Setelah membaca tulisannya Mbak Chika mengenai sebuah film Indonesia. Saya jadi susah tidur. Bukan karena gara-gara membaca itu saya jadi mimpi buruk, atau malah mimpi basah. Melainkan karena ada satu bait tulisan Chika yang membuat saya terobsesi.
Tanpa sepengetahuan Chika, saya kutip semena-mena di blog ini (*Maap yaa Chika, hehe*). Ini kutipannya:
“Selain itu di film ini banyak kata-kata kotor! OMG~ inilah yang membuat moral masyarakat Indonesia menurun karena film selaku media massa memberikan konsumsi yang tidak baik bagi penontonnya.”
Menarik sekali. Sebab, selain tumben Chika bicara moral, Chika juga bicara mengenai film sebagai sebuah tuntunan yang memberi asupan pada hidup pemirsanya.
Ini amat menarik. Minimal buat saya.
Kenapa?
1. Kata-kata kotor dalam film
Pertama, apa definisi kata-kata kotor? Setahu saya, kata-kata kotor jelas bukan kata-kata dalam kalimat “sampah”, “comberan”, “tetanus”, “mencret”, “ingus” atau “upil” dan sebagainya. Melainkan kalimat yang isinya mengandung konotasi hubungan badaniyah atau personifikasi alat kelamin hingga personifikasi binatang. Contoh; “anjing”, “babi”, “bangsat”, “ngentot”, “kontol”, “memek”, “jancuk”, “kanjut”, “pantek”, “pukimak”, “kudacuki” dan-sebagainya-dan-sebagainya.
Atau malah kalau mau yang lebih sadis di telinga, deskripsi kata-kata kotor adalah “ungkapan gabungan personifikasi alat kelamin binatang ketika berhubungan badan yang digunakan sebagai sarana pelampiasan emosi pada manusia lain”.
Saya pribadi, tidak terlalu bermasalah dengan kata-kata kotor. Baik itu yang mengandung kalimat “sampah” atau yang sadis terdengar di telinga. Sebab sebelum kenal film di tivi atau bioskop, saya sudah dibesarkan di daerah yang kotor secara harfiah maupun lahiriah, Cilincing. Jadi kalimat sekotor apapun, lumrah saja di telinga.
Yang jadi masalah, memangnya semua anak Indonesia dibesarkan di Cilincing?
Jawabnya yaa jelas… TIDAK.
Tidak semua anak Indonesia dibesarkan di Cilincing. Sehingga tumbuh menjadi manusia bertelinga kebal. Menumpulkan tajamnya kata-kata kotor makian dalam film cinta cengeng remaja. Tidak semua anak Indonesia mengerti arti kalimat-kalimat hubungan badan sebelum berusia 12 tahun.
Kalau begitu, siapa yang harus bertanggung jawab ketika si kecil balita bertanya pada mamanya, “Mama sudah pernah oral sex belum?”
2. Moral masyarakat Indonesia menurun
Di bait ini, saya agak kurang yakin dengan paparan Chika. (*hehe, sori yaa Mbak Chika*)
Pertama, Chika tidak menyediakan barometer tolok ukur sebagai perbandingan.
Kedua, tidak ditampilkan data kapan ketika moral masyarakat Indonesia sedang ‘naik’ dan ‘turun’.
Ketiga, masyarakat Indonesia itu siapa? Apakah masyarakat Indonesia itu adalah pemilik kartu pengenal WNI? Apakah birokrat korup dalam pemerintahan dapat dikategorikan sebagai masyarakat Indonesia pula? Atau malah orang-orang yang tidak peduli dengan tanda pengenal tapi tetap berjiwa mencintai Indonesia?
(*walaupun pasti akan ada pertanyaan tambahan, cinta Indonesia itu barometernya apa? hehe*)
Moral itu kalimat yang menarik. Entah siapa yang menemukannya, dan siapa pula yang menyebarkannya. Moral adalah kalimat yang menarik.
Mengukur moral katanya ibarat mengukur tuhan. Semakin tinggi tingkatan moral, semakin dekat pula dengan tuhan. Contoh: FPI (Front Pembela Islam) merazia tempat yang dianggap sarang pelacuran. Karena sarang pelacuran identik dengan kemaksiatan. Dan kemaksiatan itu identifikasi dari moral yang rendah.
Dari contoh diatas, dapat ditarik sebuah logika sederhana, bahwa FPI mencoba membuat ‘moral tinggi’ dengan menghancurkan ‘moral rendah’.
Yang jadi masalah, apakah benar pelacuran itu identik dengan moral yang rendah?
