(*Hehe, cerita jadul nih. Sebuah kisah ketika saya masih bujangan dan tinggal di sebuah titik di Depok, Jawa Barat. Awal tahun 2000*)

Di Depok, ada beberapa rumah singgah untuk anak jalanan. Rumah singgah ini konsepnya cukup unik. Mirip dengan homeless shelter di negara-negara maju. Bedanya, sama sekali tidak di dukung pemerintah pusat maupun lokal. Serta tidak ada dukungan finansial yang mencukupi.

Hasilnya bisa bisa ditebak, seperti kuda tua yang dipaksa pacuan. Namun, walaupun susah payah, rumah ini tetap berdiri. Mengapa? Jawabnya simpel, sebab terlalu banyak anak-anak terlantar yang tinggal di daerah Depok dan sekitarnya.

Di rumah ini, beragam usia anak-anak tinggal, menetap, datang dan lalu pergi lagi. Namanya juga rumah singgah. Dan yang menyinggahinya kebanyakan adalah anak jalanan. Jadi, yaa mirip halte bus. Semua anak-anak jalanan, bahkan orang kemalaman pun bisa singgah di rumah ini.

Tapi karena kebanyakan yang menyinggahinya adalah anak jalanan, berusia antara 3 hingga 15 tahun. Maka disebutnya Rumah Singgah Anak Jalanan.

Mereka singgah untuk mendapatkan sebuah rumah untuk bernaung. Sebentar melarikan diri dari ganasnya hidup di jalanan. Sejenak melupakan trauma diancam, dipukuli, dirampas uang hasil mengamennya hingga diperkosa.

Saya dan beberapa teman, seperti Cirul, Candra, Daniel, Opik, Bommal, Fuad, Andri, Jendral dan lain-lainnya, mengurus rumah singgah ini. Tidak hanya di satu tempat, melainkan di beberapa tempat.

Di sebuah rumah singgah, saya dan Cirul yang dipercaya mengasuh. Cirul bagian rumah tangga, seperti mengurus rekening-rekening hingga beras buat makan. Saya yang mengurus pendidikan anak-anak itu. Bommal dan Fuad membantu mengajar.

Mereka, anak-anak itu memanggil kami dengan sebutan ‘Kakak’.

Kecuali saya. Mereka memanggil saya dengan sebutan “Bang Aip”. Sebab pada saat itu, saya mengurus rumah singgah sambil berdagang lontong sayur, makanan khas Jakarta. Dan sebutan ‘Abang’, adalah panggilan khas terhadap para tukang di Jakarta. Entah ia berdagang apa. Entah darimana asalnya, kalau jualan, maka di panggil “Bang!”

Ini sebuah cerita mengenai sepenggal kisah di Rumah Singgah Anak Jalanan, Depok.

Malam sudah tiba di Gang Salak. Kira-kira pukul tujuh. Saya bergegas membereskan lapak, tempat dagangan saya. Lontong sudah habis. Semur telor, semur tahu juga habis. Mahasiswa-mahasiswi yang kuliah di Depok biasanya yang membeli dagangan saya.

Tiba-tiba si Jurek, anak jalanan yang paling besar (umurnya kira-kira 16 tahun) datang. Ia menangis.

Saya bingung lalu bertanya, “Loh Rek. Kenapa kamu nangis?”

Jurek diam saja. Saya tanya lagi, “Kamu laper?”

Ia menggeleng. Tapi tangisnya mereda. Ia mengelap ingusnya dengan kaus yang sudah seperti lap busi motor. Penuh sisa asap knalpot bus jalan Margonda. Legam dan apak.

Saya diamkan sebentar. Menunggu. Sampai ia buka suara.

Jurek perlahan berbisik, “Saya nggak boleh masuk warnet. Tadi berantem ama nyang jaga warnet”

Saya kaget. Saya tahu anak jalanan punya insting kuat untuk berkelahi. Dan namanya juga anak jalanan, emosinya tinggi. Sebab sudah terbiasa dilatih kerasnya iklim jalanan.

Tapi di rumah singgah, ada peraturan dilarang berkelahi. Kenapa Jurek melanggar? Pasti ada sebabnya? Sebab ia tahu konsekuensinya berat jika melanggar kesepakatan anti kekerasan di rumah singgah.

