Setelah membaca tulisannya Mbak Chika mengenai sebuah film Indonesia. Saya jadi susah tidur. Bukan karena gara-gara membaca itu saya jadi mimpi buruk, atau malah mimpi basah. Melainkan karena ada satu bait tulisan Chika yang membuat saya terobsesi.

Tanpa sepengetahuan Chika, saya kutip semena-mena di blog ini (*Maap yaa Chika, hehe*). Ini kutipannya:

Selain itu di film ini banyak kata-kata kotor! OMG~ inilah yang membuat moral masyarakat Indonesia menurun karena film selaku media massa memberikan konsumsi yang tidak baik bagi penontonnya.

Menarik sekali. Sebab, selain tumben Chika bicara moral, Chika juga bicara mengenai film sebagai sebuah tuntunan yang memberi asupan pada hidup pemirsanya.

Ini amat menarik. Minimal buat saya.

Kenapa?

1. Kata-kata kotor dalam film

Pertama, apa definisi kata-kata kotor? Setahu saya, kata-kata kotor jelas bukan kata-kata dalam kalimat “sampah”, “comberan”, “tetanus”, “mencret”, “ingus” atau “upil” dan sebagainya. Melainkan kalimat yang isinya mengandung konotasi hubungan badaniyah atau personifikasi alat kelamin hingga personifikasi binatang. Contoh; “anjing”, “babi”, “bangsat”, “ngentot”, “kontol”, “memek”, “jancuk”, “kanjut”, “pantek”, “pukimak”, “kudacuki” dan-sebagainya-dan-sebagainya.

Atau malah kalau mau yang lebih sadis di telinga, deskripsi kata-kata kotor adalah “ungkapan gabungan personifikasi alat kelamin binatang ketika berhubungan badan yang digunakan sebagai sarana pelampiasan emosi pada manusia lain”.

Saya pribadi, tidak terlalu bermasalah dengan kata-kata kotor. Baik itu yang mengandung kalimat “sampah” atau yang sadis terdengar di telinga. Sebab sebelum kenal film di tivi atau bioskop, saya sudah dibesarkan di daerah yang kotor secara harfiah maupun lahiriah, Cilincing. Jadi kalimat sekotor apapun, lumrah saja di telinga.

Yang jadi masalah, memangnya semua anak Indonesia dibesarkan di Cilincing?

Jawabnya yaa jelas… TIDAK.

Tidak semua anak Indonesia dibesarkan di Cilincing. Sehingga tumbuh menjadi manusia bertelinga kebal. Menumpulkan tajamnya kata-kata kotor makian dalam film cinta cengeng remaja. Tidak semua anak Indonesia mengerti arti kalimat-kalimat hubungan badan sebelum berusia 12 tahun.

Kalau begitu, siapa yang harus bertanggung jawab ketika si kecil balita bertanya pada mamanya, “Mama sudah pernah oral sex belum?”

2. Moral masyarakat Indonesia menurun

Di bait ini, saya agak kurang yakin dengan paparan Chika. (*hehe, sori yaa Mbak Chika*)

Pertama, Chika tidak menyediakan barometer tolok ukur sebagai perbandingan.

Kedua, tidak ditampilkan data kapan ketika moral masyarakat Indonesia sedang ‘naik’ dan ‘turun’.

Ketiga, masyarakat Indonesia itu siapa? Apakah masyarakat Indonesia itu adalah pemilik kartu pengenal WNI? Apakah birokrat korup dalam pemerintahan dapat dikategorikan sebagai masyarakat Indonesia pula? Atau malah orang-orang yang tidak peduli dengan tanda pengenal tapi tetap berjiwa mencintai Indonesia?

(*walaupun pasti akan ada pertanyaan tambahan, cinta Indonesia itu barometernya apa? hehe*)

Moral itu kalimat yang menarik. Entah siapa yang menemukannya, dan siapa pula yang menyebarkannya. Moral adalah kalimat yang menarik.