Nah ini yang jadi masalah besar. Sebab pelacuran itu tidak identik dengan moral rendah. Pelacuran itu identik dengan kemiskinan, perdagangan manusia, kekerasan terhadap perempuan dan penyakit sosial seperti penjara seks dalam masyarakat berbudaya tabu (misalnya;…ehm… Republik Indonesia).
Maka itu, bicara moral memang selalu menarik. Sebab, siapa dan apa yang menjadi barometernya? Tuhan? Apakah anda sudah pernah bicara dengan tuhan? “Who the heck do you think you are? Bush?”
3. Film selaku media massa memberikan konsumsi
Mbak Yati, menulis dengan amat bagus di blognya. Isinya mengenai keterkejutannya melihat pasien kanak-kanak di rumah sakit yang disinggahinya, tahlilan.
Tahlilan adalah seremoni membaca kalimat pemujaan terhadap Illahi dalam tradisi islam nusantara.
Seremoni ini biasanya diadakan pada sebuah momen di mana ada anggota keluarga atau kerabat yang merasa kehilangan. Umumnya memang dibacakan pada kedukaan. Ketika sesudah penguburan. Ketika sesudah ada ibu yang keguguran. Atau ketika sudah dilanda bencana alam bertubi-tubi.
Pasien-pasien cilik itu, mengadakan tahlilan bukan karena kedukaan. Mereka tahlil karena meniru adegan sinetron. Sebuah tayangan film di televisi Indonesia.
Segi positifnya, bagi yang relijius akan menatap dengan pandangan bahwa anak-anak itu memuja Illahi. Mereka akan bangga, sebab mereka pun memuja Illahi. Dan kebanggan itu akan semakin bertambah jika anak-anak mereka, tanpa dipaksa, mengikuti jejak orang-tuanya.
Negatifnya, anak-anak itu memuja Illahi dengan tujuan yang benar-benar berbeda dengan apa yang ada di benak orang tua mereka. Anak-anak itu, dibesarkan dengan stigma hantu, darah, mistis adalah icon yang jadi satu dengan Illahi.
Pelan-pelan, otak kanak-kanak mereka dicuci bahwa mereka sedang tinggal dalam republik sihir.
Film selaku media massa memang memberikan konsumsi. Yang jadi masalah, sadarkah si pembuat film bahwa ia sedang dalam proses memberikan konsumsi pada publik? Kalau beliau sadar, kita sebagai bagian dari sebuah bangsa jelas amat gembira. Sebab dikaruniai sineas yang mempunyai kedewasaan dalam berproses. Kalau tidak sadar? Yaa kita semua cilaka!
Sebab leher anak-anak kita yang jadi taruhannya.
Apakah dalam tulisan ini berarti pula saya mendukung Lembaga Sensor Film (LSF)?
Hahaha… Sama sekali tidak. Saya mendukung kebebasan dalam berekspresi. Walaupun dalam teori maupun pelaksanaannya, saya jauh lebih mendukung kebebasan berekspresi seni (termasuk membuat film) yang mendukung kemanusiaan.
Buat saya, seni untuk seni itu bagaikan onani jiwa. Walapun toh itu bukan masalah. Sebab kalau pun sang seniman memang doyan masturbasi, itu kan urusannya dia.
Apa gunanya seni kalau tidak berfaedah untuk kemanusiaan?
Yang jadi pertanyaan, apakah LSF Indonesia mendukung kemanusiaan dengan menyensor film-film?
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah sineas-sineas Indonesia mendukung kemanusiaan ketika sedang membuat sebuah karya film yang akan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia?
Atau hanya sekedar bertahan hidup bekerja untuk mengganjal perut?
Atau hidup hanya untuk sekedar onani jiwa?
—————————————————————————
Itu baru soal film loh. Ada lagi yang tidak kalah membuat deg-degan orang Indonesia di masa depan. Tidak lain dan tidak bukan adalah internet.
Internet ini adalah sebuah produk teknologi. Dan teknologi itu, sejak pertama kali ditemukan sudah fitrahnya bagaikan pisau bermata dua. Banyak untungnya, namun tidak kalah banyak pula ruginya.
Saat ini, kita tidak risau mengenai internet. Sebab di pelosok kampung belum ada jaringan kabel atau nirkabel yang sanggup menerima sambungan internet. Jangankan internet, listrik saja tidak sanggup beroprasi 24 jam perhari.
Namun bagaimana dengan 20 atau 30 tahun mendatang?
