Beberapa waktu lalu, saya kedatangan tamu. Sama seperti tamu-tamu lainnya. Tamu kali ini pun istimewa. (*Sebab semua tamu saya anggap istimewa*)
Satu tamu, adalah seorang guru besar. Titelnya profesor. Di Indonesia, ia Paus untuk bidang ilmu yang digelutinya. Sudah agak sepuh. Rambutnya beruban dimana-mana. Kalau saja rambutnya agak gondrong sedikit dan jenggotnya pun juga gondrong pula, maka anda akan melihat sosok Albertus Dumbledore, guru Harry Potter, di wajah bapak ini. Tapi saya tidak berani bilang begitu dihadapannya. Dosa ahh, ngeledekin orang tua. Kualat nanti. Hehe.
Nah, si Pak Albertus Dumbledore (kita sebut saja Pak Albert) ini membawa rombongannya. Para tenaga pengajar dari Indonesia.
Mereka, bertamu di rumah saya karena pesawat mereka singgah di bandara dekat rumah. Tujuan utamanya, mereka akan ke melawat ke beberapa negara untuk mengadakan perbandingan pola pengajaran.
Tamu yang datang, semuanya delapan orang. Titelnya panjang-panjang. Latar belakang keilmuannya pun berbeda-beda. Ada yang tua, ada pula yang muda. Mereka semua, mengajar siswa dengan kualifikasi S (strata) yang banyak.
Hari itu, saya amat hati-hati berbicara. Manusia-manusia yang bersekolah hingga tingkatan S dan selebihnya itu biasanya Super Sangat Sensitif Sekali Sih. Nah, kali ini, saya bicara dengan guru-gurunya. Ampuun. Bibir saya yang tidak bagus ini makin saya kunci rapat-rapat.
Saya lafalkan wirid ampuh saya di dalam hati, yaitu, ‘Rip, jangan sampe keliatan goblok… Jangan sampe keliatan goblok’. Berulang-ulang dalam hati. Berkali-kali.
Mantra ajaib itu saya baca. Tujuannya hanya satu, agar hati-hati bicara.
Mereka datang, kedinginan. Maklum suhu masih musim dingin. Diluar rumah, sekitar tiga derajat. Suhu ruang tamu saya naikkan jadi 21 derajat. Agar para tamu istimewa ini nyaman. Saya hidangkan pula teh.
Omong-omong soal teh. Tamu saya, sebagaimana tamu Indonesia lainnya, menyukai jenis minuman ini. Dan karena saya pun doyan teh dan punya koleksi teh, maka tamu-tamu saya ini semakin nyaman saja.
Nah, kalau sudah merasa nyaman adalah adat timur orang Indonesia untuk saling bercakap-cakap. Bertukar pengalaman. Bertukar keilmuan. Dan kadang, bertukar kesombongan. Tapi untunglah, tamu-tamu ini kelihatannya bukan orang sombong.
Maka itu, mulailah tamu-tamu saya ini memulai percakapan. Saya dalam hati, semakin melafalkan wirid ampuh yang diragukan keampuhannya oleh saya sendiri.
Bapak XX, seorang pengajar dari Universitas Melati di Tapal Batas, membuka percakapan. Topik yang menarik. Beliau berkata begini;
“Pak, masyarakat kita itu percaya, tenaga medis, tenaga hukum dan tenaga pendidik itu pekerjaan yang mulia. Karena berkaitan langsung dengan hidup manusia yang paling inti. Tapi kenapa, jika dokter sebelum praktek di lapangan itu disumpah? Kenapa hakim dan pelaku sidang itu bersumpah sebelum melangsungkan pengadilan? Tapi kenapa, guru, tenaga pendidik seperti kita ini tidak disumpah dan bersumpah apapun sebelum memberikan pendidikan?”
Buset dah! Bingung saya dapat pertanyaan seperti itu.
Saya blingsatan di tempat duduk. Baru sadar. Bahwa semua orang di ruang tamu saya adalah pendidik. Bahkan istri saya, walaupun seorang guru SD, tetap saja tenaga pendidik. Hanya saya seorang, anumerta tenaga pengajar.