+ “Ada apa kok sampai kamu berkelahi sih?”
– “Nggak boleh masuk”
+ “Yang punya warnet kan si Tia, teman saya. Dia sudah janji kok, semua anak jalanan boleh masuk. Kalian malahan gratis kalau mau belajar internet”
– “Saya mah udah ngerti, Bang. Kaga usah belajar lagi”
+ “Trus ada apa dong?”
– “Saya nggak boleh masuk ama yang jaga. Trus operatornya saya gebukin aja dah. Sial, dia badannya gede bang. Saya kalah dah”
+ “Hah!”

Saya bereskan barang-barang di lapak kaki lima saya secara cepat dan tergesa. Menguncinya dengan gembok (*ini kota lumayan besar. Apapun yang tidak di kunci, biasanya hilang. Jangankan barang, cinta dan disiplin saja mudah hilang di tempat ini*)

Lalu, saya tarik tangannya si Jurek. Ini anak, harus belajar minta maaf. Tidak bisa pukul orang sembarangan. Selain itu, saya juga penasaran. Mau tahu alasan si Jurek tidak boleh masuk ke warnet.

Sampai di warung internet (tidak jauh, kira-kira jalan kaki 5 menit), saya meminta ijin pada operator yang sedang jaga, agar saya boleh bertemu dengan manajemennya. Saya diantar ke lantai tiga, tempat manajemen warnet berada. Disana, ada manajer warnet dan teman-temannya.

Dengan sopan saya bertanya, apa yang telah terjadi.

Rupanya, manajer warnet itu juga kebingungan. Sebab ia juga ternyata sedang ‘menyidang’ operator yang terlibat perkelahian. Yang disidang, anak muda. Umurnya baru saja mulai kepala dua. Ia baru saja jadi operator satu bulan. Masih dalam masa training.

Kami terlibat pembicaraan cukup serius di ruangan ini.

Manajer Warnet (MW): “Mas Arif, untung anda datang yaa. Saya juga kebingungan ini. Tadi ada ribut-ribut di parkiran depan. Katanya si Budi berantem sama anak jalanan. Loh kok bisa?”
Si Arip (SA): “Saya juga bingung, Pak. Ini si Jurek dateng ke lapak saya sambil nangis. Katanya dipukulin di warnet. Tapi emang dia sih yang mulai. Dia ngaku sama saya tuh”
MW: “Kebetulan ini ada Budi, yang berantem sama anak asuhnya Mas Arif. Ayo coba, ada apa ini? Budi, kamu bisa menerangkan? Jurek juga, ayo menerangkan?”

Si operator yang disidang itu bernama Budi. Dia diam lalu melirik pada Jurek. Yang dilirik menunduk. Dia tidak mau masuk ruangan. Walah walah, masih kesal rupanya si Jurek. Kalah berkelahi, kesal. Hehehe.

Saya bilang pada Jurek, “Eh men, namanya juga berantem, kalah menang mah biasa. Yang penting bukan hasilnya, tapi apa yang membuat kamu hingga harus berkelahi. Itu yang penting. Jurek, ayo dong gabung”

Jurek buka sepatu punk-nya (ini sebenarnya sepatu PDL tentara yang sudah butut dan di cat bendera Inggris. si Jurek ini tergila-gila grup band punk asal UK, Sex Pistols. Itu sepatu bolong di cat pake cat kuda terbang, biar mirip sepatunya Sid Vicious)

Jurek: “Saya mau masuk. Padahal saya mau bayar. Saya kaga maen di warnet kalo nggak punya duit Bang. Eh mulutnya nih orang bilang saya nggak boleh masuk. Katanya anak jalanan bawa masalah”

Saya dan Manajer Warnet menatap si operator. Ia menunduk, dengan lirih berkata, “Tadi siang, emang ada masalah Pak. Mas Arif, saya sama sekali tidak musuhan sama anak jalanan. Tapi tadi siang ada masalah”

SA: “Ada masalah apa Mas Budi? Masalah dengan anak rumah singgah?”
Budi: “Iya Mas. Temennya dia datang duluan tadi siang. Main sejam. Terus saya usir”
SA + MW: “Loh, kenapa?”

Kami semua kebingungan.

Budi: “Itu Mas… Anu… Anu… Temennya Jurek, yang rambutnya pitak. Main sejam. Trus mbuka-mbuka situs porno. Terus dia onani di depan monitor, Mas. Suaranya berisik sekali pas keluar. Sudah gitu, pejunya muncrat di keyboard, Mas. Bahkan mousenya juga belumuran peju”
(*peju = air mani*)

Serasa mau loncat dari kursi saya saking kagetnya. Antara kaget, bingung plus malu jadi satu. Buset dah. Ada-ada aja ini. Yang rambutnya pitak, tidak lain tidak bukan si Samsul.