Internet itu jauh lebih mencandu daripada film. Sebab di internet kita bisa melihat film. Plus tambahan berjuta aksesori bergelimang segala macam. Mulai dari aksesori duniawi yang menjual selangkangan hingga aksesori ruhani yang diselimuti surga. Semuanya ada.
Apa yang terjadi jika 20 atau 30 tahun lagi infrastruktur sudah bagus di Indonesia? Jika PLN telah sanggup mengendalikan bahkan menyediakan listrik stabil. Jika harga komputer semakin terjangkau masyarakat. Jika perbankan online bukan lagi sebuah momok menakutkan. Jika satelit-satelit di jagad raya ini dikuasai oleh anak-anak nusantara.
Apa yang terjadi jika 20 atau 30 tahun lagi anak cucu kita di pelosok desa fasih dengan internet?
Apa pemerintah mau bikin LSI alias Lembaga Sensor Internet?
Kalau mau, sebaiknya belajar dari Saudi Arabia. Yang keamanan sensor internetnya salah satu yang paling ketat di dunia. Yang menyensor setiap tayangan yang berbau pornografi dan sihir. Dan yang juga selalu saja jaringan internetnya bocor paling parah diantara semua negara-negara jazirah Arab. Sebab Saudi ternyata surga pengunduh streaming live porno terbesar (*30 persen lebih pengunjung situs bangbros ber alamat IP Saudi Arabia*).
Kalau begitu, apa solusinya?
Pertama, saya bukan penyedia solusi. Tulisan ini tidak dibuat sebagai sarana jawaban semua masalah yang ada. Tulisan ini bukanlah akhir masalah. Melainkan malahan awal masalah.
Kedua, kalaupun terpaksa harus ada pemecahan. Maka kalimat ‘bijak’ adalah salah satu pelarian sementara yang bisa diberikan.
Contoh: Umur anda 18 tahun, tapi anda sudah jadi kolektor pornografi. Apakah salah? Jawabannya tidak. Kenapa? Sebab lingkungan, latar belakang, kondisi dan fasilitas internet memang meyakinkan anda melakukan hal tersebut. Namun 20 atau 30 tahun lagi, ketika anda sudah jadi bapak, ibu atau malah sudah punya cucu. Jangan salahkan anak usia 10 tahun sudah mengkoleksi pornografi. Sebab mereka punya fasilitas yang jauh lebih baik untuk mengunduh pornografi/kekerasan/terorisme daripada anda pada 20 atau 30 tahun lampau. Maka itu, ‘bijak’ lah terhadap internet.
Yang jadi pertanyaan selanjutnya; Apakah kita bisa bijak terhadap internet, jika kita saja sudah tidak bisa bijak terhadap tayangan film sinetron?
Apakah kita bisa bijak ketika media massa memberikan makanan ruhani pada jiwa-jiwa generasi mendatang secara bertubi-tubi melalui tayangan bergunjing?
Jawabnya, HARUS.
Kenapa?
Karena leher anak-cucu kita yang jadi taruhannya.
Februari 16, 2008 at 12:29 am
LSF, kasus yang cukup-cukup menarik. 😐
*tapi kok saya milih diam aja dulu*
Agak-agaknya ini lebih ke ‘perkembangan’ budaya sendiri. Zaman dahulu di mana media hanyalah sebatas oral saja, publikasi yang esek-esek mungkin tidak sebanyak sekarang dan masyarakat menganggap itu hal yang tabu. Anak-anak tercuci otaknya. Dan sekarang? Ada ‘perkembangan’ budaya di mana hal-hal yang dulunya tabu bagi anak-anak bisa jadi biasa saja. Karena ada akses dan media… 😐
Sang seniman: Wah, saya ketagihan masturbasi..
Saya: Lha itu urusan sampeyan, bukan urusan saya.
😆
Glek… 😮
Saya delapanbelas tahun dan sedikit-sedikit mengumpulkan JAV… 😐
Mari kita bayangkan saat internet membumi layaknya sinetron… Akankah bijak?
Eh iya, ada keyword kata-kata kotornya… 😆
*ngetes search google*
Orangtua yang bisa bicara mengenai aktifitas anaknya tanpa menggurui, sok tahu dan keras… adalah bijak. Andai pun internet isinya konten berbahaya semua (seperti sinetron mistis), tidak susah untuk bijak terhadap internet. Sebab orangtua memberikan kearifan mereka terhadap generasi selanjutnya. Yang jadi masalah, jika orangtua sama sekali cuek atas aktifitas anaknya. Mau nonton penceramah kebaikan sekalipun, konteksnya pasti selalu berbahaya.