Gimana saya menjawabnya. Pertanyaannya berat sekali. Mengapa guru tidak disumpah atau bersumpah?
Percuma saya jadi Bangaip yang menyandang gelar Top di belakang nama kalau tidak tahu trik menjawab pertanyaan seperti ini. Maka itu, ketika diskusi mulai bergulir. Kursi saya pindah ke samping Pak Albert Jenggot. Tujuannya cuma satu, agar Pak Albert menjawab lebih dahulu pertanyaan ajaib itu. Hihihi.
Namun, Pak Albert Jenggot bukanlah Paus di bidang keilmuan tertentu, kalau tidak bisa menjawab pertanyaan seperti ini. Maka itu beliau menjawab. Jawabannya penuh dengan kalimat bijaksana. Namun, tetap saja membingungkan. Sebab lebih ke arah filosofi kehidupan. Dan di akhir kalimat jawabannya, beliau berkata, “Mari kita minta pendapat pada saudara Arif. Beliau ini kan ahlul bait. Pemilik rumah. Kita harus menghormati beliau. Silahkan saudara Arif…”
Aje gilee. Dalam hati saya menggerundel, “Apes gue…, makin tinggi sekolahnya, makin pinter pula alesannya”.
Wah gawat. Saya keringet dingin. Padahal suhu ruangan hangat. Ya sudah… Saya jawab pertanyaan itu dengan sebuah cerita.
“Bapak-bapak, ibu-ibu… Begini. Di waktu luang, saya ini kadang-kadang menulis blog. Sebuah media apresiasi publik di internet. Sebuah media berbagi.
Beberapa teman saya, juga menulis blog. Dan saya pun mendapat teman dari dunia blog itu.
Sebagaimana dunia offline. Dunia blog online itupun terdiri dari manusia-manusia nyata dan segala problematikanya. Ada yang terkenal karena tulisannya. Ada pula yang tidak terkenal. Yang terkenal, disebut sebagai seleb blog.
Diantara seleb blog itu ada beberapa orang yang perprofesi sebagai tenaga pengajar. Sebagai guru.
Dua hari lalu, ada seorang seleb blog sekaligus guru yang mempublikasikan kesalahan mahasiswanya di depan publik. Kesalahan sang mahasiswa cukup fatal bagi sang guru. Yaitu, walaupun sedang mengambil pendidikan master, namun tidak becus menulis daftar pustaka”
Hadirin diam, menyimak cerita saya. Salah seorang ibu dari Universitas Kuda Terbang bertanya apakah ia sepertinya mengenal tokoh yang saya ceritakan. Saya mengangguk. Membenarkan nama yang si Ibu sebut. (*Ternyata si Ibu XY ini blogger juga. Hehe*)
Hadirin berbisik-bisik. Sebab nampaknya mereka juga mengenal tokoh tersebut. Wajar. Sang guru seleb ini tokoh publik sih.
Saya lanjutkan cerita;
“Tidak lama setelah sang guru seleb ini mempublish tulisan mengenai tindak laku mahasiswanya. Ramai sekali forum chat para guru membicarakan hal ini. Topik yang dibicarakan beragam. Antara lain:
1. Apakah layak seorang guru memarahi siswa di depan publik?
2. Kalau pun layak. Apakah produktif? Menakuti seribu ayam dengan membunuh satu monyet dihadapan mereka? Bukankah ini yang disebut metode pendidikan terror?
3. Apakah ini efek tidak langsung fenomena ketenaran? Andai sang guru bukan selebriti, apakah ia layak memarahi siswanya di depan publik?
4. Guru juga manusia. Ia juga bisa berbuat kesalahan. Tapi, apakah menyenangkan jika suatu saat ketika ia berbuat kesalahan lalu kesalahannya dipublikasikan di depan publik oleh atasannya dengan kalimat yang mencengangkan? Apakah itu yang disebut belajar dari kesalahan?“
Istri saya menatap saya dengan tatapan mata ganjil. Saya terdiam sebentar. Hadirin di ruang tamu menatap saya pula dengan tatapan mata ganjil.
