(Hati-hati… Jadul dan panjang. Hehe)

Cilincing dalam kondisi tidak aman. Banyak rumah kecurian. Pertama, rumahnya Haji Ono, pemilik minimarket. Lalu, rumahnya Bang Sanip, juragan ikan. Terakhir kali, dua malam lalu, di rumah Mayor Oding, pensiunan marinir.

Anehnya, pencuri itu tidak meninggalkan jejak apapun. Seakan terbang ketika melakukan pencurian. Tidak ada jejak kaki, bahkan tidak ada jejak pintu yang dicongkel paksa.

Pencurian ini pun tidak mengambil benda-benda elektronik. apalagi meubel terbaru puluhan juta buatan Italia yang dimiliki Mayor Oding. Pencuri itu hanya mengambil uang kertas. Uang yang diambil pun tidak semuanya. Hanya sekitar empat atau lima lembar, tapi yang selembarnya seratus ribu rupiah.

Desas-desus mulai merebak di kalangan warga. Sang tertuduh langsung diasumsikan sebagai tuyul. Sebab peristiwa kriminalitas pencurian uang seperti ini, jamaknya memang dilakukan oleh tuyul.

Namun desas-desus murahan itu langsung ditampik oleh Haji Amir. Beliau berkata, “Masoloh…, jaman udah maju kayak gini, ente-ente kok malah percaya tuyul. Musyrik tau!”. Tumben Haji Amir jadi cerdas begitu.

Tuyul akhirnya bebas sebagai tertuduh utama kasus-kasus pencurian di Cilincing. Namun sekali lagi, warga belum puas kalau belum punya kambing hitam. Cerita kriminalitas berbumbu magis beredar lagi. Kali ini, babi ngepet sebagai tersangka.

Warga rame-rame menempelkan bambu kuning di pagar rumah. Katanya, penolak bala. Rumah, apabila ditempeli bambu kuning, tidak akan disinggahi babi ngepet (katanya).

Yang ketiban sial, Mas Kamto, pemilik serumpun bambu kuning di pojokan rumahnya. Sejak isu babi ngepet makin menjadi-jadi, warga Cilincing berduyun-duyun minta bambu kuning ke Mas Kamto. Malang tak dapat ditolak, habislah pohon bambu kuning kesayangan Mbak Tini, istri Mas Kamto.

Mbak Tini jelas ngamuk-ngamuk. Pohon kesayangannya mrotol-mrotol. Lalu akibat sejuta ancaman Mbak Tini yang melakukan aksi mogok ‘memberi jatah di ranjang’, Mas Kamto lapor ke Pak RW mengenai kelakuan warga.

Balik dari rumah Pak RW, Mas Kamto kecewa. Sebab Pak RW yangsekolahnya super tinggi itu tidak percaya mistis. Pak RW malah membicarakan jamban helikopter yang tidak higienis. Mas Kamto jelas kecewa.

Jamban helikopter adalah sebutan bagi WC semi-permanen milik warga. Terbuat dari papan dan triplek. Berdiri tepat diatas sungai kecil-kotor-bau yang membelah Cilincing. Jamban helikopter satu-satunya sarana warga yang tidak punya WC untuk buang hajat. Jamban helikopter, amat praktis untuk warga. Tinggal jongkok, tanpa flush, tinja menghilag sendiri hanyut dibawa arus sungai menuju teluk Jakarta.

Esoknya, setelah Mas Kamto lapor Pak RW. Orang nomor satu di Cilincing itu langsung turun bersama stafnya memberantas jamban helikopter. Pak RW yang masa mudanya mungkin aktifis lingkungan hidup itu, tidak rela, teluk Jakarta dicemari limbah warga Cilincing.

Apuk Asnawi (Asli Cina Betawi), rumahnya persis di pinggir sungai. Ia pengguna jasa utama jamban helikopter. Jelas menolak penggusuran paksa. Ketika memprotes Pak RW, matanya melotot, kalimatnya keras dan putus asa. Tangan Apuk dipegang Su, istrinya. Su takut kalau-kalau Apuk tiba-tiba memukul Pak RW. Kalau sampai itu terjadi, gawat! Apuk bisa digebugin satu kampung gara-gara mukulin Pak RW.

Su menangis…, ketika jamban helikopter akhirnya roboh ditangan staf pak RW.

Malamnya, Mas Kamto, mengumpulkan kami, anak muda Cilincing. Beliau berkata berapi-api, “adek-adek sekalian. Pak RW membuat kebijakan yang tidak populer… Bukannya ngurusin babi ngepet… E-eh malah ngurusin jamban helikopter. Ayo kita bertindak!”.

Akibat propaganda Mas Kamto, kami terbakar jiwanya. Maklum anak muda, kayak bensin ama api, gampang dibakar. Tindakan yang dilakukan adalah, ronda tanpa kenal lelah. Meleh, teman saya, penganten baru, sampai ikut-ikatan ronda akibat propaganda Mas Kamto.

Tujuan kami hanya satu… berjuang demi negara, menangkap babi ngepet!

Tujuh hari tujuh malam, ronda tanpa kenal lelah dilakukan sudah. Namun ujung hidung babi ngepet tidak kelihatan jua. Hingga akhirnya pada suatu malam, sebuah bayangan berkelebat di jembatan.

Bagaikan seorang jenderal ulung, Mas Kamto menyusun strategi untuk menyergap binatang mistis itu. Saya, Jumari, Rojak dan Utu dari sebelah barat. Sementara Mas Kamto dan Meleh dari arah timur.

Hupp… Tanpa perlawanan berarti, kami berhasil menangkap babi ngepet tersebut.

Namun tiba-tiba, babi itu berteriak, “Adaooww… Adaooww… Tulung-tulung! Gua mao diperkosa!”

Astagfirullahaladzim, ternyata babi ngepet itu adalah Su. sungguh amat tidak disangka. Dengan segera, kami bawa Su ke rumah Pak RW, untuk diinterogasi lebih lanjut.

Pak RW jelas kaget. Walaupun belekan akibat baru bangun tidur terpaksa, matanya nyureng melotot, “Hei Kamto, ada apa ini ribut-ribut?!”.

Mas Kamto sambil tersenyum bangga berkata, “Pak RW. Nih dia biang sialnya yang meresahkan kestabilan keamanan Cilincing. ternyata si Su nih babi ngepetnya. Untung berhasil saya tangkep”.

Su sambil menangis menggerung-gerung menjawab, “Boong Pak RW. Aye lagi buang hajat dijembatan. Trus aye tiba-tiba ditubrukin ama bocah-bocah edan ini. Huhuhu… Aye kepaksa berak di jembatan… huhuhu… Abis Pak RW sih yang maksa mbongkar jamban helikopter… huhuhu… Trus kagak diganti ama WC umum.. huhuhu…”.

Mendengar ini, Pak RW bengong. Mas Kamto bengong… Saya dan teman-teman ikut-ikutan bengong.

Udara berbau tidak enak. Kami tiba-tiba sadar bahwa omongan Su benar.

Sebab Su pasti belum cebok ketika kami gerebek paksa di tepi jembatan.