Sambil menahan-nahan perasaan yang sudah tidak karu-karuan. Saya coba saya tetap jaim, alias jaga image. Pura-pura cool. Agar tidak kelihatan seperti orang bloon di depan publik.

Tapi gimana mau ditahan coba? Anak-anak jalanan ini udah mirip anak sendiri buat saya. Orang tua mana yang tidak kaget kalau mendengar anaknya yang ABG buka situs porno lalu masturbasi di depan publik? Samsul itu baru 14 tahun. Astaga!

Manajer Warnet melirik operator baru itu dengan tajam.

MW: “Tapi nggak semua anak jalanan kan begitu, Bud. Kamu nggak baik itu maen pukul rata semua orang”
Budi: “Iya Pak, maaf. Saya salah”

Saya masih tenggelam dalam kebekuan ketika semua mata melirik saya. Sambil berdehem (pura-pura tenggorokan gatel), saya berkata, “Mas Budi, andaikata saya dalam posisi anda. Saya pasti juga merasakan dilema. Dan saya sadar, pasti anda kesal harus membersihkan sperma dari tempat yang tidak semestinya”

Saya tidak tahu harus bicara apa. Kok yaa melantur hingga ke sperma yang tidak pada tempatnya. Memang tempat sperma yang semestinya harus dimana? Memangnya ada panduan baku untuk wadah sperma yang baik dan benar? Halah, ngaco. Maklum, lagi senewen.

Tapi, apapun yang terjadi, harus tetap ke konsep awal. Memberi pelajaran pada Jurek. Bahwa tidak bisa memukul orang sembarangan. Memangnya dunia ini ring tinju raksasa?

Tidak lama kemudian, Jurek minta maaf pada Budi sang operator. Dan saya… Mati-matian menahan malu, meminta maaf terhadap ‘insiden siang nan panas’ di warnet. Pada Budi si operator, pada manajer dan pada semua staff warnet.

Kami lalu pamit.

Tergesa-gesa, saya berjalan ke rumah singgah. Kira-kira 15 menit dari Gang Salak. Di daerah Kelapa Dua. Dekat kampus Gunadarma. Di tepi kali Ciliwung.

Di sana ada Cirul dan anak-anak jalanan lainnya. Saya lalu mengobrol sebentar dengan Cirul, menerangkan kejadian ajaib yang baru saja saya alami bersama Jurek dan staff warnet di Jalan Margonda, Depok.

Cirul tertawa ngakak habis-habisan. Dia bilang, “Rip, lo tau ga… Si Samsul itu emang hormonnya gede tau. Lo tau ga, anak-anak singgah juga pada komplen ama gue. Si Samsul itu doyan banget masuk WC lama-lama. Sabun abis ama dia doang. Dipake coli. Hahaha” (*coli = onani*)

Saya keki, “Yee, lo sih enak bisa ketawa disini. Gue nih men.. Bayangin. Malu banget muka gue, men. Mao ditaro dimana waktu di warnet. Masa ada anak singgah merintih-rintih di warnet sambil mlorotin celana. Trus abis itu, buang peju sembarangan. Kampret”

Cirul tambah ngakak ketawa abis-abisan. Lalu berkata sambil senyum, “Ya udah, gini aja. Lo ajak ngomong aja si Samsul. Gua mah nggak bisa ngomong kayak gituan. Itu tugas lo lah”. Lalu berlalu ke warung di depan rumah. Membeli rokok kretek filter kegemarannya.

Saya panggil si Samsul. Tidak lama kemudian. Kami bicara di beranda samping rumah. Di sana agak sepi. Saya menjaga perasaan Samsul. Saya pikir, kalau saya bicara di depan publik mengenai kasus masturbasinya di warnet, dia pasti malu. Sebab anak jalanan itu lebih malu terhadap sesama anak jalanan ketimbang di depan ‘kaum-selain-anak-jalanan’.

+ “Samsul, tadi saya ke warnet. Kata mereka, kamu coli sembarangan. Benar?”
– “…”
– “Hehe… Kok sekarang diem aja. Tadi katanya orang-orang, kamu agak berisik waktu di warnet?”
+ “Maap, Bang”
– “Loh kok minta maap sama saya. Sama Jurek tuh. Dia jadi korban salah sangka. Sebab si tukang warnet nyangkain semua anak jalanan pikirannya kotor”

Samsul diam terus. Ia menunduk. Saya tahu, ia malu. Saya kenal Samsul sudah lama. Sudah tiga tahun ia di rumah singgah ini. Boleh di kata, sudah menjadi penghuni tetap.