Dalam hati saya kembali mengucapkan wirid-wirid ampuh yang benar-benar saya ragukan ketokcerannya. Nampaknya, wirid saya gagal.
Saya makin banjir keringat dingin. Astaga! Sepertinya saya makin terlihat goblok di ruangan ini.
Saya memaki diri sendiri dalam hati.
Saya lirik, Pak Albert Jenggot mengangkat tangan kanannya sedikit. Ia melirik ke arah arlojinya. Lalu berdehem sebentar. Nampaknya meminta perhatian dari publik.
Beliau berkata “Bapak-bapak, ibu-ibu… nampaknya pesawat kita akan berangkat sebentar lagi. Kita harus check-in ke bandara. Terimakasih Arif dan Nyonya yang telah berbaik hati”
Tidak lama kemudian, mereka semua pamit.
Saya mengantar mereka menuju bis ke bandara. Ketika pintu bisa menutup. Roda-roda mulai berputar perlahan. Dan bayang mereka menghilang di tikungan.
Dalam hati menuju rumah. Pulang. Sambil jalan kaki, saya mulai bertanya-tanya dalam hati.
Apakah wirid saya ampuh?
Atau guru di Indonesia yang tidak perlu disumpah? Karena dengan begitu, mereka bebas berbuat apa saja pada siswanya.
(*Anda bebas berkomentar. Kecuali jika di samping anda, saat ini duduk Pak Albert Jenggot. Manfaatkanlah beliau untuk menjawab. Hehe*)
Februari 23, 2008 at 2:25 pm
walah…kayaknya saya tahu kasus yang diatas.
iya juga ya, saya baru nyadar kalau ternyata guru itu tidak ada sumpahnya. tapi kalau tanda tangan kontrak untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru, itu nggak termasuk sumpah ya? π
—–
Mungkin termasuk kali yaa. Hmhh… Agak kurang yakin saya, Cik
Februari 23, 2008 at 3:00 pm
Sumpah itu urusannya sama yang di atas. Aku pikir tidaklah penting untuk diucapkan (secara publik) atau tidak, yang penting kan pengamalannya. Dan aku pikir semua macam profesi perlu ‘menyatakan sumpah pribadi’ itu
=)…
*… dan aku masih bingung mencari kaitan antara pertanyaan mengenai sumpah guru dan cerita yang menjadi jawaban bangaip… ah, aku memang masih dogol…
—-
Saya yang kurang teliti, Mas Gojo. Terimakasih atas pertanyaannya mengenai keterkaitan jawaban dengan sumpah guru.
Sebenarnya tidak ingin secara explisit. Agar pembaca merdeka dalam berinterpretasi. Tapi, demi Mas Gojo, saya jawab deh. Hehe.
Begini Mas, masalah sumpah itu terkait dengan kode etik, norma, aturan main atau apalah namanya. Nah hubungan antara cerita guru diatas sebagai jawaban dengan sumpah adalah sebuah pertanyaan. Yaitu, apakah sang guru yang diceritakan itu harus disumpah agar tidak semena-mena mempublikasikan keburukan anak didiknya?
Anyway, Mas Gojo tidak dogol kok. Kalau dogol, mana mungkin bisa bertanya dan berkomentar secara baik dan teliti begini. π
Februari 23, 2008 at 3:01 pm
****Ini jawaban ngasal:
Dokter disumpah, karena bakalan banyak duit…(karena pekerjaannya berusaha menyelamatkan nyawa secara langsung)
Petugas hukum disumpah, karena bakalan banyak duit… (karena pekerjaannya berusaha menyelamatkan keadilan secara langsung)
Lha, kalau guru disumpah(in)? π ****
Jawaban agak serius:
Mungkin karena guru adalah pahlawan tanpa pengakuan (jasa)…, masih kurang menghargai tenaga pendidik…
Dan lagipula, mendidik itu pekerjaan yang tidak langsung kelihatan hasilnya. Prosesnya panjang, tidak cukup sebulan dua bulan, tak cukup setahun dua tahun, tapi panjaaaaaaaaaaaaang dan lamaaaaaaaaa.