Mengukur moral katanya ibarat mengukur tuhan. Semakin tinggi tingkatan moral, semakin dekat pula dengan tuhan. Contoh: FPI (Front Pembela Islam) merazia tempat yang dianggap sarang pelacuran. Karena sarang pelacuran identik dengan kemaksiatan. Dan kemaksiatan itu identifikasi dari moral yang rendah.

Dari contoh diatas, dapat ditarik sebuah logika sederhana, bahwa FPI mencoba membuat ‘moral tinggi’ dengan menghancurkan ‘moral rendah’.

Yang jadi masalah, apakah benar pelacuran itu identik dengan moral yang rendah?

Nah ini yang jadi masalah besar. Sebab pelacuran itu tidak identik dengan moral rendah. Pelacuran itu identik dengan kemiskinan, perdagangan manusia, kekerasan terhadap perempuan dan penyakit sosial seperti penjara seks dalam masyarakat berbudaya tabu (misalnya;…ehm… Republik Indonesia).

Maka itu, bicara moral memang selalu menarik. Sebab, siapa dan apa yang menjadi barometernya? Tuhan? Apakah anda sudah pernah bicara dengan tuhan? “Who the heck do you think you are? Bush?”

3. Film selaku media massa memberikan konsumsi

Mbak Yati, menulis dengan amat bagus di blognya. Isinya mengenai keterkejutannya melihat pasien kanak-kanak di rumah sakit yang disinggahinya, tahlilan.

Tahlilan adalah seremoni membaca kalimat pemujaan terhadap Illahi dalam tradisi islam nusantara.

Seremoni ini biasanya diadakan pada sebuah momen di mana ada anggota keluarga atau kerabat yang merasa kehilangan. Umumnya memang dibacakan pada kedukaan. Ketika sesudah penguburan. Ketika sesudah ada ibu yang keguguran. Atau ketika sudah dilanda bencana alam bertubi-tubi.

Pasien-pasien cilik itu, mengadakan tahlilan bukan karena kedukaan. Mereka tahlil karena meniru adegan sinetron. Sebuah tayangan film di televisi Indonesia.

Segi positifnya, bagi yang relijius akan menatap dengan pandangan bahwa anak-anak itu memuja Illahi. Mereka akan bangga, sebab mereka pun memuja Illahi. Dan kebanggan itu akan semakin bertambah jika anak-anak mereka, tanpa dipaksa, mengikuti jejak orang-tuanya.

Negatifnya, anak-anak itu memuja Illahi dengan tujuan yang benar-benar berbeda dengan apa yang ada di benak orang tua mereka. Anak-anak itu, dibesarkan dengan stigma hantu, darah, mistis adalah icon yang jadi satu dengan Illahi.

Pelan-pelan, otak kanak-kanak mereka dicuci bahwa mereka sedang tinggal dalam republik sihir.

Film selaku media massa memang memberikan konsumsi. Yang jadi masalah, sadarkah si pembuat film bahwa ia sedang dalam proses memberikan konsumsi pada publik? Kalau beliau sadar, kita sebagai bagian dari sebuah bangsa jelas amat gembira. Sebab dikaruniai sineas yang mempunyai kedewasaan dalam berproses. Kalau tidak sadar? Yaa kita semua cilaka!

Sebab leher anak-anak kita yang jadi taruhannya.

Apakah dalam tulisan ini berarti pula saya mendukung Lembaga Sensor Film (LSF)?

Hahaha… Sama sekali tidak. Saya mendukung kebebasan dalam berekspresi. Walaupun dalam teori maupun pelaksanaannya, saya jauh lebih mendukung kebebasan berekspresi seni (termasuk membuat film) yang mendukung kemanusiaan.

Buat saya, seni untuk seni itu bagaikan onani jiwa. Walapun toh itu bukan masalah. Sebab kalau pun sang seniman memang doyan masturbasi, itu kan urusannya dia.

Apa gunanya seni kalau tidak berfaedah untuk kemanusiaan?

Yang jadi pertanyaan, apakah LSF Indonesia mendukung kemanusiaan dengan menyensor film-film?

Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah sineas-sineas Indonesia mendukung kemanusiaan ketika sedang membuat sebuah karya film yang akan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia?

Atau hanya sekedar bertahan hidup bekerja untuk mengganjal perut?
Atau hidup hanya untuk sekedar onani jiwa?

—————————————————————————

Itu baru soal film loh. Ada lagi yang tidak kalah membuat deg-degan orang Indonesia di masa depan. Tidak lain dan tidak bukan adalah internet.

Internet ini adalah sebuah produk teknologi. Dan teknologi itu, sejak pertama kali ditemukan sudah fitrahnya bagaikan pisau bermata dua. Banyak untungnya, namun tidak kalah banyak pula ruginya.

Saat ini, kita tidak risau mengenai internet. Sebab di pelosok kampung belum ada jaringan kabel atau nirkabel yang sanggup menerima sambungan internet. Jangankan internet, listrik saja tidak sanggup beroprasi 24 jam perhari.

Namun bagaimana dengan 20 atau 30 tahun mendatang?

Internet itu jauh lebih mencandu daripada film. Sebab di internet kita bisa melihat film. Plus tambahan berjuta aksesori bergelimang segala macam. Mulai dari aksesori duniawi yang menjual selangkangan hingga aksesori ruhani yang diselimuti surga. Semuanya ada.

Apa yang terjadi jika 20 atau 30 tahun lagi infrastruktur sudah bagus di Indonesia? Jika PLN telah sanggup mengendalikan bahkan menyediakan listrik stabil. Jika harga komputer semakin terjangkau masyarakat. Jika perbankan online bukan lagi sebuah momok menakutkan. Jika satelit-satelit di jagad raya ini dikuasai oleh anak-anak nusantara.

Apa yang terjadi jika 20 atau 30 tahun lagi anak cucu kita di pelosok desa fasih dengan internet?

Apa pemerintah mau bikin LSI alias Lembaga Sensor Internet?

Kalau mau, sebaiknya belajar dari Saudi Arabia. Yang keamanan sensor internetnya salah satu yang paling ketat di dunia. Yang menyensor setiap tayangan yang berbau pornografi dan sihir. Dan yang juga selalu saja jaringan internetnya bocor paling parah diantara semua negara-negara jazirah Arab. Sebab Saudi ternyata surga pengunduh streaming live porno terbesar (*30 persen lebih pengunjung situs bangbros ber alamat IP Saudi Arabia*).

Kalau begitu, apa solusinya?

Pertama, saya bukan penyedia solusi. Tulisan ini tidak dibuat sebagai sarana jawaban semua masalah yang ada. Tulisan ini bukanlah akhir masalah. Melainkan malahan awal masalah.

Kedua, kalaupun terpaksa harus ada pemecahan. Maka kalimat ‘bijak’ adalah salah satu pelarian sementara yang bisa diberikan.

Contoh: Umur anda 18 tahun, tapi anda sudah jadi kolektor pornografi. Apakah salah? Jawabannya tidak. Kenapa? Sebab lingkungan, latar belakang, kondisi dan fasilitas internet memang meyakinkan anda melakukan hal tersebut. Namun 20 atau 30 tahun lagi, ketika anda sudah jadi bapak, ibu atau malah sudah punya cucu. Jangan salahkan anak usia 10 tahun sudah mengkoleksi pornografi. Sebab mereka punya fasilitas yang jauh lebih baik untuk mengunduh pornografi/kekerasan/terorisme daripada anda pada 20 atau 30 tahun lampau. Maka itu, ‘bijak’ lah terhadap internet.

Yang jadi pertanyaan selanjutnya; Apakah kita bisa bijak terhadap internet, jika kita saja sudah tidak bisa bijak terhadap tayangan film sinetron?

Apakah kita bisa bijak ketika media massa memberikan makanan ruhani pada jiwa-jiwa generasi mendatang secara bertubi-tubi melalui tayangan bergunjing?

Jawabnya, HARUS.

Kenapa?

Karena leher anak-cucu kita yang jadi taruhannya.