Samsul ini, sebagaimana anak jalanan lainnya, kisah hidupnya sungguh berliku. Ia lari dari Padang, kota kelahirannya. Sebab sudah tidak ada yang mengurus. Bapaknya masuk penjara karena memukuli ibunya hingga meninggal dunia. Ia lalu pergi ke Jakarta. Entah kenapa. Ia sendiri tidak tahu alasannya. Menumpang dari satu truk ke truk lain di lintas Sumatera.

Dan akhirnya, ia disini. Terdampar di depan mata saya. Menunduk malu tiada tara.

Ahh saya tidak tega. Tidak mungkin memarahi Samsul begitu rupa. Anak ini, masih ABG. Kurus, kecil, kepalanya banyak pitaknya. Bekas luka, yang sembuh di kepala. Meninggalkan bekas, yaitu bagian di mana rambut susah tumbuh. Bekas luka, akibat pukulan ayahnya ketika mabuk.

Saya tidak tega.

Maka itu, dua jam berikutnya, saya habiskan dengan pelajaran biologi. Menerangkan arti reproduksi. Menerangkan sejarah sex pada manusia. Menerangkan arti hubungan biologis dan kesenangan yang menyertainya. Tidak lupa memberitahu, bahwa acapkali manusia melarikan diri pada hubungan sexual ketika kesedihan melanda. Dan sering terjebak pada kesenangan itu. Dan pelan-pelan mulai mencandu.

Dan kecanduan, apapun bentuknya… Tidak baik buat tubuh dan jiwa.

Samsul mendengarkan dengan seksama. Sambil bercanda, saya bilang bahwa kalau mandi, pakai sabun, jangan hanya menyabuni bagian tertentu dari tubuh saja. Seperti-selangkangan-misalnya. Sebab itu kurang adil. Bagian-bagian tubuh lainnya juga masih layak untuk dicuci hingga bersih.

Samsul tersenyum.

Tiba-tiba, ketika saya baru saja beranjak selesai bicara dengan Samsul. Cirul teriak masuk ke beranda, “Rip.. Keluar men.. Massa men.. Massa!”

Saya kaget. Cirul jarang-jarang panik seperti ini. Maka itu, tergopoh-gopoh saya keluar rumah.

Di luar. Banyak masyarakat, membawa obor. Wah kaget saya. Jangan-jangan mau mengejar maling? Sebab, mau apa coba, warga ramai-ramai malam-malam jam 11 bawa-bawa obor?

Saya tanya Pak Umar, tetangga sebelah Rumah Singgah Anak Jalanan. Sebab ia juga bawa obor. Dan matanya itu, berkilat-kilat memancarkan amarah.

Saya (S): “Pak Umar, ada apaan nih?”
Pak Umar (PU): “Bajingan tuh rip. Bener kata Pak RT”
S: “Loh apaan yang bener, Pak? Apa kata Pak RT?”
PU: “Pak RT, baru aja nangkep basah anaknya, si Ujang, di warnet. Tau ga Rip. Si Ujang buka-buka situs porno. Naujubilahmijalik dah. Mau jadi apa tuh anak”

Saya terbengong-bengong.

S: “Loh, emangnya kenapa, Pak”
PU: “Kamu ini, dasar anak muda. Situs porno itu dosa Rip. Kita semua bakalan masuk neraka gara-gara liat situs porno. Dan ngebiarin anak-anak kita ngeliat situs porno, kita semua juga bakalan masuk neraka”
S: “Kata siapa, Pak”
PU: “Tuh kata Pak RT. Mangkanya, kalo orang tua ngomong, dengerin, Rip!”

Saya melihat, di depan kerumunan massa, Pak RT sedang berteriak-teriak. Suaranya sayup-sayup terdengar di balik gerombolan massa yang marah dan memegang obor.

Telinga saya menangkap selintas pidato Pak RT, “…Gara-gara warnet jahanam itu, anak-anak kita mentalnya teracuni. Kita semua bakalan masuk neraka kalau begini terus. Semua ini gara-gara warnet bajingan itu. Maka itu… BAKAARRRR SEMUA WARNET!”

Pelan-pelan, gerombolan massa yang marah, bergerak ke jalan Margonda. Di tangan mereka, obor bernyala-nyala.

Mulut mereka berteriak marah. Satu tangan memegang obor, tangan lainnya, mengepal di udara. Menyebut nama tuhan dan kalimat… BAKAR!!!

Saat itu pula, saya menggigil dalam udara malam Depok yang panas.