Di sisi lain masyarakat kita masih berpikir dalam skala jangka pendek, masih berfikir yang langsung kelihatan saja.
—-
Ini yang saya tunggu, Mas Jupri. Jawaban dari para guru-guru. Salah staunya termasuk Mas Jupri. Terimakasih sudah menyumbang opini.
Februari 23, 2008 at 3:02 pm
Kok rada error ya kasih koment di sini Bang?
Masak sih? Pesan errornya bagaimana?
Februari 23, 2008 at 4:33 pm
Bangaip nyindir saya, yah? *ge-er, hiks* sebenarnya ada juga sih guru disumpah, khususnya setelah naik status dari CPNS dan PNS, pakek tanda tangan segala. Tapi itu berlaku umum, bukan hanya guru saja. Tapi apa gunanya sih sumpah2 yang serba formil kayak gitu? lha wong yang jelas2 disumpah di bawah kitab suci aja ternyata banyak yang ndak ingat lagi sama sumpahnya kok. bangaip pasti ingat betapa setiap kali orang2 yang duduk dalam lingkaran elite kekuasaan itu mau menduduki kursinya. mereka bersumpah menggebu-gebu sampek2 bibirnya jontor. tapi, sumpah tinggal sumpah. dah begitu, sumpahnya sirna seperti ketelan bumi. mending ndak usah disumpah aja, kembali ke hati nuraninya masing2. *halah* BTW, kalo ada guru marah sama muridnya di depan publik, apalagi kalau dipublish di dunia maya, wew… saya ndak bisa ngebayangin wajah sang murid ditelanjangin kayak gitu. lha wong dibisikan di ruang sempit dan tertutup aja wajah sang murid mesti dah merah padam kok. kalo ada muridnya yang ndak becus nulis, wekekekeke … itu sama saja sang guru seperti meludah ke atas langit, hiks, akan mengena ke wajahnya sendiri. *ngelus dada ajah*
—-
Sebenernya saya nggak nyindir, Pak. Saya lagi summon guru-buru biar pada datang. Hahaha.
Tulisan ini dibaca oleh beberapa teman kita yang sedang mengadakan perjalanan sebagai diskusi perbandingan pendidikan RI dengan beberapa negara di Eropa dan Amerika Selatan. Semoga ini bisa menjadi masukan yang berguna untuk mereka.
Saya sadar. Saya tidak bisa membantu teman-teman itu untuk diskusi. Namun saya bisa membantu mereka untuk mengenalkan apa kondisi guru ‘di lapangan’ pendidikan Indonesia. Dengan mengenalkan mereka pola pemikiran Pak Sawali, Kangguru, Mas Jupri Mathematics dan rekan guru-guru atau calon guru lainnya yang mungkin berpartisipasi mengisi komentar pada tulisan kali ini.
Februari 23, 2008 at 9:04 pm
Tapi sumpah juga memang penting kan? ya, meskipun kalau melihat dokter dan hakim masih ada juga yang melakukan pelanggaran sumpahnya. Setidaknya sumpah tersebut bisa jadi ‘pagar’.
—-
Yang jadi pertanyaan Mas Reza. Apabila ‘pagar’ itu dilanggar/ditabrak secara sengaja atau tidak sengaja. Apa konsekuensinya?
Februari 23, 2008 at 11:41 pm
Mungkin nyang terjadi malah,lebih banyak guru nyang di Sumpahin…
(komen ngaco ndak segh…???)
—-
Kayaknya nggak ngaco deh Mas Mbel. Sepertinya, ini realita yang terjadi.
Realita menyedihkan.
Februari 24, 2008 at 2:12 am
hihihihih π disumpahin dah sering, entah itu oleh pejabat maupun rakyat jelata, kalo disumpah ya sumpah PNS aja, bagi saya di sumpah banyak-banyak bikin ngeri aja bang, semakin banyak sumpah keknya semakin banyak yang saya langgar tuh sumpah
serapahnya.Kalo di dinia guru ada slogan begini :”Jika anak pintar maka orang akan menanyakan Anak siapa itu???, tapi jiga anak goblok maka orang akan menanyakan Siapa sich guru anak itu?
