dibuat setahun sesudahnya, melempem seperti kerupuk kena air.

Nampaknya, publik bosan dengan Moses.

2. Jesus Christ Superstar

Versi dokumenter film ini, di buat pada tahun 1972, tidak terlalu hangat dibicarakan publik. Namun pada tahun 2000, versi film musikalnya mendapat sambutan luar biasa. Terutama yang di versi pertunjukan live musik opera.

Jesus Christ Superstar, menceritakan kehidupan Jesus dalam sudut pandang Judas. Dimana Judas-nya sendiri (dalam lakon ini) adalah, seorang bintang rock and roll. Dan tentu saja kisah suci beserta tokoh-tokohnya ini bergelimang sex, drugs dan raungan musik cadas.

Versi musikalnya mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Benar-benar hangat. Sebab sebuah gedung pertunjukan di Broadway, Amerika Serikat, hampir diancam akan hangus oleh bom apabila terus melanjutkan pertunjukan musikal ini.

Di Eropa, pertunjukan ini (baik film maupun pentas panggung-nya) mendapat kritikan tajam dari beberapa pemeluk agama. Namun, suara mereka jelas kalah oleh arus demokrasi.

Menariknya, alih-alih melakukan aksi teror atau boikot, publik Eropa malah mendiamkan film dan aksi panggungnya. Secara bisik-bisik, para pemeluk agama menanamkan pada anak-anak kecil mereka bahwa film ini membosankan.

Hebatnya, aksi itu malah berhasil luar biasa. Film maupun teatrikal Jesus Christ Superstar sepi pengunjung. Tidak ada publikasi gratis. Orang-orang lebih suka menonton Mamma Mia, drama operet musikal yang didasari hits ABBA, grup musik jadul dari Swedia.

Versi Jesus dalam film, yang paling laku dijual pada publik adalah The Passion of the Christ. Disutradarai oleh aktor kondang Mel Gibson pada tahun 2004. Konon katanya, selain meraih banyak penghargaan, film ini meraup dollar yang tidak kalah sedikitnya dibanding pemeluk agama yang mempercayai kisah ini.

Kata produsernya, “Semakin banyak orang beragama, semakin untung kita”.

3. Lawrence of Arabia

Beberapa orang memilih film ini sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Film jaman dulu ini (dibuat tahun 1962 dan didasari kisah nyata), menceritakan seorang komandan Inggris yang ditugaskan kerajaannya untuk mengatasi konflik di Kairo pada tahun 1920-an.

Lawrence, si tentara Britania Raya ini disersi dari kesatuannya untuk membantu gerilya Arab. Pelariannya ini menimbulkan banyak pertanyaan, sebab ia sesunguhnya agen ganda yang disusupkan Inggris menumbangkan kesultanan Ottoman di Turki.

Yang menarik, bukan epos perjuangan dalam menumbangkan kekaisaran yang sudah ratusan tahun mengakar di jazirah Arab tersebut. Melainkan, proses dimana mereka sudah berhasil menumbangkan Ottoman. Yaitu, mereka menyadari, bahwa pemerintah baru, gerilyawan Arab, ternyata tidak dapat dipersatukan.

Agama dan persamaan hak yang mereka usung sebagai basis perjuangan, ternyata hanya slogan ketika telah mereka berkuasa. Kesukuan malah terlihat mengemuka.

Film ini manarik sekali. Sebuah perpaduan dan pertentangan antara nasionalisme, chauvinisme hingga agama tradisi yang dibalut keserakahan manusia.

4. Hotel Rwanda

Sebenarnya saya tidak tahu, apa yang harus saya pilih. Apakah Hotel Rwanda atau Schindler List. Dua-duanya sama (minimal buat saya). Menceritakan manusia yang merasa lebih tinggi daripada manusia lain. Lalu, berusaha mencelakakan manusia yang dianggap lebih rendah.

Hotel Rwanda, bersetting di Rwanda, Afrika. Sementara Schindler List, bertempat di Polandia, Eropa Timur. Menceritakan sebuah kisah yang mirip sama. Dimana Paul Rusesabagina, seorang manajer hotel berbintang di Rwanda, melindungi para pengungsi Tutsi di hotelnya agar tidak dibantai milisi Hutu.

Sementara di belahan bumi lainnya, Oskar Schindler, membuat pabriknya sebagai tempat perlindungan bagi pengungsi Yahudi Polandia dari keganasan NAZI Jerman.

Persamaan antara Paul dan Oskar bukanlah pada sebelum kejadian mereka adalah pebisnis rakus yang bertobat, setelah melihat terlalu banyak korban manusia. Melainkan bahwa mereka, yang sungguh begitu berbeda, terperangkap dalam dunia yang sama. Dunia isme yang kemudian menjadi brutal dan begitu mengerikan untuk digambarkan.

—-

Yaa maaf. Disudahi dulu cerita kali ini. Waktu menulisnya hampir habis.

Saya rajin menulis akhir-akhir ini bukan karena apa. Melainkan sebab makan siang yang sedikit. Dapat jatah makan siang satu jam. Sementara, lauk yang saya bawa dari rumah, hanya lemper dua bungkus.

Jadi perut yang keroncongan, dengan serta merta menghabiskan dua kepal gulungan nasi ketan itu. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hanya butuh lima menit. Tandas. Tak bersisa. Kecuali bungkusnya, tentu saja.

Sementara sisa 55 menit waktu sisa makan siang, mau saya apakan? Diskusi?

Bagaimana bisa diskusi, ketika teman-teman saya makan sangu dari rumah sungguh mantap menggiurkan selera. Tinggallah saya diskusi tidak memperhatikan topik. Melainkan sibuk mengawasi gerak mulut lawan diskusi saya mengunyah makanan yang sungguh terlihat lezat amboi tiada tara.

Malu euy.

Maka itu, yaa waktu yang tersisa dipakai menulis iseng seperti ini. Dan ini pun maaf, bukan tulisan cerdas. Gimana mau cerdas, kalau tipikal anak Indonesia berotak rata-rata, macam-saya-ini, cuma dikasih nasi lemper dua kepalan tangan untuk makan siang?

Jadi, kalau anda suatu waktu menyadari bahwa saya jarang menulis. Itu tandanya makan siang saya sungguh enak dan mengenyangkan. Hehehe.

Kata teman diskusi saya, “Orang kenyang susah marah”.

Artinya apa? Entahlah.
Dan hubungannya dengan film yang memicu kemarahan apa? Entahlah.
Atau hubungannya dengan orang Indonesia apa? Entahlah.

Yang pasti, kalau anda lapar maupun tidak. Lauk makan siangnya enak maupun tidak. Silahkan komentar. Hehehe.