BTW, sudah pernah bicara dengan orangtua mengenai koleksi JAV, Mas Gun? Andai sudah, berbagi cerita dong. 🙂
Februari 16, 2008 at 3:43 am
berarti harus belajar bijak dari sekarang..
mumpung anak saya belum lahir… 😀
Wahh, ikutan saya Pak.
Ada kursusnya, Pak? Kalau ada, saya mau ikutan.
Kalau sendirian, susah nih belajarnya. Hehe
Februari 16, 2008 at 4:35 am
makin diampet..makin penasaran..
makin diumbar..makin menjadi.. 🙂
Bener banget, Pak Dokter. Kita yang jadi orang tua dan memilik kewajiban mewarisi ilmu yang sedikit ini, mati-matian menjaga generasi selanjutnya. Supaya mereka tidak jadi teroris. Hehe
Februari 16, 2008 at 5:15 am
Film dan internet, yup, dua topik yang belakangan ini gencar dibicarakan di ruang2 seminar karena dianggap sudah “meresahkan” masyarakat. film dalam pandangan awam saya merupakan media yang “katharsis” bagi penonton utk melakukan tafsir personal terhadap apa yang disuguhkan dalam film itu. artinya *halah sok tahu nih* ada semacam renungan dan refleksi dari penonton usai menonton film itu. memang secara tidak langsung tidak bisa melakukan sebuah perubahan. namun, akan efektif sebagai media “katharsis”. saya tak bisa membayangkan bagaimana kalau anak2 bangsa ini dicekoki film2 karya sineas yang kebetulan dirangkul oleh kaum kapitalis yang abai terhadap nilai2 “katharsis” itu. repotlah jadinya. mereka akan gampang melampiaskan naulir agresivitasnya seperti yang mereka saksikan di film2 itu. kata2 kototr pun bisa dg mudah mereka adaptasi. tak ubahnya dng teks2 bacaan yang mengumbar adegan2 seronok dan vulgar. ttg internet. walah, kemudahan mengakses informasi sering membikin anak2 muda kecanduan, apalagi kalau sampai terjebal mengoleksi gambar porno. *halah* komen ini juga ndak bermaksud memberikan solusi loh bangaip, hehehehe 😆
Terimakasih Pak Sawali atas urun rembugnya. Eh iya Pak, BTW, sebagai pendidik, bapak ada tips berbagi untuk mengatasi maraknya konten yang berbahaya buat anak-anak?
Februari 16, 2008 at 6:56 am
saya juga amat bingung dengan ‘persoalan MORAL’ jika kaitannya seperti itu. orang2 yang udah dalam penjara pun banyak yang dijebloskan ke sana bukan karena moralnya “rendah” dan justru yang berkeliaran di luar sana setelah memakan sekian banyak uang bukan miliknya, malah bebas berkeliaran dan diberi cap ‘bermoral bagus’ karena suka bagi2 duit.
serba terbalik2… [saya juga ngomongnya ga terstruktur gini, sama terbolak-baliknya :p]
tapi mas… bertindak bijaksana aja susaaaaah banget, apalagi harus BIJAKsini atau bijak ke diri sendiri yak? :d
Iya Mbak. Berat euy. Tapi pelan-pelan kita coba lah yaa. Sama-sama. Biar enak. Sebab kalau berat dipikul sendiri, ya begitu itu… susah banget (dengan banyak ‘a’). 🙂
Februari 16, 2008 at 7:17 am
Sebenarnya banyak misuh itu justru dianjurkan dokter,mas. Jadi jika di bilem kita banyak pisuhannya, ya dibiarin aja, gak apa-apa. Sing penting misuhnya sopan dan tetap memperhatikan adat ketimuran.
Misalnya, sebelum misuh, harus ijin dulu sama yang dipisuhi.
‘nuwun sewu,mas. kulo badhe misuhi panjenenan. Jancok! sampun nggih.'(ini contoh).
😀
Hehehe, pasti yang menganjurkan bukan dokter Dani Iswara atau Cak Moki hingga Bu Evi. Hehehe
Februari 16, 2008 at 7:48 am
Maap, OOT.
Itu bukan kata kunci untuk mangslup ke Blog ini kan….???
***ditimpuk keju Alkmaar…***
Keju? Hmhh, rugi bandar!… Kincir angin, Mas Mbel!