—-
Pak Guru, masalahnya guru kan bukan cuma PNS saja. Ada loh yang bukan PNS. Bukan berarti PNS lebih rendah atau lebih tinggi. Hehe.
Sebenarnya sumpah itu lebih menjurus ke kode etik kali yaa, Pak. Yang jadi masalah, apakah guru di Indonesia punya kode etik tertentu. Setahu saya, kode etik ini belum dimasyarakatkan secara umum (*atau malah mungkin tidak pernah ada*).
Ironis sekali, ketika sertifikasi kita genjot habis-habisan. Hingga guru yang tidak bersertifikat diburu-buru bagaikan tikus got. Sementara, guru yang tidak berkode etik, kita biarkan saja, berkeliaran bebas.
Ini sekedar curhat saya, Pak. Seorang mantan guru di RI yang tidak punya kode etik (*serta tidak punya sertifikat*). Hehehe
Februari 24, 2008 at 4:19 am
waduh..pertanyaan sederhana tapi butuh merenung secara mendalam untuk menjawabnya…
cuman mau tau juga sih, sejak kapan dokter dan hakim itu disumpah untuk melaksanakan jabatannya ?
kalau jawabannya “dimulai pada tahun sekian-sekian..” mungkin pernah ada sebuah peristiwa yang melandasi hal itu, dimana akibat yang ditimbulkan oleh dokter dan hakim begitu mengguncang, sehingga melahirkan kebijakan “penyumpahan” terlebih dahulu.
Sedangkan guru, walaupun tetap beresiko “jangka panjang” tapi karena modusnya massal, dimana persentase kesalahan masih bisa ditolelir (masaq 1 kelas hancur semua karena gurunya…itu misal lho…), sehingga kebijakan “sumpah” tidak dilaksanakan.
ini jawaban iseng aja sih, tanpa diikuti riset π
—-
Kalau sumpah dokter, bisa dilihat di sumpah hippokrates ini, Pak. Untuk hakim, ini sumpahnya.
Terimakasih atas jawaban isengnya.
Untungnya, teman-teman kita yang sedang berkunjung ke luar negeri untuk diskusi pendidikan sekolah anak-anak Indonesia tidak untuk iseng-iseng. Kalau mereka iseng-iseng, kita gaplokin nanti pas pulang ke RI. Hehehe
Februari 24, 2008 at 11:59 am
Disumpah ga disumpah apa ada pengaruhnya, Bang? Sumpah yang diambil hanya akan menjadi sekadar formalitas jabatan, lain itu tidak.
Jadi ya ga usah disumpahlah, nanti nambah dosa.
Pekerjaan mulia tidak selalu menghasilkan perilaku yang sama mulianya.
—-
Wah, Hana kok tumben, jadi pesimis.
Februari 24, 2008 at 12:22 pm
Mungkin para guru jaman dahulu kala beranggapan mereka memang tidak perlu sumpah pak. Seorang guru yang benar (menurut saya) bukanlah mereka yang INGIN jadi guru tapi justru mereka yang HARUS jadi guru.
Mereka harus mengambil peran sebagai guru karena memang mereka dituntut untuk itu. Mereka memiliki ilmu yang harus diturunkan.
Soal sumpah, mungkin perlu SUMPAH GURU. Hanya saja, ada kecenderungan profesi yang disumpah itu justru profesi yang banyak disoroti kinerjanya. Presiden itu disumpah, dokter itu disumpah, ANGGOTA DPR/D itu disumpah, hakim itu disumpah… SUAMI JUGA DISUMPAH…
—-
Terimakasih atas pendapatnya, Mansup.
Februari 24, 2008 at 12:53 pm
Menurut ane kagak perlu sampe bersumpah, karena bersumpah pun belum tentu ditepati… bukankah para pegawai negeri dan para pejabat juga telah disumpah, tapi toh….
Yang paling penting adalah bagemana menanamkan rasa tanggungjawab terhadap profesi. Tanggungjawab terhadap Tuhan, anak didik dan masyarakat. Karena fada dasar-na setiap perbuatan akan dimintai pertanggunganjawab-na…
*difecut*
—-
Nah, justru ini yang jadi pertanyaan topik tulisan kali ini. Bagaimana? Disumpah?
