Beberapa waktu lalu, saya kedatangan tamu. Sama seperti tamu-tamu lainnya. Tamu kali ini pun istimewa. (*Sebab semua tamu saya anggap istimewa*)

Satu tamu, adalah seorang guru besar. Titelnya profesor. Di Indonesia, ia Paus untuk bidang ilmu yang digelutinya. Sudah agak sepuh. Rambutnya beruban dimana-mana. Kalau saja rambutnya agak gondrong sedikit dan jenggotnya pun juga gondrong pula, maka anda akan melihat sosok Albertus Dumbledore, guru Harry Potter, di wajah bapak ini. Tapi saya tidak berani bilang begitu dihadapannya. Dosa ahh, ngeledekin orang tua. Kualat nanti. Hehe.

Nah, si Pak Albertus Dumbledore (kita sebut saja Pak Albert) ini membawa rombongannya. Para tenaga pengajar dari Indonesia.

Mereka, bertamu di rumah saya karena pesawat mereka singgah di bandara dekat rumah. Tujuan utamanya, mereka akan ke melawat ke beberapa negara untuk mengadakan perbandingan pola pengajaran.

Tamu yang datang, semuanya delapan orang. Titelnya panjang-panjang. Latar belakang keilmuannya pun berbeda-beda. Ada yang tua, ada pula yang muda. Mereka semua, mengajar siswa dengan kualifikasi S (strata) yang banyak.

Hari itu, saya amat hati-hati berbicara. Manusia-manusia yang bersekolah hingga tingkatan S dan selebihnya itu biasanya Super Sangat Sensitif Sekali Sih. Nah, kali ini, saya bicara dengan guru-gurunya. Ampuun. Bibir saya yang tidak bagus ini makin saya kunci rapat-rapat.

Saya lafalkan wirid ampuh saya di dalam hati, yaitu, ‘Rip, jangan sampe keliatan goblok… Jangan sampe keliatan goblok’. Berulang-ulang dalam hati. Berkali-kali.

Mantra ajaib itu saya baca. Tujuannya hanya satu, agar hati-hati bicara.

Mereka datang, kedinginan. Maklum suhu masih musim dingin. Diluar rumah, sekitar tiga derajat. Suhu ruang tamu saya naikkan jadi 21 derajat. Agar para tamu istimewa ini nyaman. Saya hidangkan pula teh.

Omong-omong soal teh. Tamu saya, sebagaimana tamu Indonesia lainnya, menyukai jenis minuman ini. Dan karena saya pun doyan teh dan punya koleksi teh, maka tamu-tamu saya ini semakin nyaman saja.

Nah, kalau sudah merasa nyaman adalah adat timur orang Indonesia untuk saling bercakap-cakap. Bertukar pengalaman. Bertukar keilmuan. Dan kadang, bertukar kesombongan. Tapi untunglah, tamu-tamu ini kelihatannya bukan orang sombong.

Maka itu, mulailah tamu-tamu saya ini memulai percakapan. Saya dalam hati, semakin melafalkan wirid ampuh yang diragukan keampuhannya oleh saya sendiri.

Bapak XX, seorang pengajar dari Universitas Melati di Tapal Batas, membuka percakapan. Topik yang menarik. Beliau berkata begini;

Pak, masyarakat kita itu percaya, tenaga medis, tenaga hukum dan tenaga pendidik itu pekerjaan yang mulia. Karena berkaitan langsung dengan hidup manusia yang paling inti. Tapi kenapa, jika dokter sebelum praktek di lapangan itu disumpah? Kenapa hakim dan pelaku sidang itu bersumpah sebelum melangsungkan pengadilan? Tapi kenapa, guru, tenaga pendidik seperti kita ini tidak disumpah dan bersumpah apapun sebelum memberikan pendidikan?

Buset dah! Bingung saya dapat pertanyaan seperti itu.

Saya blingsatan di tempat duduk. Baru sadar. Bahwa semua orang di ruang tamu saya adalah pendidik. Bahkan istri saya, walaupun seorang guru SD, tetap saja tenaga pendidik. Hanya saya seorang, anumerta tenaga pengajar.

Gimana saya menjawabnya. Pertanyaannya berat sekali. Mengapa guru tidak disumpah atau bersumpah?

Percuma saya jadi Bangaip yang menyandang gelar Top di belakang nama kalau tidak tahu trik menjawab pertanyaan seperti ini. Maka itu, ketika diskusi mulai bergulir. Kursi saya pindah ke samping Pak Albert Jenggot. Tujuannya cuma satu, agar Pak Albert menjawab lebih dahulu pertanyaan ajaib itu. Hihihi.