*Huahahaha*
Februari 16, 2008 at 8:29 am
saya malah lagi belajar untum misuuh2 dengan sopan .. . .misale panda, bekisar, kupu kupu, hamster daripada binaatang2 yang lain seperti A*u, anj*ng, ba*i, kampr*t
ato menggunakan tangan, hati, otak, kepala.. daripada bagian2 kemaluan seperi kont*l, vagi*a, mem*k
heheheheh… mau nulis jorok kok nda tega saya :D:D takut nanti makin banyak keyword nya
Hehehe, terimakasih mas funkshit… Terimakasih tidak mengikuti jejak Mas Mbel. Huehehe
Februari 16, 2008 at 10:20 am
Setelah baca berkali-kali, lagi paham aku. 😛 Ancaman riil jaman sekarang adalah televisi, ancaman riil masa depan adalah internet.
Tapi ancaman apa ini Mas? Termasuk moralkah?
Ancaman masa depan, yaa ancaman yang dimulai pada saat ini. Bukan moral, Mas. Tapi lebih ke industri/persona yang rakus rating atau hits, regulasi yang kacau, hingga tidak adanya upaya untuk membangkitkan kesadaran publik. Itu ancamannya.
BTW, yang ngancem bukan saya loh. Hehehe
Februari 16, 2008 at 11:35 am
yah… jamannya sudah seperti ini.
dirumah dilarang, malah nonton dirumah temennya.
dirumah firewall sudah dipasang.eee…
banyak warnet yang masih lapang…
dirumah komputer sudah disensor.eee…
laptop bapaknya yang malah kendor…
ato jangan-jangan bang aip banyak koleksi bangbros ya?
(minjem dong)…:D
Bangbros ga punya. Koleksi saya lagu-lagu Pengantar Minum Racun, Warkop Dono Kasino Indro, Pancaran Sinar Patromak, dan KornChonk. Hehe
Februari 16, 2008 at 11:46 am
yup, sedih lyat fil indonesia yang banyak ga punya pesan yang mendidik. Kasian aja kalo ini berlangsung terus menerus, bisa2 generasi muda kita makin bobrok.
Bukannya Indonesia emang bobrok ya?
Oh ya? Dan karena sedemikian bobroknya, sudah tidak ada harapan lagi?
Februari 16, 2008 at 1:21 pm
katenye film mencerminkan karakter sebenarnye manusia di negara tersebut.
jangan2 karakter orang Indonesia itu menyeramkan, flay boy/ gilr, dll
“flay boy/ gilr, dll”… artinya apa?
Februari 16, 2008 at 1:28 pm
Sudah merupakan tugas kita untuk memonitor dan melakukan kritik terhadap itu semua.
Terimakasih atas bantuan usulnya, Mas Dewo.
Februari 16, 2008 at 1:41 pm
wah…nama saya disebut.. 😳
*ditabok*
wah…padahal saya baru mau bahas soal ini, eh keduluan bang aip.. 🙄
ehm..soal moral yang menurun, memang itu cuma opini pribadi dari saya sendiri. jadi memang nggak ada data dan statistiknya. 😐
saya berpendapat demikian karena isi sinetron yang berseliweran di televisi menurut saya miskin edukasi dan kebanyakan malah mengekspos kekerasan. dampaknya berakibat buruk terutama untuk kaum anak-anak yang notabene menelan bulat-bulat apa yang mereka lihat dari tv. banyak kasus kekerasan yang terjadi dan ujung-ujungnya akibat nonton televisi.
begitupula dengan inet. saya sendiri ikut memikirkan kalau saya punya anak, bagaimana cara yang benar dalam mendidik mereka. tentu sebagai orang tua harus kerja keras terutama untuk puluhan tahun mendatang ketika teknologi semakin canggih. duh bang…baca postingan ini saya jadi mikir ke depannya. kira-kira apa ada cara yang baik untuk mengatasi hal tersebut?
saya yang belum punya anak aja udah mikir, apalagi bang aip yang bentar lagi punya momongan nih..Ngomongin moral emang seru, Cik. Hehe.
Kalau cara terbaik mengatasi masalah ini, wah berat juga. Saya pikir usulnya Mas Hedi dan Mas Dewo bagus tuh. Kontrol publik.
Kita memang tidak bisa bikin tayangan dan menampilkannya di media visual seperti para teman-teman kita yang sineas. Namun toh kita bisa menuliskan hasil karya mereka dan disebarkan pada publik.
Februari 16, 2008 at 1:59 pm
Panjang dan sangat menggugah!
Saya juga masih ragu, apakah moral itu sudah benar-benar kita ajarkan kepada anak-anak kita, apa harapan selanjutnya? berharap mereka bisa melakukan filter sendiri?, ya saya setuju, ini baru permulaan.
Sudah terlanjur, segala bentuk ritual religius itu hanya menjadi rutinitas belaka, bukankah sudah banyak contoh, koruptor negeri inipun begitu.