Februari 24, 2008 at 8:41 pm
Semoga saja tidak adanya sumpah guru itu karena guru sudah dianggap cukup bertanggung jawab.
Tapi …
Bisa juga guru tidak disumpah karena “produk” para guru dianggap tidak penting.
Mungkin sekarang para hakim, dokter dkk tidak perlu disumpah. Lha guru yang tidak disumpah saja (masih banyak yang) “lurus”
——-
King, ternyata sumpah guru itu ada. Hehe.
Tapi BTW, makasih atas masukan kamu.
Februari 25, 2008 at 7:44 am
emmm…mereka ga disumpah? bukannya sebagian besar guru adalah PNS? PNS menjalani sumpah kan, saat pengangkatan sebagai pegawai?
atau maksudnya ‘sumpah profesi’ ? [mungkin saya yg ga tau] sudahkah guru memiliki kode etik? kalo ga salah, di indo, satu2nya profesi yang belum memiliki kode etik.
lalu…kalo semua jenis profesi harus menjalani sumpah sebelumnya, kenapa wartawan ga disumpah ya? emang sih ada kode etiknya…tapi seru juga kali ya disumpah[sumpahin] dulu sebelum ke lapangan :d
——
Ternyata guru ada kode etiknya, Mbak. Ada sejak tahun 1973. Menariknya, sumpah ini sepertinya hanya berlaku bagi lulusan sekolah guru atau yang PNS saja. Ini info dari beberapa teman
Februari 25, 2008 at 9:35 am
Bang Aip, dari kacamata saya, saya condong ke pihak guru yang menunjukkan kesalahan muridnya di depan umum tersebut, toh beliau tidak menunjukkan siapa pembuat kesalahan itu.
Dari kacamata saya (lagi), beliau bertujuan agar semua orang belajar dari kesalahan seperti itu. Karena jika hanya menegur kepada murid yang bersangkutan, maka akan ada potensi pengulangan kesalahan oleh orang lain.
———-
Terimakasih Mas atas berbagi opininya. Saya suka pendapatnya. Karena berbeda dengan Pak Sawali. Hehe. (*Dan saya menyukai setiap perbedaan*).
Februari 25, 2008 at 9:46 am
*lirik kiri-kanan huff…nggak ada Pak Albert Jenggot π¦ *
Sepertinya wiridnya Bang Aip manjur deh, sampai-sampai Pak Albert dkk nggak berani berkomentar, btw baca wirid apaan sih Bang? π
Menurut Ning, apapun profesinya harus bermula dari panggilan jiwa, bukan hanya urusan mata pencarian.
Guru tanpa panggilan jiwa hanya akan tansfer ilmu, bukan mendidik. Dokter yang hanya sekedar profesi hanya memeriksa dan memberi obat, tidak ada sentuhan yang justru kadang lebih manjur dari obat medis.
———
Wiridnya? Haha, rahasia.
Terimakasih Mbak sudah berbagi. Komentarnya langsung dibaca oleh ybs kok.
Februari 25, 2008 at 10:26 am
[…] Mengapa orang – orang Indonesia tidak bisa berurusan dengan uang dan tetap menjaga kejujurannya? Sampai kapan saya harus berurusan dengan semua ini? Apakah karena belum ada gelar S di belakang nama saya, maka saya tidak bisa mengerti kebijakan mereka? Ataukah mereka harus disumpah? […]
Februari 25, 2008 at 10:46 am
*bengong*
Tadi siang, waktu anak-anak sedang mengerjakan tugas, tiba-tiba terdengar “An*ing, lo! B*go!” dari bagian belakang sana. Tak menunggu tawa teman-temannya selesai, saya potong dengan, “***** [nama murid], don’t say that in my class!” dan ia langsung terdiam.
Sebelum tadi, dia juga pernah bercanda/memaki dengan berucap, “Dasar autis, lo” yang saya sambut dengan permintaan, “Please don’t use autism as a joke. Parents whose children are autistic must not feel it is funny at all”. Saat itu ia terdiam juga.