Namun, Pak Albert Jenggot bukanlah Paus di bidang keilmuan tertentu, kalau tidak bisa menjawab pertanyaan seperti ini. Maka itu beliau menjawab. Jawabannya penuh dengan kalimat bijaksana. Namun, tetap saja membingungkan. Sebab lebih ke arah filosofi kehidupan. Dan di akhir kalimat jawabannya, beliau berkata, “Mari kita minta pendapat pada saudara Arif. Beliau ini kan ahlul bait. Pemilik rumah. Kita harus menghormati beliau. Silahkan saudara Arif…”

Aje gilee. Dalam hati saya menggerundel, “Apes gue…, makin tinggi sekolahnya, makin pinter pula alesannya”.

Wah gawat. Saya keringet dingin. Padahal suhu ruangan hangat. Ya sudah… Saya jawab pertanyaan itu dengan sebuah cerita.

Bapak-bapak, ibu-ibu… Begini. Di waktu luang, saya ini kadang-kadang menulis blog. Sebuah media apresiasi publik di internet. Sebuah media berbagi.

Beberapa teman saya, juga menulis blog. Dan saya pun mendapat teman dari dunia blog itu.

Sebagaimana dunia offline. Dunia blog online itupun terdiri dari manusia-manusia nyata dan segala problematikanya. Ada yang terkenal karena tulisannya. Ada pula yang tidak terkenal. Yang terkenal, disebut sebagai seleb blog.

Diantara seleb blog itu ada beberapa orang yang perprofesi sebagai tenaga pengajar. Sebagai guru.

Dua hari lalu, ada seorang seleb blog sekaligus guru yang mempublikasikan kesalahan mahasiswanya di depan publik. Kesalahan sang mahasiswa cukup fatal bagi sang guru. Yaitu, walaupun sedang mengambil pendidikan master, namun tidak becus menulis daftar pustaka”

Hadirin diam, menyimak cerita saya. Salah seorang ibu dari Universitas Kuda Terbang bertanya apakah ia sepertinya mengenal tokoh yang saya ceritakan. Saya mengangguk. Membenarkan nama yang si Ibu sebut. (*Ternyata si Ibu XY ini blogger juga. Hehe*)

Hadirin berbisik-bisik. Sebab nampaknya mereka juga mengenal tokoh tersebut. Wajar. Sang guru seleb ini tokoh publik sih.

Saya lanjutkan cerita;

Tidak lama setelah sang guru seleb ini mempublish tulisan mengenai tindak laku mahasiswanya. Ramai sekali forum chat para guru membicarakan hal ini. Topik yang dibicarakan beragam. Antara lain:

1. Apakah layak seorang guru memarahi siswa di depan publik?

2. Kalau pun layak. Apakah produktif? Menakuti seribu ayam dengan membunuh satu monyet dihadapan mereka? Bukankah ini yang disebut metode pendidikan terror?

3. Apakah ini efek tidak langsung fenomena ketenaran? Andai sang guru bukan selebriti, apakah ia layak memarahi siswanya di depan publik?

4. Guru juga manusia. Ia juga bisa berbuat kesalahan. Tapi, apakah menyenangkan jika suatu saat ketika ia berbuat kesalahan lalu kesalahannya dipublikasikan di depan publik oleh atasannya dengan kalimat yang mencengangkan? Apakah itu yang disebut belajar dari kesalahan?

Istri saya menatap saya dengan tatapan mata ganjil. Saya terdiam sebentar. Hadirin di ruang tamu menatap saya pula dengan tatapan mata ganjil.

Dalam hati saya kembali mengucapkan wirid-wirid ampuh yang benar-benar saya ragukan ketokcerannya. Nampaknya, wirid saya gagal.

Saya makin banjir keringat dingin. Astaga! Sepertinya saya makin terlihat goblok di ruangan ini.

Saya memaki diri sendiri dalam hati.

Saya lirik, Pak Albert Jenggot mengangkat tangan kanannya sedikit. Ia melirik ke arah arlojinya. Lalu berdehem sebentar. Nampaknya meminta perhatian dari publik.

Beliau berkata “Bapak-bapak, ibu-ibu… nampaknya pesawat kita akan berangkat sebentar lagi. Kita harus check-in ke bandara. Terimakasih Arif dan Nyonya yang telah berbaik hati”

Tidak lama kemudian, mereka semua pamit.

Saya mengantar mereka menuju bis ke bandara. Ketika pintu bisa menutup. Roda-roda mulai berputar perlahan. Dan bayang mereka menghilang di tikungan.

Dalam hati menuju rumah. Pulang. Sambil jalan kaki, saya mulai bertanya-tanya dalam hati.

Apakah wirid saya ampuh?

Atau guru di Indonesia yang tidak perlu disumpah? Karena dengan begitu, mereka bebas berbuat apa saja pada siswanya.

(*Anda bebas berkomentar. Kecuali jika di samping anda, saat ini duduk Pak Albert Jenggot. Manfaatkanlah beliau untuk menjawab. Hehe*)