Agh.. akan terasa semakin panjang, komentar saya ini tidak sebagai jawaban atau bantahan, tetapi sebagai permulaan kebingungan saya pribadi ketika membaca tentang beginian.
Hm… *narik nafas panjang*
Saya senang, Mas Peyek ikut bingung. Jadi kita bisa sama-sama mencari solusinya, Mas. BTW, terimakasih loh sudah ikutan bingung 😉
Februari 16, 2008 at 2:11 pm
Kalimat pamungkas yang dahsyat banget dan keren .. saya setuju 1000% ..
Tentu ini peringatan buat kita2 yang sudah punya anak, untuk benar2 aware terhadap ‘ancaman’ ini tapi tidak membuat kita parno dan mengisolasi anak kita .. tapi tidak juga membiarkan lingkungan membentuknya.
Jadi ingat Kalil Gibran. Anak mu bukanlah anakmu karena dia adalah anak masa depan. Gitu kira2.
Terimakasih Mas Eby. Iya benar, anak-anak kita tulang punggung masa depan. Dan jangan dibiarkan tulang punggung itu patah sebelum jompo. 🙂
Februari 16, 2008 at 3:46 pm
Saatnya film kita benar2 “bertanggung jawab”.
Sudah saatnya, kita penonton, juga ikut “bertanggung jawab”. Tidak hanya mau dicekoki tayangan najis. melainkan berani pula menyuarakan pendapat menentang buruknya tayangan buat generasi mendatang.
Februari 16, 2008 at 6:28 pm
jawabannya sbenernya “seimbang”. Negara jazirah arab yg sangat ketat pun terlihat bahwa masyarakatnya malah jadi pengen tau abis, sampe2 kelewatan (pengunduh terbesar.. hihihi). kalo masy jakarta yg udah ketularan negara barat (ketimbang masy kota kecil, misalnya).. ya ada yg mengikuti, ada juga yg masih alim. seimbang.
jawabannya memang harus seimbang. ngga bisa lebih, ngga bisa kurang. tapi yg jadi masalah, titik imbang seimbang itu sebagaimana tolak ukurnya? :p
Imbang itu tidak berat sebelah. Nah merumuskan titik imbang itu yang berat. Sebab setiap umat akan mencoba mengklaim titik imbang versi mereka sendiri. 🙂
Februari 16, 2008 at 6:39 pm
*merenung*
🙂
Mengenai film [khususnya Indonesia], sebenarnya ini dilema yang sulit. Saya mendukung adanya suatu lembaga yg bertugas jadi penyensor film. Tapi saya paham kalau LSF bisa jadi Malaikat Maut bagi perfilman Indonesia ketika dia dengan semena-mena memotong sebuah film. Saya juga jadi teringat akan tulisan Bung GM [disini].
Ini masalah klasik yang dari puluhan tahun lalu selalu jadi persoalan. Mempertentangkan antara kebebasan berekspresi dengan tatanan moral masyarakat. Apalagi kalau kebebasan berekspresi itu “dikendalikan” lewat suatu lembaga resmi yang bisa jadi tuhan bagi film Indonesia.
Walaupun saya pendukung kebebasan berekspresi, saya juga mendukung bahwa leher anak cucu kita jadi taruhannya dimasa depan. Selalu ada batas dalam sebuah kebebasan, bahkan dalam seni sekalipun. Batas itulah yang harus disikapi dengan bijak. Apakah batasannya sekedar onani jiwa atau urusan perut, seperti yang BangAip tulis diatas.
*saya lebih suka pake kata kebebasan ber-ekskresi/ber-sekresi*
Moral itu memang sulit kalau diperbandingkan dengan nafsu/hasrat, apalagi kalau kebebasan dijadikan pembanding yang lain.
Bijak juga bisa jadi solusi Bang. Apalagi kalau kata bijak digabungkan dengan kebijakan terhadap perfilman Indonesia dan juga internet. Semoga bijak bisa jadi solusi.
Tapi bijak itu apaan bang ? 😉
Bijak itu… ehm… Bijak itu, pelarian sementara, Om Fertob. Huehehe.
Februari 16, 2008 at 7:29 pm
Moral masyarakat Indonesia menurun?
Apakah kalau sesuatu sudah berada di niveau paling bawah masih bisa anjlok lagi? 😦 (kaburr, takut digebuki komunitas blog ini).
Hahaha… baru tahu saya, moral itu ada niveau-nya. Pak, apakabar? Lama tak jumpe.