Ketika ada murid yang menjawab & menanggapi saat saya bertanya, teman-temannya bereaksi dengan “Cieeee… iya deh iya, pinter lo sekarang” dan saya tanggapi dengan “Don’t discourage your friends! He is learning. Like you do.” Mereka yang tadinya mengolok lalu terdiam.
*bengong lagi*
Nyambung gak ya, mas? Bukan komentar ya kayanya. Tapi ikutan sharing hehehe…
Saya baruuuuu aja ikutan ngantri di profesi guru. Belum punya akta 4, apalagi jadi PNS.
Sertifikasi guru, belum punya.
Jadi soal ke-berkas-an, saya jauh dari memenuhi syarat. Hanya berharap satu: semoga pengajaran saya membekaskan hal yang baik di murid-murid :p
@Hana: ouch… that hurts :p
—–
Terimakasih Mbak Lita telah berbagi. Semoga ini bisa menjadi salah satu masukan bagi teman-teman kita yang sedang melakukan penelitian.
Februari 25, 2008 at 11:39 am
Guru sudah punya kode etik secara resmi sejak 1973 *gogling Kode etik guru Indonesia*.
Seingat saya *ngebayangin acara wisuda* lulusan institut guru memang tidak pernah berSUMPAH-seremonial membaca keras-keras 9 pedoman dasar itu dgn buku suci di atas kepala π
Efeknya sungguh ngak jelas π jadi apa perlunya?
Justru ketika berdiri di depan kelas di hadapan manusia lain *terpampang jelas SUMPAH MORAL* untuk mengubah anak didik dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi pintar dan menginspirasi si pintar berhati nurani π
Guru yg melanggar kode etik umumnya karena kompensasi rendah. Boro-boro mau mengembangkan kemampuan diri, ngurusin isi perut aja terpaksa ngojek kiri-kanan, mirisss π
—-
Terimakasih atas infonya, Mbak
Februari 25, 2008 at 11:52 am
Bangaip,
Guru terdiri dari berbagai latar belakang, dan saat lulus Sarjana dan diwisuda, umumnya mereka telah disumpah, untuk berbuat kebajikan dan mengamalkan ilmunya…(kebetulan anak saya di UI saat di wisuda ada acara seperti ini). Bukankah dokter juga disumpah saat lulus menjadi dokter?
Namun sumpah ini perlu juga, untuk sekedar mengingatkan, karena tak menjamin ada perlakuan yang diluar batas kewajaran, sama halnya saya dulu bersama teman-teman juga mesti mengucapkan seumpah pegawai…malah pake tanda tangan. Atau perlu dibuat kode etik guru, agar selalu diingat, karena guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik….dan tanpa ada guru, kita semua tak menjadi apa-apa.
—-
Setuju Bu. Tanpa guru, kita kehilangan arah.
Maaf OOT Bu. Tulisan saya ini, banyak yang protes, Bu. Terutama teman-teman guru. Kata mereka, tumben saya mengkritisi guru yang nasib hidupnya sudah jauh dibawah rata-rata. Sebenarnya ini sudah saya jawab di komentar Pak Sawali. Bahwa tulisan ini menjadi masukan bagi beberapa rekan kita yang sedang mengadakan penelitian untuk kemajuan pendidikan di RI. Namun yaah, mungkin bahasa saya yang kurang bagus. Jadi dianggap menghina guru. Padahal sama sekali tidak ada niatan menghina guru.
Beberapa guru menulis dalam email pribadi, “Ngapain guru disumpah segala, makan aja susah!”. Saya sedih sekali sih, tapi saya tahan saja. Bingung dalam hati. Bertanya-tanya, apakah karena kemiskinan membuat kita jadi anti kritik. Apakah kemiskinan membuat kita bebas berbuat semena-mena. Kalau memang benar, sama saja dengan rezim yang mentang-mentang berkuasa anti dikritik.
Haduuh, maap Bu, jadi OOT begini.