Februari 16, 2008 at 7:31 pm
perdebatan tiada henti mengenai hal ini….. ketika menggunakan logika manusia saja tidak akan sampai ke titik permasalahan sesungguhnya…. apa yang telah dituliskan olehNya seharusnya menjadi panutan dalam setiap langkah kita….
Jaka sembung bawa gitar listrik
Februari 16, 2008 at 9:02 pm
tapi nggak mesti harus membangun benteng tebal terhadap kemajuan dan juga modrenisasi kan?
mungkin bagai mana menyaring kemajuan dan modrenisasi itu biar dapat berguna bagi generasi penerus kali yah?
tapi memang pengaruh buruk dari kemajuan dan modrenisasi seperti ngomong jorok pornographi dll itu berkembang lebih cepat dari dampak postif yang diberikannya oleh film dan internet sebagai salah satu alat.
susah ih,
nyambung nggak sih?
Hehe, nyambung lah Kang Bedh. Eh gimana kabarnya? Sudah agak baikan?
Februari 17, 2008 at 5:58 am
Soal sensor, saya lebih setuju media blog saja atau personal lewat surat pembaca surat kabar, misalnya. Dari situ justru lebih “kena”, seperti yang ditulis Chika dan kemudian digaungkan oleh sampeyan, Bang.
Ini komentar nan bijak, Mas Hedi. Terimakasih loh memberi salah satu solusi, kontrol publik.
Februari 17, 2008 at 7:34 am
terlepas dari itu posisi moral bangsa ini memang telah bergeser. entah kalo dibilang naik atau turun. lihat jaman dulu, orang berdua dia atas jam 9 malem di grebek ma hansip. paginya dipaksa kawin.
film itu memainkan peran penting. ia bisa jadi cermin dari moral masyarakat. tahun 80-90an marak film seks di indonesia. itu menggambarkan masyarakat itu sedang demam seks, dimana di masa sebelumnya adalah tabu.
btw, film berbau seks itu merupakan fase yang merusak perkembangan film nasional. kemudian film nasional baru bangkit setelah film Petualangan Sherina, dan AADC. film keluarga dan remaja.
akankah kita biarkan perfilam kita suram kembali??
Suram? Yaa enggak lah. Justru harus kita bantu. Minimal dikritik gitu di blog anda. Nggak usah banyak-banyak, perbulan satu aja sudah cukup. 🙂
Februari 17, 2008 at 8:21 am
Yach… Film dan internet memang bisa menghancurkan moral…tetapi juga bisa untuk meningkatkan moral dan agama kan?!
Tergantung pemirsanya sih
Februari 17, 2008 at 9:08 am
[…] para film maker tentang posisi LSI. Namun perlu diingat masyarakatpun gelisah tentang ini. Tulisan Bangaip yang didasari oleh isi blog mba chika. Lihat betapa berbeda pandangan tersebut dengan perspektif […]
Februari 17, 2008 at 9:41 am
Semua hal pasti ada sisi positif dan negatifnya…
kalau anak-anak memang biasanya hanya bisa meniru apa yang mereka lihat…
Setahu saya, anak-anak lebih banyak meniru orangtua sih. Orangtuanya cuek terhadap tayangan ajaib. Yaa dia ikutan juga.
Februari 17, 2008 at 3:45 pm
Dan seorang Dian Sastro begitu berapi-api meminta pembubaran lembaga sensor pilem…
Kalau LSP (Lembaga Sensor OPilem) hanya sekedar makan uang rakyat, sih. Yaa dibubarkan saja. Hehehe. Tapi kalau masih ada manfaatnya, yaa kita bantu.
Februari 17, 2008 at 6:01 pm
yang dibutuhkan negara ini sebenernya apa to..
rakyat sengsara pejabat seneng
dari pada rakyat ngamuk mendingan dikasih mimpi.. so mimpi2 indah akhernya dibuat demi kelansungan hidup negara ini.
Dan jadilah kita bangsa yang suka bermimpi. Tapi tidak suka mewujudkan mimpi. Andaipun suka, dengan cara pintas yang dicari. Ahh sedihnya.
Februari 17, 2008 at 7:57 pm
“Karena leher anak-cucu kita yang jadi taruhannya.
Barangkali ini kata kuncinya.
bagaimana kalo kata-kata kasarnya diganti saja dengan “kebon binatang”, semua khewan ada disitu, tapi yang dikata-katain …. “biasa-biasa saja”
Terimakasih atas usulnya
Februari 18, 2008 at 5:45 am
Biarpun ada LSF, kalo film2 yang penuh dengan kata2 yg belum dicuci itu tetap diminati, ya masalahnya ga akan beres, Bang.
Emang bener, masyarakat yang harus mengontrol dan cerdas dalam memilih tontonan.
OOT:
Keren banget ya si Jaka Sembung. 😆
Jaka sembung emang keren. Sayang sudah tiada sebelum ngeblog. Andai ngeblog, pasti ia akan bilang “Wah bagus juga nih… Selamat yaa.. Makan-makan…”
Februari 18, 2008 at 6:44 am
knapa bang aip ngga ngasih usul ke yg mpunya film kalo itu kata2 selangkangan dan sekitarnya diganti anggota tubuh yg laen…
khan jadi makin lucu tuh film…
O_O
OOT ngga sih…
jaka sembung bawa laptop saja saya…
Haha. Bener tuh, idenya bagus juga. Haha.
Sebenernya inti permasalahan bukan kata-kata kotor. Tapi lebih ke arah regulasi dan kebijakan masa depan mengenai tayangan untuk anak-anak.
Februari 19, 2008 at 9:38 am
Dulu waktu saya kecil bbrp bulan sekali mati listrik, sekarang sebulan empat kali. Saya tinggal dikota Metropolitan (bahkan pernah sehari 4 kali). Kok Bang Aip bisa bikin prediksi PLN bakal bisa nyediain listrik stabil 30 tahun kemudian?? Dari pengalaman saya bukannya grafik itu menurun?? dan 30 tahun kemudian kita bakal sehari 4 kali mati listrik, ataupun 4 hari sekali baru ada listrik kan??
Yang logis dong ngehitungnya Bang Aip… ah hahaha…
*satir mode On*
*Jgn marah ya Bang Aip ah hihihi…*
Kalau secara data fakta dan statistik. Anda benar dan amat logis sekali. Huehehe.
Maap loh, kalo saya pakai perhitungan tidak logis. Melainkan optimis. Hehe
Februari 20, 2008 at 8:22 am
Jadi orangtua makin susah ya bang?
Saat anakku masih balita, pulang sekolah komentar…bajingan…..saya nyaris pingsan, cuma ingat tak boleh memarahi anak. Ternyata dia cuma menirukan kalimat orangtua temannya…maklum kompleks perumahan saya dikelilingi kaum urban, yang sangat mudah melemparkan kata-kata seperti itu.
Internet? Hmm dibalik kemudahannya untuk mengakses informasi apa aja, juga ada banyak risikonya, terutama bagi anak-anak di bawah umur. Dulu, untuk membaca bacaan saja, saya harus lolos sensor dari ayah….buku apa yang dapat dibaca oleh anak seusia anaknya.
Terimakasih Bu telah berbagi. Dan saya senang sekali Ibu berbagi disini. Jadi bisa belajar kita semua disini.
Februari 25, 2008 at 8:43 pm
yang membahayakan lainnya adalah: kekerasan, termasuk kekerasan kata-kata. Coba simak kalimat-kalimat akhir dari cerita di atas.
Hati dengan kalimat kekerasan yang demikian… h h ha ha ha
Maret 31, 2008 at 8:44 am
Apa pemerintah mau bikin LSI alias Lembaga Sensor Internet?
Kalau mau, sebaiknya belajar dari Saudi Arabia. Yang keamanan sensor internetnya salah satu yang paling ketat di dunia. Yang menyensor setiap tayangan yang berbau pornografi dan sihir. Dan yang juga selalu saja jaringan internetnya bocor paling parah diantara semua negara-negara jazirah Arab. Sebab Saudi ternyata surga pengunduh streaming live porno terbesar (*30 persen lebih pengunjung situs bangbros ber alamat IP Saudi Arabia*).
sekarang dah mulai terjadi…….
sambungan inet ku gak bisa lagi buka playboy, lalatx, ds, aaaaaaaaaaaaaaah….. brengsek nya host isp ku…….
btw…biarlah itu terjadi, untuk anak cucu kita.
Februari 11, 2011 at 5:11 pm
Teman saya lahir dan besar didaerah “gali”
Saya tumbuh dan besar didaerah yg tetangga nya berjauhan
Tapi teman saya tak pernah swearing, ketika suatu saat bersamanya saya swearing khas daerah saya “kakekane” dia memandang saya dengan marah dan kalimat yg kluar adalah : punya mulut cantik tapi koq omongannya kasar…….
Nah klo saja anak2 diberikan pemahaman untuk menjaga pandangan mata hanya melihat yg baik, mulut ngga ngucapin kata2 “kotor”
Mungkin ga yah? Jadi ga ada taruhan leher?
Kayanya FPI di Indonesia tidak memelihara anggota badannya…. Hehehehehehe…..