Februari 25, 2008 at 8:13 pm
Sumpah…sampai selesai membaca cweiamu itu,saya belum tahu siapa pak albet jenggot….:D
—–
Wah, nama bukanlah nama sebenarnya, Kang Tajib. Biasalah, untuk melindungi privasi. Hehe
Februari 26, 2008 at 7:40 am
koq kata temenku yg ortunya pengajar bilang, mreka disumpah koq pas lulus IKIP.
——-
Terimakasih atas infonya, Mbak
Maret 5, 2008 at 5:00 am
[…] Menyambut tulisan bang Aip soal sumpah guru, saya jadi pengen malu, sebagai guru yang belum tersertifikasi, masih bego soal kode etik guru, […]
Maret 6, 2008 at 7:21 am
masih ingat saya??
sebagai guru saya tidak akan berani melepaskan nyawa gara-gara marahin siswa saya, sesalah apapun siswa tersebut. paling lapor ke atasan yang lebih tinggi lagi.
(guru pegang spidol , siswa pegang pestol)
—-
Masih ingat anda?
Hmhh, kita pernah ketemu, Pak.
Maaf yaa, ingatan saya lemah. Mungkin ada baiknya jika bapak mengingatkan dimana kita pernah bertemu.
Maaf, tidak bermaksud buruk apapun.
BTW, terimkasih sudah mampir, Pak.
Maret 23, 2008 at 11:10 am
Disumpah atau disumpahin?
Saat diangkat jadi pns dari cpns saya disumpah kok, Pak. Cuma sumpah pegawai, bukan sumpah guru. Hanya saja di dalamnya sudah terimplikasi dg pekerjaan. Jadi berarti ya sdh di sumpah. Gak tahu kalo guru yg non pns (sory mbukan mau mbedain, dulu sy juga gtt yg bayaran diitung perjam perminggu perbulan)
April 10, 2008 at 6:06 am
Mbah Arif.(Jangan marah…karena umur jelas di atas saya)
Ndak usah disumpah sajalah. Toh sumpah sekarang ini seperti suampah udara. Setelah diucapkan lupa.
Kalau jadi guru jangan karena terpaksa jadi guru tapi dari nuraninya ingin jadi guru gukan ijazahnya guru. He…he…he
makasih tulisan mbah bisa untuk intropeksi diri.
Mei 6, 2008 at 5:11 pm
Komentar saya paling ga penting. Seharusnya Albus Dumbledore, mas. Bukan Albertus π
Juli 13, 2008 at 10:56 am
bener pak arif, Albus Percival W. B. Dumbledore
Saya guru dan saya gak disumpah. Pada suatu hari saya pernah mengeluh karena gaji yang kecil dan kerjaannya yang menguras batin. Capek mikirin anak-anak, kalo mereka nakal dan nilainya jelak, kita yang kepikiran gak bisa tidur ikutan mikirin gimana masa depannya tuh anak mungkin anak itu malahan gak pernah mikirin dirinya. Dijawab sama rekan-rekan saya: Kalo mau kerja yang enak, ya jangan jadi guru! Siapa suruh jadi guru.Padahal sumpah, saya memilih jadi guru. cuma kadang gak tahan aja kalo masa depan terus gak pasti sebagai guru SD swasta.Kalo musti disumpah, isi sumpahnya apa pak Arif? Saya bersumpah akan jarang mengeluh selama menjadi guru..heuheuheu
Kayaknya itu yang penting, karena guru paling doyan mengeluh.
Februari 24, 2012 at 2:29 pm
Sebenarnya ketiadaan pengambilan sumpah bagi para guru itu adalah keberkahan. Guru bukan hanya seorang pengajar, melainkan juga seorang pendidik yang dijadikan sebagai suri tauladan. Guru bertanggung jawab terhadap tindak-tanduknya. Pada kenyataannya masih adanya kecurangan dan pelecehan kelakuan yang dilakukan oleh oknum Guru tertentu.
Untung tidak ada sumpahnya. Kalo ada, mau jadi apa peserta didknya??????Udah melakukan kecurangan, melanggar sumpah yang berhubungan dengan Manusia dan Tuhan Yang Maha Kuasa…ckckckckc..
“Guru kencing berdiri,Murid kencing berlari…”